"Nanti saudara juga mampu memandang wajahku."
"Benarkah?"
"Tentu."
Waktu merayap. Hingga daya dengar telinga Nurani kian tajam. Penciuman hidungnya melampaui penciuman anjing pelacak. Daya pandang matanya mampu menembus lapisan-lapisan dinding penjara. Mulutnya semakin mampu menjeritkan suara lantang tatkala mendengar berita yang dibisikkan angin lewat pori-pori dinding penjara tentang rumah-rumah, masjid-masjid, gereja-gereja, gedung-gedung, pasar-pasar, dan orang-orang yang dibakar dalam huru-hara. Perempuan-perempuan dan anak-anak perawan yang diperkosa. Para penguasa saling cakar seperti harimau-harimau lapar.
Di luar dinding penjara, halilintar yang meledak serasa akan meretakpecahkan langit. Kilat-kilat apinya merembes sampai sungsum-sungsum bumi. Gemanya menggemuruh hingga menyentuh segala penjuru semesta. Ketika seseorang dilemparkan ke dalam ruang sel yang sama oleh robot atasan itu sendiri.
"Oh, kekasihku," seru kawan sesel Nurani
"Ia mirip kekasihku," sahut Nurani.
"Kenapa kau tampaknya belum dapat menerima kenyataan yang terjadi di luar penjara sana?" tanya Sang Kekasih.
"Bukankah aku nurani?"
Sang Kekasih tersenyum penuh misteri. Sepasang matanya yang memandang ke luar sel senampak mampu menembus dinding penjara. Betapa dahsyat! Pandangan mata-Nya terasa paling sempurna dalam menangkap hakitat di balik kepekatan ruang dan waktu. "Kau memandang sepercik cahaya di puncak bukit sana?"
"Ya," jawab Nurani.