Sabtu malam di Juni yang hangat. Bau aroma laut tercium di hidung. Suara debur ombak yang kadang pelan dan kadang kencang juga menghiasi telinga. Dan desir angin yang pelan-pelan mengusap pori-pori manusia di tempat itu tidak mau ketinggalan untuk ikut campur dalam hiruk pikuk puluhan manusia.
      Orang-orang menamakan tempat itu dengan sebutan bukit Mati, entah mengapa orang-orang menamakan tempat itu demikian. Namun konon, di tempat itu dulu sekali adalah tempat dimana orang-orang mengakhiri hidupnya karena lelah dengan kehidupan dunia. Tempatnya cukup tinggi dari lautan yang percis berada dihadapan bukit itu, namun cukup rendah dari gunung-gunung yang menjulang tinggi ditempat itu. Ada pohon randu, ada pohon Cemara, ada Pohon-pohon jati, ada juga pohon-pohon mati yang belum genap satu minggu di babad habis oleh orang-orang hidup.Â
Saat musim kemarau, tempat itu akan menjadi ramai oleh orang-orang yang ingin menyaksikan tenggelamnya matahari, atau sekedar menikmati gemerlap bintang yang menghiasi langit. Atau jika waktunya pas, kita bisa menyaksikan ratusan kunang-kunang yang terbang berwarna kuning kehijau-hijauan, atau hijau ke kuning-kuningan dimalam hari. Konon, itu adalah jelmaan dari kuku-kuku orang mati di tempat itu.Â
Meski begitu, orang-orang banyak mengunjungi tempat itu. Tidak ada rasa takut akan gossip-gosip tentang hantu gentayangan orang-orang mati di tempat itu. Seperti malam itu, beberapa pasang manusia baik pasangan kekasih atau pasangan suami istri memadati tempat itu. Setelah tadi sore menyaksikan upacara perpisahan matahari dengan bumi, mereka tidak lantas pulang. Meski beberapa pasang memilih untuk pulang namun tidak semuanya melakukan hal yang sama. Mereka akan terus menyaksikan pertunjukan bulan atau gemerlap cahaya bintang. Ada juga yang berniat untuk menyaksikan ratusan kunang-kunang yang berterbangan.
      Apa yang dilakukan orang-orang pun dilakukan oleh Sukar. Ia tergesa-gesa menaiki tangga yang disediakan pengelola untuk sampai di bukit itu. Tidak seperti kebanyakan orang. Sukar datang sendirian ke tempat itu. Banyak mata tertuju pada Sukar yang datang sendirian.Â
Mesik tidak semua melakukan hal yang sama. Bagi Sukar, itu bukan sebuah maslah yang menjadi masalah adalah ia takut terlambat untuk datang menyaksikan kunang-kunang yang terbang. Beruntung, pertunjukan belum dimulai. Sukar mengambil nafas lega. Ia segera menuju tempat yang lebih tinggi. Menjauhi tatapan beberapa pasang manusia yang mengaggapnya aneh, atau menjauhi beberapa bunyi cekrek  kamera yang digunakan untuk mengabadikan kegiatan mereka. Sukar sampai ditempat yang paling sering dia kunjungi. Dibawah pohon Randu dengan ilalang-ilalang yang cukup tinggi yang sebagian nya sudah ditumbuhi bunga-bunga berbulu berwarna putih.
      Orang-orang memanggilnya Sukar. Tapi, entah siapa nama aslinya.  Dia adalah penduduk baru di tempat itu. Dia datang ketempat itu sejak umur belasan tahun. Tidak ada yang tahu persis darimana asalnya, namun beberapa orang pernah bercerita kalau Sukar adalah anak buangan dari kampung sebelah yang ibunya mati tertusuk oleh pisau tajam saat pulang kerja diwaktu malam menjelang subuh. Ada yang bilang, ayahnya adalah seorang pensiunan Tentara yang mati di racun oleh istri pertamanya.Â
Ada juga yang bilang bahwa ayahnya adalah supir truk gandeng yang selalu datang kerumah ibunya. Dan ada sebagian orang yang berkata bahwa Sukar adalah anak dari majikan ibunya waktu ibunya bekerja sebagai asisten rumah tangga. Siapapun ayahnya, Sukar tidak terlalu memperdulikan itu. Jikapun dia tidak memiliki ayah sama sekali, itu bukan sebuah masalah.
      Sudah setengah jam Sukar duduk di tempat itu. Pertunjukan kunang-kunang masih juga belum dimulai. Sebenarnya selain dia menunggu pertunjukan kunang-kunang, ia juga menunggu kekasihnya yang sudah berjanji akan datang ke tempat itu untuk melihat kunang-kunang. Namun Sukar bisa memaklumi jika dia terlambat, dia tahu kekasihnya pasti bekerja lembur hari itu. Malam minggu memang banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Pukul Sepuluh lebih dua puluh menit. Akhirnya Kekasihnya datang. Tepat dengan pertunjukan Kunang-kunang yang baru saja dimulai. Dua hal yang ditunggu-tunggu oleh Sukar akhirnya tiba.
Aroma parfum wanita semerbak menusuk-nusuk hidung Sukar. Bercampur keringat yang menghiasi pelipis dan pipi kekasihnya. "Sudah lama menunggu?" Kekasihnya bertanya disamping Sukar.
"Tidak ada waktu yang cukup lama untuk membuatku menunggu kamu." Ucap Sukar disambut senyum kekasihnya yang merebahkan kepalanya di pundak Sukar.
"Kau bisa datang tidak terlambat untuk melihat kunang-kunang itu. Apakah hari ini perkerjaanmu sudah selesai?" Tanya Sukar. "Sudah tentu belum. Tapi aku tadi sudah izin ke Mami untuk pulang lebih awal. Lagian hari ini tidak ada pelanggan yang terlalu istimewa." Ucapnya berbohong.
Sukar mengangguk,
"Pekerjaanmu tadi siang gimana?" Kini giliran kekasihnya yang bertanya.
"Lumayan, tidak terlalau banyak. namun, uangnya cukup untuk mentraktirmu malam ini."
"Gak seperti biasanya, kau mentraktirku?"
"Malu, tiap ketemu. Kamu terus yang mentraktirku." Jawab Sukar tersenyum setelah mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya yang lusuh.
"Kau lihat kunang-kunang itu, orang-orang menyebutnya berasal dari kuku-kuku orang-orang yang mati ditempat ini." Ucap kekasihnya sembari menunjuk ratusan kunang-kunang yang terbang berwarna kuning ke hijau-hijauan atau hijau ke kuning-kuningan.
"Aku tidak percaya." Sukar menjawab setelah menghisap dalam-dalam rokoknya.
"Aku lebih percaya kunang-kunang itu berasal dari harapan-harapan orang-orang yang mati ditempat ini." Kembali Sukar melanjutkan. "Kenapa kau lebih percaya itu?" Kekasihnya bertanya
"sebab mereka mati dengan harapan yang tinggi. Kemudian harapan itu tidak sampai pada apa yang diharapkannya. Hingga kemudian, berubah menjadi kunang-kunang yang terbang kemudian menyala dan akhirnya kembali padam setelah mereka lelah."
"Darimana kau tau tentang itu?"
"Dari mulut-mulut kunang-kunang itu." Jawab Sukar singkat diakhiri dengan tawa nya yang renyah.
Desir angin yang lembut mengusap satu dua helai rambut kekasih Sukar, juga mengusap helaian rambut Sukar yang gimbal tidak terurus. Suasana menjadi begitu dingin. Kekasih Sukar yang memakai pakaian serba mini terdampak dinginnya malam itu.
"Bicara tentang harapan. Apakah kau mempunyai sebuah harapan?" Sukar bertanya setelah merapatkan badananya kepada kekasihnya yang terlihat kedinginan.
"Apa harus, seroang pelacur sepertiku mempunyai harapan?" Jawab kekasihnya pendek. Â Ya, dia adalah seorang pelacur kelas tinggi di daerah itu. Banyak orang ingin tidur dengannya. Tidak heran jika sang Mami mematok tarif yang tinggi untuk dia. Bukan hanya ingin menidurinya. Banyak juga lelaki yang ingin menjadi kekasihnya, atau melamarnya menjadi istrinya. Dengan paras yang cantik, kulit putih, dengan tahi lalat di dekat dagunnya, rambutnya yang terurai lurus berwarna hitam disertai hidungnya yang mancung siapa yang tidak tergila-gila dengan gadis itu, bibirnya yang tipis dan perawakan yang tinggi membuat kecantikannya bertambah lebih dari gadis-gadis pada umumnya ditempat itu.
Namun untuk urusan hati, ia memilih Sukar sebagai pasangannya. Bukan karena dia ganteng, bukan karena dia kaya, apalagi romantis seperti kebanyakan lelaki lainnya. Tidak ada yang bisa diharapkan dari Sukar yang berprofesi sebagai pencopet dan spesialis maling malam hari. Sudah belasan kali jika dihitung Sukar keluar masuk penjara. Namun tidak ada efek yang jera. Sukar meneruskan kembali pekerjaannya seperti biasannya.
"Setidaknya kau mempunyai harapan." Sukar mejawabnya.
"Kalau begitu, harapanku ingin seperti kunang-kunang itu." Jawab Kekasihnya sembari menunjuk kunang-kunang yang masih terbang menghiasi langit bukit itu. "Yang terbang tinggi, kemudian menyala dan membuat orang-orang senang dengan kehadiranku." Dia melanjutkan
"Lalu, apa yang diharapkan seroang pencopet sepertimu?" Tanya gadis itu.
"Aku ingin menjadi cahaya, agar kunang-kunangku tidak kehilangan cahayannya."
Kekasihnya tersenyum, entah apa yang membuatnya demikian. Malam itu yang dingin menjadikannya hangat dengan pelukan Sukar yang kasar. Lebih dekat, lebih pekat. Akhirnya bibir Sukar mendarat di lembutnya bibir kekasihnya. Suasana yang dingin berubah menjadi suasana yang panas. Dua orang yang dicap sebagai sampah masyarakat itu bersatu dalam nafsu dan cinta.
                                                                  *****
      Pukul sebelas malam, mereka beranjak pergi dari tempat itu beriringan dengan kunang-kunang yang mulai padam satu persatu. Beberapa orang yang juga ada ditempat itu mulai pulang satu persatu. Walau kini Sukar berjalan tidak sendirian. Namun, beberapa pasang mata masih saja menatap Sukar dan Kekasihnya dengan tatapan yang berbeda. Tatapan yang seperti berkata. Lihat, sampah ini dan pasangannya sedang menikmati malam minggu. Tempat makan di pinggiran daerah itu menjadi pilihan paling utama bagi Sukar dan Kekasihnya.Â
Sukar sudah Berjanji untuk mentraktir kekasihnya malam itu. Mereka menyusuri jalanan yang begitu ramai, pedagang-pedagang kaki lima yang meraup untung di malam minggu masih ramai dan tidak bisa dikalahkan oleh rasa kantuk. Juga para pengamen jalanan yang silih berganti menuju satu kios ke kios lainnya ikut serta membisingkan telinga. Walau suara mereka alakadarnya, namun tidak pernah lelah untuk sama mengais rezeki dari orang-orang yang ada di tempat itu.
"Yakin uangmu cukup untuk mentraktirku malam ini?" Kekasih Sukar bertanya sembari menggandeng tangan Sukar.
"Yakin." Sukar mengangguk.
"Kenapa gak sambil nyopet aja? Malam ini banyak orang datang ke tempat ini. Lumayan kan buat tambah-tambah."
"Aku gak mau menjadi pencopet saat bersamamu. Sepertihalnya kamu yang tidak pernah menjadi pelacur saat bersamaku." Ucap Sukar dengan pandangan yang lurus menuju tempat yang mereka tuju.
"Dua nasi dengan porsi istimewa." Ucap Sukar kepada Koh Lim Yong. Seorang Tionghoa yang sudah akrab betul dengan Sukar.
"Siap." Ucap Koh Lim sambil berlalu menuju piring dan Nasi hangat.
"Jangan khawatir Koh. Malam ini Gue yang bayar." Ucap Sukar setelah duduk di bangku barisan paling pojok.
"Pantesan kau banyak duit hah... hari ini orang-orang jarang datang ke warung Gue. Mungkin karena kau orang copet duit-duitnya hah..." Koh Lim berkata sambil mengambil beberapa lauk paling istimewa dari etalase.
Sukar terkekeh. Segera setelah makanan sampai. Dia langsung lahap makan. Tapi tidak terlalu lahap bagi kekasihnya. "Tenang Koh. Nanti Gue kasih tip deh."
"Lu makan aja dah. Gausah kasih tip segala. Mending duitnya kasih ke orang tidak mampu. Yang gak bisa makan biar mereka bisa beli makanan ke warung gue."
"Kenapa gak kasih langsung aja Koh makanannya ke mereka."
"Kalau Gue kasih langsung, gue rugi besar tong. Gue gak dapat cuan sama sekali"
Sukar tertawa, memang jiwa bisnis Koh Lim tidak pernah luntur walau usianya sudah tidak lagi muda.
 "Biasanya kau selalu menghabiskan makanan di tempat ini. Kenapa malam ini kau begitu terlihat tidak bersemangat.?" Sukar bertanya di tengah-tengah kunyahan giginya terhadap nasi yang dia makan.
"Aku ingin mengatakan sesuatu." Ucap Kekasihnya sembari memainkan sendok dan Garpu di piringnya.
"Sebenarnya, aku sudah beberapa kali....." Ucap Kekasihnya terhenti dan ragu.
Sukar menghentikan makannya. Terlihat serius menatap kekasih dihadapannya.
"Aku sudah beberapa kali berbohong padamu. Setiap kali aku bertemu kamu aku meminta izin pada Mami. Aku selalu kabur darinya hanya untuk bertemu kamu."
Sukar hampir tertawa mendengar itu. Namun dia tahan, hanya sedikit senyum yang keluar dari mulutnya. "Aku kira apa." Sukar melanjutkan makannya.
"Aku takut. Anak buah Mami melakukan hal yang tidak-tidak.."
"Terhadapmu? Kan ada aku." Jawabnya singkat.
"Bukan. Justru aku takut mereka melakukan sesuatu yang tidak aku inginkan terhadapmu."
"Kau tahu? Mami selalu melarang anak buahnya berhubungan dengan siapapun jika tidak membelinya. Dia memperlakukan anak buahnya seperti mesin uang. Tanpa menghasilkan uang maka akan terjadi sesuatu." Gadis itu menjelaskan dengan wajah yang begitu khawatir.
"Kalau begitu, aku akan membelimu setiap kali aku bertemu denganmu." Jawab Sukar setelah menghabiskan Nasinya.
"Aku tidak ingin menjadi pelacur dihadapanmu sepertihalnya kamu yang tidak pernah menjadi pencopet saat bersamaku." Gadis itu membalas.
"Kalau begitu, kau tidak usah khawatir. Aku akan tetap menjadi cahaya bagi kunang-kunangku agar tidak pernah kehilangan cahayannya." Ucap Sukar menggenggam tangan lembut gadis itu. Setidaknya, malam itu kekasihnya merasa tenang. Ia percaya pada janji dan ucapan Sukar yang tidak pernah ingkar.
      Malam itu, mereka pulang bersama dari warung Koh Lim. Menuju kontrakan Sukar yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sana. Kekasih Sukar tidak mungkin pulang ke Rumah Mami nya. Itu bukan keputusan yang tepat. Setiap kali mereka menghabiskan malam minggu, kekasihnya pasti pulang kerumah kontrakan Sukar. Setidaknya, malam itu terhindar dari kemarahan Maminya. Walau paginya pasti akan tetap terkena semprotan dan sumpah serapah dari sang Mami.
                                                                 *****
      Malam minggu yang dingin di Juli yang pertama. Orang-orang memanggilnya Murni. Atau sering dipanggil dengan Mbah Murni. Langkahnya tidak lagi tegak seperti dulu. kulitnya keriput, rambutnya mulai memutih hampir di selurh kepalannya.  Tangan-tangannya yang dulu mulus dan putih kini disebagian kulit-kulitnya muncul titik-titik hitam menandakan kulit tua sudah tumbuh. Giginya tidak serapih dulu, beberapa bagian giginya ada yang sudah patah atau Sebagian lainnya sudah diganti dengan gigi yang palsu.
      Di tempat itu  orang-orang begitu menghormati Wanita tua itu. di tempat yang orang-orang sering menyebutnya sebagai Lembah Hurip. Mbah Murni adalah pimpinan panti asuhan yang khusus mengasuh anak-anak yatim dan anak-anak terlantar. Puluhan anak  tinggal disana dan dirawat dengan baik oleh Mbah Murni dan beberapa karyawannya. Mbah Murni adalah orang baru yang datang ketempat itu. menurut orang-orang, ia tidak pernah menikah bahkan sampai usianya yang kini masuk usia senja. Disela-sela kesendiriannya, Mbah Murni sering melamun untuk akhirnya menangis dengan tersedu-sedu hingga berlarut-larut.
      Malam minggu adalah malam yang paling sering membuatnya menangis. Namun berbeda dimalam minggu di juli yang pertama itu. Mbah Murni datang ke tempat yang biasa orang-orang mendatangi tempat itu. Bukit Mati. Tempat yang lumayan jauh dari Lembah Hurip, membutuhkan waktu kurang lebih dua jam untuk sampai di Bukit Mati dari Lembah Hurip. Pertunjukan kunang-kunang yang baru saja dimulai ia nikmati. Kunang-kunang yang berwarna hijau kekuning-kuningan dan kuning ke hijau-hijauan. Mbah Murni yang tua. Mbah Murni yang malang, digenggamnya seikat bunga. Dan ia letakan pada dekat Nisan yang bertuliskan :
Sukar Bin Fulan.Â
 Wafat, Sabtu Malam Menjelang Subuh Tahun 1995
Disamping bunga itu, disimpannya secarik kertas yang dihiasi gambar kunang-kunang bertuliskan:
Sukar yang Malang, Hatimu langit subuh dipedesaan. Dingin dan menenangkan.Â
Sukar yang Malang, Matimu adalah alasan mengapa aku kini menjadi kunang-kunang yang tidak lagi bercahaya.
Sukar yang Malang, hidupmu abadi dalam diriku. Meski bukan sebagai cahaya yang kau janjikan hari itu. kau abadi sebagai nama yang akan menjadi sejarah dalam puisi-puisi yang kutulis dalam buku Bernama kesedihan.
Sukar yang malang, Terimakasih utnuk pengorbananmu malam itu, yang menyelamatkanku dari ancaman anak buah Mami yang kejam.Â
Sukar, Kematianmu menyelamatkanku untuk tidak lagi menjadi pelacur, bukan hanya dihadapanmu. Tetapi dihadapan -NYA.Â
Sukar, Pencopet yang dicap Sampah Masyarakat. Cintamu mencerahkan, sebagaimana janjimu yang akan menjadi cahaya bagi kunang-kunangmu yang hina.
Terimakasih, Sukar. Tepat 28 Tahun yang lalu. Setelah kematianmu yang mengenaskan itu. aku memutuskan untuk tidak pernah menikah. Tunggu aku di tempatmu.
Bukit Mati, 2023Â
Tertanda.Â
Murni, kekasihmu Pelacur Hina yang kau cerahkan dengan cahayamu.
Dan Bibir yang dulu manis itu dibawanya menuju Nisan itu. lalu menciumnya, lama sekali seraya matanya memicing. Lalu kemudian ia telungkup diatas batu itu. kemudian matanya tertutup dan tubuhnya lemas untuk selamanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI