"Terhadapmu? Kan ada aku." Jawabnya singkat.
"Bukan. Justru aku takut mereka melakukan sesuatu yang tidak aku inginkan terhadapmu."
"Kau tahu? Mami selalu melarang anak buahnya berhubungan dengan siapapun jika tidak membelinya. Dia memperlakukan anak buahnya seperti mesin uang. Tanpa menghasilkan uang maka akan terjadi sesuatu." Gadis itu menjelaskan dengan wajah yang begitu khawatir.
"Kalau begitu, aku akan membelimu setiap kali aku bertemu denganmu." Jawab Sukar setelah menghabiskan Nasinya.
"Aku tidak ingin menjadi pelacur dihadapanmu sepertihalnya kamu yang tidak pernah menjadi pencopet saat bersamaku." Gadis itu membalas.
"Kalau begitu, kau tidak usah khawatir. Aku akan tetap menjadi cahaya bagi kunang-kunangku agar tidak pernah kehilangan cahayannya." Ucap Sukar menggenggam tangan lembut gadis itu. Setidaknya, malam itu kekasihnya merasa tenang. Ia percaya pada janji dan ucapan Sukar yang tidak pernah ingkar.
      Malam itu, mereka pulang bersama dari warung Koh Lim. Menuju kontrakan Sukar yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sana. Kekasih Sukar tidak mungkin pulang ke Rumah Mami nya. Itu bukan keputusan yang tepat. Setiap kali mereka menghabiskan malam minggu, kekasihnya pasti pulang kerumah kontrakan Sukar. Setidaknya, malam itu terhindar dari kemarahan Maminya. Walau paginya pasti akan tetap terkena semprotan dan sumpah serapah dari sang Mami.
                                                                 *****
      Malam minggu yang dingin di Juli yang pertama. Orang-orang memanggilnya Murni. Atau sering dipanggil dengan Mbah Murni. Langkahnya tidak lagi tegak seperti dulu. kulitnya keriput, rambutnya mulai memutih hampir di selurh kepalannya.  Tangan-tangannya yang dulu mulus dan putih kini disebagian kulit-kulitnya muncul titik-titik hitam menandakan kulit tua sudah tumbuh. Giginya tidak serapih dulu, beberapa bagian giginya ada yang sudah patah atau Sebagian lainnya sudah diganti dengan gigi yang palsu.
      Di tempat itu  orang-orang begitu menghormati Wanita tua itu. di tempat yang orang-orang sering menyebutnya sebagai Lembah Hurip. Mbah Murni adalah pimpinan panti asuhan yang khusus mengasuh anak-anak yatim dan anak-anak terlantar. Puluhan anak  tinggal disana dan dirawat dengan baik oleh Mbah Murni dan beberapa karyawannya. Mbah Murni adalah orang baru yang datang ketempat itu. menurut orang-orang, ia tidak pernah menikah bahkan sampai usianya yang kini masuk usia senja. Disela-sela kesendiriannya, Mbah Murni sering melamun untuk akhirnya menangis dengan tersedu-sedu hingga berlarut-larut.
      Malam minggu adalah malam yang paling sering membuatnya menangis. Namun berbeda dimalam minggu di juli yang pertama itu. Mbah Murni datang ke tempat yang biasa orang-orang mendatangi tempat itu. Bukit Mati. Tempat yang lumayan jauh dari Lembah Hurip, membutuhkan waktu kurang lebih dua jam untuk sampai di Bukit Mati dari Lembah Hurip. Pertunjukan kunang-kunang yang baru saja dimulai ia nikmati. Kunang-kunang yang berwarna hijau kekuning-kuningan dan kuning ke hijau-hijauan. Mbah Murni yang tua. Mbah Murni yang malang, digenggamnya seikat bunga. Dan ia letakan pada dekat Nisan yang bertuliskan :