"Baik, Bapa Karang!"
"Nah.... Panggilan itu lebih baik, Thole."
"Lantas nama samaran apa yang tepat bagiku, Bapa?"
"Karena Thole meninggalkan Kasunanan Giri untuk menyelamatan diri, maka nama samaran yang tepat digunakan adalah Amongraga. Karena Thole masih trah Kanjeng Sunan Giri yang ahli dalam agama itu, maka sebutan Syeh bisa disematkan di depan nama Amongraga."
"Ki Ageng Karang...." Gathak memotong pembicaraan. "Bagaimana dengan aku dan Adhi Gathuk?"
"Kamu dan Gathuk, akan aku anggap sebagai kedua saudara mudaku. Agar penyamaran Syeh Amongraga semakin sempurna, gunakan nama Jamal. Sedangkan Gathuk, gunakan nama Jamil."
Sebelum Jamal melontarkan sepatah kata, Nyi Ageng Karang yang barusan mengetahui suaminya menerima tamu di luar gubug itu keluar dengan membawa hidangan sekadarnya. Sekendi air dan empat cangkir kosong beserta setambir pohong dan jagung rebus. Karena rasa dahaga dan lapar yang tak tertahankan, mereka segera menyantap hidangan itu.
***
Tujuh hari tujuh malam; Syeh Amongraga, Jamal, dan Jamil tinggal di kaki Gunung Karang. Hari-hari telah mereka lintasi dengan menggarap ladang dan mencari rumput untuk sapi dan kambing milik Ki Ageng Karang. Sekalipun hidup dengan kesehajaan, mereka merasa mendapatkan perlindungan dari buruan orang-orang Mataram.
Sebagaimana hari-hari sebelumnya, Jamal selalu menghabiskan waktu siangnya untuk merumput di ngarai. Manakala ia tengah sibuk dengan sabitnya, seorang perempuan yang turun dari gigir kuda bertanya, "Numpang tanya, Pak. Apakah Bapak tahu tempat Ki Ageng Karang? Seorang pintar berilmu kebatinan tinggi yang tinggal di Gunung Karang ini. Aku ingin berguru padanya."
Mendengar pertanyaan dari perempuan berkuda yang pernah dilihatnya di kaki Gunung Giri itu, Jamal geragapan. "Maaf, Nak. Aku tak tahu."