Mohon tunggu...
Handoyo El Jeffry
Handoyo El Jeffry Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan Siapa-siapa, Hanya Ingin Menjadi Siapa

Bila ingin mengenal seseorang, bacalah tulisannya. Bila ingin membaca seseorang, kenalilah tulisannya. Bila ingin menulis seseorang, kenalilah bacaannya dan bacalah kenalannya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Drama Politik 5 Babak SBY Vs Jokowi

24 Februari 2017   03:41 Diperbarui: 24 Februari 2017   03:56 974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tak ada kawan dan lawan abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan abadi. Sebenarnya itu sah-sah saja, selama yang diperjuangkan adalah kepentingan publik, rakyat, bangsa dan negara di atas segala-galanya.

Namun apa jadinya jika keliru dalam "memainkan" kepentingan itu, hanya untuk tujuan parsial, partai, golongan, keluarga, kelompok apalagi individu? Dan apa jadinya pula bila dua aktor utama, dua pemimpin tertinggi di negeri ini yang memerankannya, lalu menyuguhkan "drama politik" sebagai konsumsi publik?

Adalah dua orang presiden, yakni presiden RI ke-6 yang telah "lengser keprabon" Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan presiden RI ke-7 yang tengah menjabat, Joko Widodo (Jokowi). Akhir-akhir ini keduanya tengah berpolemik dalam konflik dan sontak menjadi sorotan media dan publik.

Publik pun dibuat bingung dan gamang, ada apa di balik "drama konflik" itu? Sebelum menyimpulkan, ada baiknya kita ikuti kronologi drama 5 babak "konflik" SBY versus Jokowi sebagai sebuah rangkaian yang tak terpisahkan.

Babak 1: Tour De Java Versus Hambalang

16 Maret 2016:

Dalam kegiatan blusukan 13 hari keliling Pulau Jawa 8-21 Maret 2016, berulangkali SBY mengeluarkan pernyataan kritik yang ditujukan langsung kepada Jokowi.

"Saya mengerti, bahwa kita butuh membangun infrastruktur. Dermaga, jalan, saya juga setuju. Tapi kalau pengeluaran sebanyak-banyaknya (dapat duit) dari mana? Ya dari pajak sebanyak-banyaknya. Padahal, ekonomi sedang lesu."

"Kalau ekonomi sedang lesu, dikurangi saja pengeluarannya. Bisa kita tunda tahun depannya lagi. Enggak ada keharusan harus selesai tahun ini. Indonesia ada selamanya. Sehingga, jika ekonomi lesu, tidak lagi bertambah kesulitannya. Itu politik ekonomi."

Agaknya kuping sang presiden ke-7 memerah. Karena tidak kali ini saja SBY mengeluarkan kritikan yang ditujukan pada dirinya. Sebelumnya, SBY berulangkali mengeluarkan pernyataan yang dinilai “berbau” provokatif mengenai kinerjanya di pemerintahan.

Salah satunya adalah soal keributan kabinet yang dianggap sebagai representasi ketidakmampuan Jokowi mengelola negara. "Bagaimana mungkin bisa mengelola hal-hal yang lebih besar jika mengendalikan anak buahnya di kabinet saja tidak mampu!"

Kritikan lain yang tak kalah pedasnya adalah tudingan politisasi kisruh Golkar dan PPP. SBY memamerkan keberhasilannya dalam membina partai politik sehingga di masanya tidak ada perpecahan partai politik. Dengan lugas SBY menuding kisruh kedua partai itu terjadi karena adanya campur tangan Kemenkumham. SBY pun menyodorkan fakta di mana tidak ada menteri di zamannya yang "take side" di kubu mana pun manakala ada parpol yang kisruh.

Sebenarnya tak ada yang salah dengan kritik, selama ia konstruktif. Namun agaknya bagi Jokowi, kritik yang ini cukup kelewat batas dan lumayan panas.

18 Maret 2016:

Presiden Jokowi blusukan ke proyek wisma atlet Hambalang, bersama Johan Budi, Menpora  Imam Nahrawi, serta Menteri PUPR Basuki Hadimuljono. Jokowi seakan menunjukkan, bahwa Mega proyek prestisius yang kini terlantar akibat terbelit korupsi itu, dibangun di masa Presiden SBY.

Proyek itu telah memakan korban para elite Partai Demokrat. Pada 2013, KPK telah menetapkan Menpora waktu itu Andi Mallarangeng dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai tersangka.

Setelah meninjau Hambalang, Presiden Jokowi curhat melalui akun Twitternya @Jokowi. ”Sedih melihat aset Negara di proyek Hambalang mangkrak. Penuh alang-alang. Harus diselamatkan." 

"Kuncinya di situ dan arahnya akan ke sana. Apapun ini menghabiskan anggaran triliunan," ujar Jokowi di kesempatan berikutnya.

Babak 2: Hilangnya Dokumen Temuan Hasil Investigasi TPF Kasus Munir

21 Oktober 2016:

Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki mengatakan, "Kejaksaan Agung bisa dan boleh memeriksa orang-orang pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pemeriksaan itu terkait dengan keberadaan data Tim Pencari Fakta kasus pembunuhan Munir Said Thalib."

Juru bicara Kepresidenan Johan Budi mengatakan, Presiden Joko Widodo mengetahui ihwal putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) tentang sengketa kasus Munir Sa'id Thalib. Johan mengatakan, Jokowi telah memerintahkan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menelusuri keberadaan dokumen hasil temuan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir.

SBY pun bereaksi.

25 Oktober 2016:

SBY menggelar jumpa pers di Cikeas, Bogor: "TPF Munir ini ada yang bergeser, ada yang bernuansa politik. dan saya bukan orang baru di dunia begitu (politik). Hal itu biasa."

"Jika SBY dianggap terlibat konspirasi pembunuhan Munir, come on... semua punya akal sehat, rakyat punya akal sehat."

"Kasus Munir sudah terang benderang. Berkas TPF Munir juga sudah diserahkan ke Mensesneg untuk ditindak lanjuti.Sekarang bola kasus Munir ada di tangan Pak Jokowi." 

"Kalau dianggap belum rampung, silakan aparat hukum yang sekarang menindak lanjuti."

Babak 3: Isu SBY Terlibat di Balik Rencana Aksi Demo 4 November 

Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) berencana berdemonstrasi di Jakarta menuntut penegak hukum untuk menuntaskan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur nonaktif DKI Basuki Tjahaya Purnama (Ahok).

Sebelum demo terjadi, muncul desas-desus adanya laporan intelijen yang mengarah keterlibatan SBY di balik rencana aksi tersebut.

4 November 2016: Aksi berlangsung. Insiden terjadi. Aksi yang semula berlangsung damai berakhir ricuh. Sejumlah orang terluka.

5 November 2016 dini hari: Presiden Jokowi kemudian menggelar jumpa pers di Istana Merdeka. 

"Kita menyesalkan kejadian ba'da Isya yang seharusnya sudah bubar tetapi menjadi rusuh. Dan ini kita lihat telah ditunggangi aktor-aktor politik yang memanfaatkan situasi."

Dua hari sebelum aksi berlangsung, 2 November 2016:

SBY menggelar jumpa pers di Cikeas menampik desas-desus laporan intelijen yang menuding keterlibatannya di balik rencana Demo 4 November,  "Intelijen harus akurat. Intelijen jangan ngawur. Saya kira bukan intelijen seperti itu yang harus hadir di negeri kita."  

"Bila ada pertemuan politik yang dilakukan orang yang berada di luar kekuasaan, jangan langsung dicurigai."

7 November 2016:

Ani Yudhoyono turun suara mengeluarkan statemen bantahan atas keterlibatan suaminya. 

"Sepuluh tahun Pak SBY memimpin negara, tidak ada DNA keluarga kami berbuat yang tidak-tidak. Jadi kalau ada tuduhan kepada Pak SBY yang menggerakkan dan mendanai aksi damai 4 November lalu, itu bukan hanya fitnah yang keji, tetapi juga penghinaan yang luar biasa kepada Pak SBY."

Babak 4: Isu penyadapan Telepon SBY-Ma'ruf Amin 

Isu itu berawal pada 31 Januari 2017, saat di dalam sidang, pengacara terdakwa kasus dugaan penistaan agama, Ahok, bertanya kepada saksi ahli Ketum MUI Kiai Ma'rif Amin soal telepon dari SBY saat PBNU menerima kedatangan Agus Yudhoyono.

1 Februari 2017:

SBY menggelar jumpa pers di DPP PD, Jakarta:

“Kalau memang pembicaraan saya kapanpun, kalau yang disebut kemarin pembicaraan saya dengan Pak Ma'ruf Amin itu disadap, ada rekamannya, ada transkripnya, maka saya berharap pihak kepolisian, pihak kejaksaan dan pihak pengadilan utntuk menegakkan hukum sesuai Undang-Undang ITE."

“Kalau misalnya yang menyadap bukan Pak Ahok, mudah-mudahan tidak, maka menurut saya sama, hukum mesti ditegakkan. Saya bermohon Pak Jokowi presiden kita berkenan memberikan penjelasan, dari mana transkrip atau sadapan itu. Siapa yang menyadap, supaya jelas, yang kita cari kebenaran.”

Di hari yang sama, secara terpisah istana bereaksi. 

Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengeluarkan pernyataan:

”Yang jelas bahwa tidak pernah ada permintaan atau instruksi penyadapan kepada beliau (SBY), karena ini bagian dari penghormatan presiden-presiden yang ada.

2 Februari 2017:

Dalam pembukaan acara Forum Rektor Indonesia di Jakarta, Jokowi menyatakan menolak menanggapi permintaan mengusut dugaan penyadapan komunikasi yang diajukan SBY. Menurut Jokowi, permintaan SBY salah alamat. 

"Kok, barangnya (isu rekaman penyadapan) dikirim ke saya. Itu isu pengadilan." 

Babak 5: Serangan Antasari Azhar

14 Februari 2017:

Di kantor sementara Bareskrim di KKP, Jakarta Pusat, Mantan Ketua KPK Antasari Azhar berbicara mengenai kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen yang membuatnya menjadi terpidana. Menurutnya, "SBY merupakan aktor di balik layar dalam rekayasa kasus itu. SBY yang memerintahkan pihak tertentu agar mengkriminalisasi saya."

Masih di hari yang sama, SBY bereaksi dengan menggelar jumpa pers di rumahnya, Kuningan. Sebagaimana pernah dicuitkan dalam akun twitter sebelumnya, SBY menegaskan dalam pidatonya:

"Saya harus mengatakan bahwa nampaknya grasi Presiden Jokowi ada muatan politiknya. Sepertinya, sepertinya ada misi untuk menyerang dan merusak nama saya, juga keluarga saya."

"Serangan ini diluncurkan dan dilancarkan satu hari sebelum pemungutan suara sebelum pencoblosan pilkada DKI Jakarta."

Dan yang paling menohok Jokowi adalah satu kalimat ini:

"Saya punya keyakinan saudara saudara, apa yang dilakukan Antasari tidak mungkin tanpa blessing dan restu dari kekuasaan. Para penguasa hati-hatilah, dalam menggunakan kekuasaan, jangan bermain api, terbakar nanti."

Maka Istana pun bereaksi atas pernyataan SBY.

Melalui Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi, Johan Budi, di Istana Kepresidenan, tudingan SBY dibantah.

"Pemberian grasi itu sudah melalui proses dan prosedur yang sesuai dengan aturan perundang-undangan."

"Keputusan presiden untuk memberi grasi kepada Antasari itu berdasarkan saran atau masukan dari Mahkamah Agung. Jadi, tidak ada kaitannya sama sekali pemberian grasi itu dengan apa yang Pak Antasari lakukan secara pribadi."

Lantas, akankah polemik drama kedua pemimpin itu segera berakhir dan tidak berlarut-larut? Ataukah justru akan semakin panas sehingga membakar panggung politik negeri ini?

Memang, tak ada kawan dan lawan abadi dalam politik. Yang ada hanyalah kepentingan abadi. Tapi kita berharap, mestinya kepentingan publik, rakyat, bangsa dan negara tetaplah wajib diletakkan di atas segala kepentingan yang ada.

Salam...

El Jeffry

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun