"Kangmas Jayengresmi." Niken Rancangkapti menyela pembicaraan. "Biarlah aku hadapi prajurit Mataram itu."
"Jangan, Diajeng! Sangat berbahaya. Siapa tahu prajurit itu tidak sendirian."
"Lantas apa yang harus kita lakukan kini, Kangmas?"
"Diajeng Rancangkapti...." Jayengresmi terdiam sesaat untuk mengerahkan pikirannya. "Kita harus menghindari prajurit Mataram itu."
"Menghindari prajurit Mataram yang berarti kembali melanjutkan perjalanan tanpa juntrung ini?"
"Apa boleh buat, Diajeng. Bahkan, kita harus berpisah untuk sementara waktu. Hanya dengan cara ini, kita dapat memecah perhatian prajurit Mataram yang ingin menangkap kita itu."
"Apa dengan cara ini, kita tak akan dituding sebagai pecundang?"
"Jangan banyak bicara, Diajeng! Waktu kita sangat terbatas. Segeralah Diajeng Rancangkapti, Dhimas Jayengsari, dan Paman Buras mengambil jalan ke utara! Biarlah aku, Paman Gathak, dan Paman Gathuk mengambil jalan ke barat."
"Tapi, Kakang...."
Tanpa memperdulikan perkataan Niken Rancangkapti, Jayengresmi yang disertai Gathak dan Gathuk meninggalkan pertigaan jalan di kaki Gunung Giri itu ke arah barat. Sementara Jayengsari, Niken Rancangkapti, dan Buras melangkahkan kaki ke arah utara. Sepanjang perjalanan, putri Giri Parapen itu tampak kecewa dengan Jayengresmi. Lelaki pecundang yang tak mencerminkan jiwa para leluhurnya.
***