Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kota Setan

21 Maret 2018   13:46 Diperbarui: 21 Maret 2018   14:03 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

LANGKAH kaki Nurani terhenti, ketika terantuk pada kenyataan aneh.

"Orang-orang di kota ini tidak seperti orang-orang di kotaku yang dilahirkan dan dipelihara Tuhan melalui ibunya. Orang-orang di kota ini sungguh aneh. Mereka tidak memiliki telinga, hidung, mulut, mata, dan hati. Lebih aneh lagi; mereka dapat dan suka makan dengan rakus, teler, nonton film porno, mendengar isu, dan menyebarkan hoax. Hingga, aku semakin paham. Kenapa mereka suka berpolitik, main hakim sendiri, memrovokasi, dan saling bunuh demi satu kursi kehormatan," bisik Nurani.

"Tidak ada yang aneh," celoteh dinding taman.

Seperti hembusan angin, ucapan itu tidak diperhatikan Nurani, selain nama-nama kelompok gang yang bergoresan dengan aneka warna cat di seluruh tubuh dinding. Air matanya meleleh di pipi seputih daging besusu sesudah kedua matanya yang embun itu menatap salah satu nama kelompok gang dengan diberi tanda silang darah. Perlahan-lahan, ia merasakan rayapan keringatnya yang dingin dan perasaan tidak nyaman semakin menghantui sewaktu melirik sepasang mata api burung gagak yang bertengger di batang pohon kamboja serupa vampire.

"Ah, mentalmu cepat lembek melebihi kerupuk," leceh sebongkah batu besar di sudut taman yang mengingatkannya perihal Gajah Mada. Ksatria yang diperkasakan jiwanya oleh debu, asap, gelombang, badai, dan matahari.

Nurani diam.

"Atur napasmu! Heneng, hening, henung! Meditasi!" pinta kepompong dari balik sehelai daun ranggas yang kerontang.

Sesudah berpikir panjang; Nurani mengatur keluar-masuknya napas, aliran darah, dan memejamkan kedua matanya. Di dalam meditasinya, ia serupa teratai yang mekar di tengah telaga biru. Setangga demi setangga, hingga hatinya mendengar jerit tangisan orang-orang dari kejauhan.

Seketika Nutani membuka matanya seusai benda keras membentur keningnya. Jantungnya berdegup kencang. Terasa akan copot. Saat ia melihat sesosok robot yang berdiri di depannya. Menodongkan moncong senapan ke arah ulu hatinya dengan wajah serigala.

"E-KTP!"

"E-KTP?"

"Ya."

Dengan tangan gemetaran, Nurani merogoh sesuatu dari balik jubah sutranya. Belum satu menit, ia sudah memberikan E-KTP dari dompet beludrunya kepada robot itu.

"Tangkap!" perintah robot itu kepada kedua robot bawahannya.

"Kenapa saya ditangkap?"

"Kau bukan warga Kota Setan."

Mendengar Kota Setan, perasaan Nurani semakin kacau. Ia bermaksud mengambil seribu satu langkah. Berlari seperti pendekar-pendekar Cina yang tangguh menggunakan ilmu meringankan tubuh. Menyelamatkan diri. Tetapi sebelum ia menggerakkan kedua kakinya, tangannya sudah disambar kedua robot bawahan itu. Diborgol. Tubuhnya diseret dan dilempar ke atas mobil patroli. Lebih hina dari sampah atau bangkai binatang buruan.

Di atas mobil patroli, kedua mata Nurani ditutup kain hitam. Telinga dan hidungnya disumpal biji peluru. Mulutnya dijejali bom. Hingga sepanjang perjalanan; ia tidak mampu mendengar, mencium, sesak napasnya, dan tidak kuasa menggerakkan tangannya. Tapi, itu lebih mujur. Sebab satu gerakan saja dapat menyebabkan tubuhnya hancur berkepingan.

Mendadak mobil patroli berhenti. Borgol, kain hitam, peluru, dan bom dilepaskan dari bagian-bagian tubuh Nurani. Seperti maling, ia diseret menuju pintu penjara tanpa sepercik cahaya.

"Pir!"

"Siap"

"Buka!"

"Siap"

"Cepat!"

"Siap."

Sesudah pintu sel dibuka oleh sipir, kedua robot itu mendorong tubuh Nurani dengan kasar ke dalam ruang sel yang pekat. Tanpa disengaja, tubuhnya membentur tubuh-tubuh lumer. Selumer tubuh kekasihnya di kota asalnya.

"Siapa saudara ini?"

"Nurani."

"Pantas. Tubuhmu selumer tubuhku. Bicaramu sesantun bicaraku. Wajahmu secantik wajahku."

"Aku laki-laki."

"Tapi wajahmu terlalu cantik."

"Kau bisa memandangku?"

"Nanti saudara juga mampu memandang wajahku."

"Benarkah?"

"Tentu."

Waktu merayap. Hingga daya dengar telinga Nurani kian tajam. Penciuman hidungnya melampaui penciuman anjing pelacak. Daya pandang matanya mampu menembus lapisan-lapisan dinding penjara. Mulutnya semakin mampu menjeritkan suara lantang tatkala mendengar berita yang dibisikkan angin lewat pori-pori dinding penjara tentang rumah-rumah, masjid-masjid, gereja-gereja, gedung-gedung, pasar-pasar, dan orang-orang yang dibakar dalam huru-hara. Perempuan-perempuan dan anak-anak perawan yang diperkosa. Para penguasa saling cakar seperti harimau-harimau lapar.

Di luar dinding penjara, halilintar yang meledak serasa akan meretakpecahkan langit. Kilat-kilat apinya merembes sampai sungsum-sungsum bumi. Gemanya menggemuruh hingga menyentuh segala penjuru semesta. Ketika seseorang dilemparkan ke dalam ruang sel yang sama oleh robot atasan itu sendiri.

"Oh, kekasihku," seru kawan sesel Nurani

"Ia mirip kekasihku," sahut Nurani.

"Kenapa kau tampaknya belum dapat menerima kenyataan yang terjadi di luar penjara sana?" tanya Sang Kekasih.

"Bukankah aku nurani?"

Sang Kekasih tersenyum penuh misteri. Sepasang matanya yang memandang ke luar sel senampak mampu menembus dinding penjara. Betapa dahsyat! Pandangan mata-Nya terasa paling sempurna dalam menangkap hakitat di balik kepekatan ruang dan waktu. "Kau memandang sepercik cahaya di puncak bukit sana?"

"Ya," jawab Nurani.

"Kau dapat merasakan nikmatnya cahaya itu?"

"Ya."

"Kau dapat menguraikan cahaya itu ke dalam kata-kata?"

"Tidak."

Di luar dinding penjara, kilat seperti kuas yang menggores kanvas langit malam. Bersama datangnya kilat itu, Sang Kekasih lenyap tersapu waktu. Nurani mencari-cari. Tidak ada. Tetapi, ia merasakan Sang Kekasih sudah bertahta di dalam tubuh Nurani. Dan, tubuhnya sudah berada di dalam kuasa tubuh Sang Kekasih.

Pagi hari. Ketika kawan satu selnya membangunkan, Nurani heran. Karena pintu selnya terbuka. Demikian, pintu-pintu sel lainnya. Lebih heran lagi. Sesampai di luar; ia, kawan seselnya, dan ribuan napi tidak melihat seorang pun sipir, robot, dan warga kota yang aneh. Kecuali mobil-mobil, pasar-pasar, kantor-kantor, hotel-hotel, gedung-gedung, dan lokalisasi-lokalisasi yang hancur terbakar dan masih mengepulkan asap pekat.

"Kota ini mirip neraka."

"Lihat!" pinta kawan selnya kepada Nurani. "Seekor kekupu bersayap baja terbang menuju matahari."

Nurani tersenyum lega. Karena kepompong yang pernah dijumpainya di taman kota telah menetas dan dewasa. Bersama kawan seselnya dan seluruh napi, ia bernyanyi di bawah bentangan langit biru.

-Sri Wintala Achmad-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun