Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

(Bag. 5) Centhini Gugat: Gunung Giri dan Pelarian Syeh Amongraga

23 Maret 2018   12:57 Diperbarui: 23 Maret 2018   13:16 1062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kenapa Aki menghentikan kisahnya?" Syeh Amongraga yang mulai hanyut ke dalam kisah penjelajahan batin Bima itu bertanya pada Ki Buyut Wasi Bagena. "Apakah kisahnya hanya sampai di situ, Ki?"

"Masih panjang."

"Lanjutkan saja, Ki. Aku sangat senang menyimaknya."

"Baik." Ki Buyut Wasi Bagena meraih lintingan sirih yang telah terisi secuwil gambir dan seleletan injet untuk dikunyahnya. Sesudah mengunyah-unyah kinang dan meludahkan dubangnya di luar gubug itu, ia melanjutkan kisahnya. "Dengan sepenuh keyakinan, Bima meninggalkan pertapan Sokalima. Tanpa menghiraukan keluarga Pandawa dan saudara Bayu-nya, Bima melajukan langkahnya menuju samudera laya. Setiba di pantai, Bima menceburkan diri ke dalam lautan. Berhelat dengan gelombang dan badai hingga berakhir bersabung nyawa dengan naga Amburnawa. Karena kesentosaan jiwanya, Bima dapat melintasi cobaan terakhirnya itu."

"Sungguh menarik kisahnya, Ki." Jamal yang semula hanya terdiam sontak memenggal kisah yang tengah dibeberkan Ki Buyut Wasi Bagena. "Lantas bagaimana sesudah Bima mampu menanggulangi cobaan terakhirnya?"

"Singkat cerita, Bima bertemu dengan Sang Hyang Bathara Ruci. Dewa bajang yang sesungguhnya sang guru jati Bima itu sendiri. Melalui Ruci, Bima mendapatkan tirta perwitasari. Air suci yang dapat menjernihkan jiwa hingga Bima mendapatkan pencerahan batin. Apakah Kisanak tahu makna air suci itu?"

"Sama sekali tidak, Ki."

"Ketahuilah, Kisanak! Air suci itu melambangkan wewarah-wewarah Sang Hyang Bathara Ruci pada Bima. Hendaklah Bima selalu bertindak sesudah mengerti benar tentang tujuannya. Hendaklah Bima tidak seperti orang udik yang tidak bisa membedakan mana loyang mana emas. Hendaklah Bima tidak mudah bingungan, lantaran segelap-gelapnya jalan selalu ada sepercik cahaya Tuhan. Hendaklah Bima selalu menghidupkan budi jatmika yang dapat sebagai bekal di dalam memahami perlambang alam. Hendaklah Bima selalu mendekatkan diri pada dzat sejati, karena kedekatan itu dapat menjadikan bekal dalam memahami gagalnya tujuan dan cita-cita. Hendaklah Bima memahami makna di balik mati sajroning urip dan urip sajroning pati. Karena dengan memahaminya, Bima akan memahami ilmu sejati dan makna cinta kasih pada sesamanya."

"Kisah Aki tentang penjelajahan batin Bima itu sangat berharga dalam hidupku." Syeh Amongraga merasakan jiwanya serupa bentangan langit malam yang bertaburkan cahaya bebintang. "Terima kasih, Ki."

Tanpa memberikan jawaban, Ki Buyut Wasi Bagena beranjak dari ambenan gubug reyot itu. Selepas Ki Buyut dari gubug itu; Syeh Amongraga, Jamal, dan Jamil hanya saling melemparkan pandangan aneh. Pandangan yang menyiratkan tentang siapakah pengelana tua itu. Pengelana yang tak mereka ketahui tentang nama dan tempat tinggalnya. Pengelana yang tak mereka ketahui dari mana datang dan kemana perginya. Sebagaimana semilir angin yang hanya dapat dirasakan kehadirannya namun tak terlacak jejaknya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun