Tak terhitung berapa hari perjalanan Jayengresmi, Gathak, dan Gathuk. Bagaikan jajah desa milang kori, mereka telah menyinggahi istana Majapahit, candi Brawu, candi Bajangratu, candi Panataran, Gaprang, hutan Lodaya, Pakel, mata air Sumberbekti di Tuban, sendang Sugihwaras di hutan Bago, Gunung Pandan, Gunung Gambiralaya, Pandangan, sumber api alam di Dander, sumber minyak tanah di Dandhangngilo, Kesanga, sumber air asin di Kuwu, Sela, Gubug, bekas istana Prawata, mesjid agung Demak, Gunung Muria, Panegaran, Gunung Slamet, Gunung Siwal, Gunung Cereme, Gunung Tampomas, Gunung Mandhalawangi, Bogor, Gunung Salak, dan berakhir di kaki Gunung Karang.
Betapa siang teramat terik. Dengan langkah yang mulai gontai, Jayengresmi beserta Gathak dan Gathuk mendaki jalanan bukit kecil di kaki Gunung Karang itu. Menuju gubuk di puncak bukit yang dikitari pepohonan berdaun rimbun. Setiba di halaman gubug itu, mereka menyaksikan seorang lelaki paruh baya telanjang dada tengah duduk di lincak panjang di samping pintu. "Permisi, Ki."
"Oh.... Mangga! Mangga!" Lelaki paruh baya yang tak lain Ki Ageng Karang itu menyambut dengan tawa renyah. "Silakan! Silakan duduk, Kisanak sekalian!"
"Terima kasih."
"Oh ya, Kisanak. Kalau boleh tahu, Kisanak bertiga ini siapa namanya?"
"Namaku Gathuk, Ki."
"Aku Gathak."
"Gathuk dan Gathak. Dua nama unik yang terdengar lucu." Ki Ageng Karang yang tertawa lepas itu mengalihkan pandangannya pada Jayengresmi. "Lha.... Kalau nama Kisanak yang berparas tampan ini siapa?"
"Apa sampeyan belum pernah mendengar nama Pangeran Jayengresmi dari Kasunanan Giri?" Dengan sikap jumawa, Gathak sontak nimbrung dalam pembicaran. "Beliau ini Pangeran Jayengresmi, Ki."
"Benarkah demikian, Kisanak?"
Jayengresmi mengangguk pelan sembari melepaskan senyuman samar.