"Masak Bapak tidak tahu? Bukankah Bapak tinggal di desa ini?"
"Sungguh, Nak. Coba bertanyalah pada penduduk yang tinggal di desa seberang ladang itu! Barangkali mereka mengetahuinya."
"Baiklah, Pak. Aku akan kesana. Permisi."
Selepas perempuan berkuda itu, Jamal membawa keranjangnya yang belum penuh berisi rumput. Mendaki puncak bukit dengan langkah tergesa. Setiba di halaman gubug Ki Ageng Karang, ia memasuki ruangan depan. Dimana Syeh Amongraga tengah berbincang dengan Jamal yang barusan pulang dari meladang. "Celaka, Gus! Benar-benar celaka!"
"Ada apa, Paman?"
 "Hamba kembali bertemu dengan perempuan berkuda dari Mataram itu di ngarai. Aku percaya, perempuan yang ingin berguru pada Ki Ageng Karang itu sesungguhnya telah mengetahui keberadaan Gus Amongraga di sini."
"Apa yang Paman katakan itu dapat aku percaya?"
"Bila bohong, lidah hamba yang menjadi taruhannya."
"Baiklah, Paman. Kita tinggalkan tempat ini segera."
"Tapi Ki Ageng Karang belum pulang dari ladang, Gus. Kita harus berpamitan dengannya."
"Tak perlu, Paman. Perasaanku mengatakan. Perempuan itu akan segera tiba di sini." Syeh Amongraga menghembuskan napas untuk melonggarkan dadanya yang terasa tersumpal sekepal batu. "Kita pergi sekarang!"