LANGKAH kaki Nurani terhenti, ketika terantuk pada kenyataan aneh.
"Orang-orang di kota ini tidak seperti orang-orang di kotaku yang dilahirkan dan dipelihara Tuhan melalui ibunya. Orang-orang di kota ini sungguh aneh. Mereka tidak memiliki telinga, hidung, mulut, mata, dan hati. Lebih aneh lagi; mereka dapat dan suka makan dengan rakus, teler, nonton film porno, mendengar isu, dan menyebarkan hoax. Hingga, aku semakin paham. Kenapa mereka suka berpolitik, main hakim sendiri, memrovokasi, dan saling bunuh demi satu kursi kehormatan," bisik Nurani.
"Tidak ada yang aneh," celoteh dinding taman.
Seperti hembusan angin, ucapan itu tidak diperhatikan Nurani, selain nama-nama kelompok gang yang bergoresan dengan aneka warna cat di seluruh tubuh dinding. Air matanya meleleh di pipi seputih daging besusu sesudah kedua matanya yang embun itu menatap salah satu nama kelompok gang dengan diberi tanda silang darah. Perlahan-lahan, ia merasakan rayapan keringatnya yang dingin dan perasaan tidak nyaman semakin menghantui sewaktu melirik sepasang mata api burung gagak yang bertengger di batang pohon kamboja serupa vampire.
"Ah, mentalmu cepat lembek melebihi kerupuk," leceh sebongkah batu besar di sudut taman yang mengingatkannya perihal Gajah Mada. Ksatria yang diperkasakan jiwanya oleh debu, asap, gelombang, badai, dan matahari.
Nurani diam.
"Atur napasmu! Heneng, hening, henung! Meditasi!" pinta kepompong dari balik sehelai daun ranggas yang kerontang.
Sesudah berpikir panjang; Nurani mengatur keluar-masuknya napas, aliran darah, dan memejamkan kedua matanya. Di dalam meditasinya, ia serupa teratai yang mekar di tengah telaga biru. Setangga demi setangga, hingga hatinya mendengar jerit tangisan orang-orang dari kejauhan.
Seketika Nutani membuka matanya seusai benda keras membentur keningnya. Jantungnya berdegup kencang. Terasa akan copot. Saat ia melihat sesosok robot yang berdiri di depannya. Menodongkan moncong senapan ke arah ulu hatinya dengan wajah serigala.
"E-KTP!"