Tak ada kawan dan lawan abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan abadi. Sebenarnya itu sah-sah saja, selama yang diperjuangkan adalah kepentingan publik, rakyat, bangsa dan negara di atas segala-galanya.
Namun apa jadinya jika keliru dalam "memainkan" kepentingan itu, hanya untuk tujuan parsial, partai, golongan, keluarga, kelompok apalagi individu? Dan apa jadinya pula bila dua aktor utama, dua pemimpin tertinggi di negeri ini yang memerankannya, lalu menyuguhkan "drama politik" sebagai konsumsi publik?
Adalah dua orang presiden, yakni presiden RI ke-6 yang telah "lengser keprabon" Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan presiden RI ke-7 yang tengah menjabat, Joko Widodo (Jokowi). Akhir-akhir ini keduanya tengah berpolemik dalam konflik dan sontak menjadi sorotan media dan publik.
Publik pun dibuat bingung dan gamang, ada apa di balik "drama konflik" itu? Sebelum menyimpulkan, ada baiknya kita ikuti kronologi drama 5 babak "konflik" SBY versus Jokowi sebagai sebuah rangkaian yang tak terpisahkan.
Babak 1: Tour De Java Versus Hambalang
16 Maret 2016:
Dalam kegiatan blusukan 13 hari keliling Pulau Jawa 8-21 Maret 2016, berulangkali SBY mengeluarkan pernyataan kritik yang ditujukan langsung kepada Jokowi.
"Saya mengerti, bahwa kita butuh membangun infrastruktur. Dermaga, jalan, saya juga setuju. Tapi kalau pengeluaran sebanyak-banyaknya (dapat duit) dari mana? Ya dari pajak sebanyak-banyaknya. Padahal, ekonomi sedang lesu."
"Kalau ekonomi sedang lesu, dikurangi saja pengeluarannya. Bisa kita tunda tahun depannya lagi. Enggak ada keharusan harus selesai tahun ini. Indonesia ada selamanya. Sehingga, jika ekonomi lesu, tidak lagi bertambah kesulitannya. Itu politik ekonomi."
Agaknya kuping sang presiden ke-7 memerah. Karena tidak kali ini saja SBY mengeluarkan kritikan yang ditujukan pada dirinya. Sebelumnya, SBY berulangkali mengeluarkan pernyataan yang dinilai “berbau” provokatif mengenai kinerjanya di pemerintahan.
Salah satunya adalah soal keributan kabinet yang dianggap sebagai representasi ketidakmampuan Jokowi mengelola negara. "Bagaimana mungkin bisa mengelola hal-hal yang lebih besar jika mengendalikan anak buahnya di kabinet saja tidak mampu!"