Mohon tunggu...
Yusbhi Sayputra
Yusbhi Sayputra Mohon Tunggu... wiraswasta, pengajar -

Creative Thinker

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Darmadi (1) Cewek Kamar Sebelah

25 November 2017   00:57 Diperbarui: 25 November 2017   01:19 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari tenggelam di ufuk barat. Langit berubah gelap karena Raja Siang telah kehilangan kuasanya. Sesaat malam yang pekat menjelang, orang-orang telah kembali ke tempat peraduannya, rumahnya, setelah berjuang seharian demi menyambung hidup. Begitupun ayah Rahmat yang menghabiskan lebih banyak waktu di pabrik. Rumah sederhananya selalu menjadi tempat favorit untuk kembali beristrahat dengan tenang sampai fajar menjelang keesokan harinya.

"Apaan ini?" cewek itu berseru ketika belum ada tiga puluh detik membaca tulisan cakar Godzilla---kalau cakar ayam mahbelum parah-parah banget---di tangan. "Kalau awalan ceritanya kayak gini, susah untuk dikembangin jadi cerita utuh."

Mirip kanebo yang dicelupin ke baskom air, seluruh persendian cowok kurus kayak orang yang nggak pernah ngemil nasi itu langsung lemas seketika. Dia kira, tulisannya itu bakal lolos tes kompabilitas oleh Kinanti. Tapi, air mukanya langsung masam ketika cewek itu malah mengumbar kritik, bukannya pujian.

Bagus jadi sedih. Usahanya bertapa tiga hari tiga malam, mandi kembang tujuh rupa, puasa senin-kamis, bahkan cari wangsit ke tempat-tempat sepi untuk bikin satu halaman cerita jadi sia-sia. Untung aja nggak sampai bakar sesajen segala.

"Ini mahmirip-mirip tulisan anak SD yang baru belajar mengarang," terang cewek mungil yang lebih senang rambutnya "dipasangi" poni membuat dua cowok lainnya buru-buru ngumpetinkertas HVS berisi tulisannya sendiri akibat kemungkinan hasil tulisannya nggak beda jauh "kacau"-nya dari tulisan milik Bagus.

 "Awan," Kinanti beralih perhatian. "Coba lihat hasil karangan kamu," katanya lagi sambil memasang gestur mirip preman pasar yang lagi malak uang jajan anak SMP.

Kayak maling yang tertangkap basah pengin ambil helm di tempat parkir, cowok berperawakan paling "manusiawi"---ya, bisa dibilang paling good looking---di antara mereka itu langsung mengeluarkan HVS yang sejak tadi didudukinya.

Namaku Rahmat. Aku seorang pelajar SMA. Kelas XI. Aku hanyalah seorang siswa yang biasa-biasa saja. Tidak terlalu populer di sekolah. Tidak seperti teman-temanku yang memiliki orangtua berada, ayahku hanyalah buruh pabrik dan ibuku hanyalah seorang tukang cuci di kampungku. Walaupun begitu, aku masih bersemangat datang ke sekolah pagi-pagi buta, dan berusaha mewujudkan mimpi agar orangtuaku bangga terhadapku.

Seusai membaca paragraf pertama, muka Kinanti makin masam. "Ini bikinan kamu atau hasil karangan adik kamu, sih? Udah nggak zaman bikin cerita pake cara memperkenalkan tokoh kayak gini."

Benar, kan. Cewek keturunan sunda itu cuma mengenal kata 'sempurna' di otak. Jadi, nggak ada tuh yang namanya 'belum sempurna' atau 'mendekati sempurna' di otaknya.

"Aku kan udah bilang kemarin. Kita itu pengin bikin cerita tentang Rahmat yang dari keluarga kurang berada, bersekolah di SMA yang isinya anak-anak dari keluarga kaya. Jadi tujuannya, kita itu harus kasih pesan moral kalo anak-anak muda kayak kita harus punya semangat belajar yang tinggi," jelas Kinanti membuat tiga cowok yang udah kayak anak murid lagi diomelin gurunya mengangguk-angguk. "Nah, gimana mau kasih pesan moral kayak gitu kalo hasil karangannya kayak tadi?"

Dan, perhatian Kinanti beralih ke cowok terakhir. Cowok yang, hem, ah, nggak bisa digambarkan dengan kata-kata. Pokoknya, cowok paling jadi pusat perhatian di kelompok mereka. Awan yang udah segitu gantengnya aja kalah kalau urusan pusat perhatian. Nggak percaya? Tengok aja reaksi Kinanti. Baru juga menatap cowok itu belum ada dua detik, hampir aja dia kelepasan ngakak. Untung aja Kinanti masih bisa kuat iman. Kan ceritanya lagi marah-marah karena tugas kelompok Bahasa Indonesia mereka terancam berantakan lantaran hasil karangan mereka juga berantakan.

"Coba aku lihat hasil kamu, Ma," todong Kinanti ketika Darma masih terbengong-bengong dengan omelan cewek itu barusan.

Dengan perasaan takut-takut, cowok berambut kriwilitu memungut selembar (em, kurang dari selembar lebih tepatnya) kertas yang mungkin hasil sobekan buku tulisnya dari tas punggung cokelat tua miliknya.

Melihat kertas yang dijulurkan Darma itu, sontak anak-anak pada melongo. Entah antara terlalu irit atau nggak ngerti betul definisi ujaran 'satu lembar' sehingga dengan pede-nya Darma menyerahkan tiga perempat lembar kertas dari buku tulis Kiky.

"Kebiasaan," Awan membatin.

Ya, mereka masih heran dengan kebiasaan Darma yang selalu irit dalam mengeluarkan kertas dari buku tulis Kiky-nya. Setiap ulangan pelajaran apapun, guru suka negur Darma agar cowok itu "rela" mengeluarkan satu lembar utuh. Katanya sih, biar sopanlah. Yakali kita guru udah capek-capek bikin soal, tapi cuma dibalas tiga perempat lembar kertas buat jawaban. Udah gitu, tulisannya mirip-mirip tulisan dokter, lagi. Untung aja Darma nggak nulis resep obat betulan. Bisa-bisa anak-anak pada nyerbupuskesmas terdekat karena muntah darah.

"Kamu itu niat ikut ulangan nggak, sih?" tegur salah satu guru suatu kali ketika sedang membagikan hasil ulangan minggu sebelumnya. "Lihat kertas jawaban teman-teman kamu! Masa keluarkan satu lembar kertas dari buku tulis kamu aja nggak mau? Kalau jawaban kamu betul semua, sih, Ibu masih maklum. Lha, ini. Dari sepuluh soal, cuma ada satu yang benar."

Nggak tega Darma terus-terusan kena tegur, akhirnya anak-anak kelas menggalakan program "Kertas Untuk Darma". Teknisnya, mereka patungan beberapa ratus perak untuk membeli buku tulis setiap minggunya. Buku tulis khusus buat Darma. Tapi, program itu nggak bertahan lama karena ditentang oleh sebagian besar anak. Lantaran, mereka mulai merasa nggak rela uang jajannya dipangkas demi kepentingan Darma. Katanya, walaupun cuma beberapa ratus perak, lumayan. Ya, lumayan buat bayar parkir atau pompa ban motor misalnya. 

Program "Kertas Untuk Darma" itu bukan satu-satunya program yang mereka buat untuk Darma. Ada juga program lainnya. Misalnya, "Koin Untuk Darma" ketika Darma pengin pulang tapi kehabisan bensin dan uang jajannya lenyap lantaran jajan gila-gilaan di kantin, "Senyum Untuk Darma" ketika Darma ceritanya lagi sedih atau lagi galau karena cewek incerannya udah jadian sama orang lain, "Lilin Untuk Darma" ketika Darma lagi di-bullysama guru karena warna kulitnya gelap gulita, dan kami tergerak untuk kasih lilin supaya bisa bikin cowok itu sedikit lebih terang. Hihi. Untung aja nggak jadi kasih lampu petromak. Tadinya, anak-anak pengin kasih "Lampu Petromak Untuk Darma" soalnya, kan, jauh lebih terang dari lilin. Tapi karena repot bawanya, yaudah nggak jadi.

Oh ya. Ngomong-ngomong soal Darma, mereka jadi ingat waktu pertama kali Darma masuk ke kelas mereka. Ya, cowok itu emang siswa pindahan ketika mereka baru naik kelas XI.

Ketika itu, hari masih sangat pagi. Hari masih gelap. Matahari belum tampak. Lampu-lampu jalan dan rumah-rumah penduduk masih menyala. Bulan masih terlihat jelas di langit. Belum banyak orang yang beraktivitas, kecuali pedagang pasar tradisional. Jalanan masih sangat lengang. Dan....

STOP!

Yaelah. Lebay amat narasinya. Ah, pokoknya waktu itu adalah jam-jam anak sekolah berangkat. Abaikan narasi di atas. Hehe.

Seperti biasa, suasana kelas kami sebelum bel sekolah dibunyikan oleh Wakasek Kesiswaan selalu ripuh. Apalagi ketika itu menjelang agenda upacara senin. Udah pasti (terutama anak-anak cowok) pada asyik ngobrolin hasil pertandingan sepakbola Eropa semalam. Yang kena ejek karena tim favoritnya kalah, ada. Yang kena palak karena kalah taruhan, ada. Bahkan, yang senyam-senyum karena tim favoritnya menang plus dapat duit taruhan pun ada. Sementara anak-anak cewek, nggak ada lagi, pasti pada ceriwis ngobrolin pengalaman malam minggu yang, ya, nggak jauh-jauh dari yang namanya jalan sama pacar, makan bareng gebetan, nongki-nongkibareng temen se-geng, di-php-in "tukang ojek" yang nggak jadi jemput, cuma nonton tv doang di rumah, atau mungkin berantem sama pacar.

"Mana duit ira[1]? Jagoan irasemalem kalah telak, jeh," kata Boby, cowok bertubuh raksasa yang udah dilabeli dukunnya berandalan sekolah oleh guru-guru, menodong Alvian yang ketika itu belum ada satu meter melewati pintu kelas.

 

Rupanya cowok itu sengaja nangkring lebih awal di kelas ketika senin tiba, hem, atau lebih tepatnya ketika doi "menang banyak". Biasanya, ya, namanya juga dukunnya berandalan sekolah, kalau nggak datang beberapa detik menjelang bel masuk, palingan juga telat. Kalau telatnya kebangetan, palingan juga bolos. Kalau bolosnya kebanyakan, palingan juga dipanggil guru BP. Kalau udah dipanggil guru BP, palingan juga orangtuanya diminta datang ke sekolah. Gitu aja terus sampai negara api menyerang. Malahan, orangtuanya jadi akrab sama satpam, ibu kantin, guru BP, pegawai TU, dan beberapa penghuni sekolah lainnya. Saking apanya, tuh? Ya, saking udah keseringan dipanggil.

"Mana dua puluh ribu?" kata Boby sekali lagi sambil menjulurkan telapak tangan.

Alvian mendongak. Cowok kerempeng itu masih heran, kenapa ada orang yang setinggi itu di kelasnya. Dia curiga, emaknya Boby dulu ngidam tiang jemuran, eh, tiang listrik kali, ya. Dan, melihatnya aja udah bikin jiper, apalagi ditodong duit taruhan. Makin mengkeretlah dia. Buru-buru Alvian merogoh saku celana, keluarin selembar uang dua puluhan yang udah doi persiapkan dari rumah. "Ini, Bob," tukasnya sambil memindahtangankan benda itu di tangan dengan perasaan berat hati.

Ketika lembar uang dua puluhan itu sampai ke tangan Boby, bel sekolah tanda segera mulainya upacara bendera, berbunyi nyaring. Dan... bruk!

Boby oleng dan hampir jatuh, tapi masih untung tangannya tertopang meja, akibat ditabrak sesuatu dari belakang. Ya, sesuatu. Menurutnya, hampir mustahil jika yang menubruknya itu 'seseorang', pasti 'sesuatu'. Secara badannya aja tinggi besar, butuh sepuluh orang kali supaya bisa bikin Boby oleng. "Anjir. Gue diseruduk babi," mungkin itulah kalimat yang tercetak di otak Boby ketika itu. Kalau cuma bulu babi, sih, nggak masalah. Lah ini, malah babi hutan. Untung aja bukan babi ngepet atau babi ngesot. Eh, itu mahsuster, ya, yang ngesot.

Boby buru-buru menoleh. Dan, kurang dari lima detik, alisnya berkerut ketika seonggok makhluk astral berdiri dengan sedikit menunduk sambil menjulurkan tangan kanannya. "Sor.. sori. Nggak sengaja," kata si makhluk astra itu kepada Boby yang masih terbengong-bengong.

Melihat pemandangan itu, anak-anak jadi heboh sendiri. Ada yang teriak histeris sambil melongokkan kepala ke jendela, ada yang nangis-nangis karena nggak kuat, ada yang muntah-muntah sambil cari-cari kantong kresek, dan ada juga yang balik kanan-bubar-jalan padahal upacara aja belum dimulai. Sementara Boby, dia emang nggak bereaksi apa-apa kecuali bengong. Tapi, pada detik pertama doi lihat si makhluk astral, sebenarnya Boby kaget bukan main. Mungkin asumsinya sama kayak anak-anak yang lain, dikira lagi lihat penampakan.

Kenapa? Tengok aja tampilan cowok asing yang tiba-tiba muncul, nubruk Boby, lalu menjulurkan tangan ke dukunnya berandalan sekolah. Rambut kriwel-kriwel mirip mie merek lokal, tubuh bantet nan subur yang anak-anak kira Dajjal udah muncul, ditambah kulit eksotis yang dibungkus seragam putih-abu-abu karena keseringan main layangan seharian penuh. Wajar kalau anak-anak pada heboh sendiri.

Tapi, kehebohan nggak bertahan lama sampai Pak Momot---guru olahraga sekaligus wakasek sarana-prasarana---yang biasa berpatroli ke kelas-kelas sebelum upacara, muncul untuk menyuruh semua anak ke lapangan upacara.

Di lapangan upacara, tepatnya ketika kepala sekolah lagi cuap-cuap di sesi amanat pembina upacara, perhatian anak-anak nggak bisa lepas dari cowok asing yang tadi jadi sumber kehebohan.

"Bro," kata Bagus memecah keheningan sambil menepuk bahu kanan cowok itu. "Irasiswa pindahan?"

Cowok itu menoleh, mengangguk.

Bagus membulatkan bibir. "Pantes," katanya lagi sambil ngangguk-ngangguk. "Nama irasiapa?"

"Darmadi."

"Darmadi?"

"Iya, Darmadi."

"Darmadi.. siapa? Lengkapnya?"

"Darmadi."

"Nama lengkapnya?"

"Darmadi."

"Darmadi.. Darmadi aja?"

"Darmadi."

"Ha? Darmadi?"

"Iya, Darmadi."

Oke, cukup. Bagus nggak sanggup ngelanjutin. Dia udah kepalang tersihir oleh kesan pertama yang cowok asing, eh maksudnya Darmadi, tunjukkin di awal. Kalau Bagus maksa ngelanujutin introgasinya, dijamin perutnya bakal sakit akibat ngocolnggak berhenti-berhenti.

"Bro, irakelahiran taun 80-an atau 70-an?"

Darmadi menoleh, mengernyit. "Maksudnya?"

"Setahu kita[2],ya, udah nggak ada lagi orang yang kasih nama anaknya cuma satu kata di zaman sekarang. Terakhir yang pake nama cuma satu kata itu angkatan bapa kita. Hem. Tapi, cocoklah. Nama sama muka, sama-sama jadulnya."

 

Nasib sial Darmadi berlanjut ketika....

"Kinan," seru Awan bikin Kinanti injek-injek bumi lagi. "Malah ngelamun."

Kinanti tengsin sendiri mengingat kejadian ketika pertama kali Darmadi masuk ke kelasnya. Kinanti lantas menyambar kertas "setengah jadi" milik Darmadi.

Awan dan Bagus memilih undur diri sebentar ke warung ketika prosesi tes kompabilitas oleh Kinanti baru aja dimulai dengan Darmadi yang jadi pesertanya. Dan, Kinanti langsung membaca hasil tulisan cowok itu yang, ya, kayaknya nggak sampai lima menit lah. Orang isinya lima kalimat yang dirangkai jadi satu paragraf.

Baca-baca. Mengernyit.

Baca-baca. Mengernyit lagi.

Baca-baca. Makin mengernyit.

Baca-baca. Lebih mengernyit.

Baca-baca. Tambah mengernyit lagi.

Huft. Untung cuma lima kalimat. Coba kalau ada puluhan, muka Kinanti langsung berubah jadi nenek-nenek tuh kayaknya karena kebanyakan mengernyit sampai keriput. Hem. Tapi nggak ada untungnya juga, sih. Malah Kinanti jadi gondok sendiri karena Darmadi bikin tulisan yang terkesan asal-asalan. Nggak ada tuh unsur seninya. Mirip balita yang baru pertama kali pegang pensil warna.

"Ma, begini, ya," Kinanti angkat suara ketika selesai membaca. "Tulisan kamu ini paling kacau dibanding tulisan Awan sama Bagus. Sebenarnya, kamu niat bikin karangan nggak, sih?" tanyanya sambil mengangkat muka, menatap Darmadi.

Tahu apa respon Darmadi? Nggak ada. Cowok itu nggak benar-benar perhatiin. Malahan, arah matanya sama sekali nggak tertuju ke Kinanti.

"Ma?"

Ntar dulu, ah. Suara hatinya Darmadi

"Darma?"

Ntar dulu.

"Darmadi?"

Ntar.

"Woi, Darmadi?!" Kinanti kelepasan menoyor kepala Darmadi membuatnya meringis. "Liatin ap.... Oo... Pantes," cewek itu langsung memandang maklum ketika ngehDarmadi lagi perhatiin seorang cewek yang baru aja membuka pagar lalu merangsek ke dalam rumah.

Melihat reaksi Darmadi yang udah kayak orang lagi kena hipnotis, Kinanti jadi ingat alasan teman-teman geng-nya itu memilih rumah kosnya dijadikan basecampketika ada PR atau tugas.

"Kalo ada tugas kelompok atau tugas apa gitu, kenapa nggak kerjainnya di kos Kinanti? Kan lebih enak. Deket dari sekolah. Jalannya nggak ribet. Terus, ada gazebonya, lagi," kata Bagus sebulan yang lalu ketika mereka kebingungan tentuin tempat untuk ngerjain tugas kelompok ekonomi.

"Tapi, kan, kos Kinanti itu kos khusus cewek, Gus. Ntar malah kita diusir gara-gara ngeganggu privasi anak kos di sana," seperti biasanya, Awan nggak langsung ambil keputusan. Dia adalah orang yang paling bisa mikir panjang ketimbang Darmadi dan Bagus.

"Gampang itu mah, Wan," sambar Bagus ketika yang lainnya masih dilanda banjir, eh, kebingungan. "Kita sepikinaja ibu kosnya. Ntar deh, kitayang ngomong. Hehe."

Dikira cuma asal bunyi, eh, Bagus betulan sepikinibu kosnya Kinanti ketika Bagus sengaja antar Kinanti pulang sekolah. Kinanti sebetulnya nggak tahu-menahu apa yang Bagus omongin ke wanita empat puluhan yang rumahnya tepat di sebelah kos. Yang Kinanti tahu, cuma acungan jempol dan sunggingan senyum semringah ketika Bagus hendak menderu pergi menjauh. Ya iyalah menjauh, masa pergi malah mendekat.

Ketika ditanya apa yang diomongin waktu ngobrol sama ibu kosnya Kinanti, Bagus cuma bilang begini. "Kita nggak usah bingung lagi kalo lagi ada tugas kelompok, kita ke kosnya Kinanti aja. Ibu kos udah kasih izin, kok. Boleh pake gazebonya sepuasnya."

"Ha?"

"Serius?"

"Emang irangomong apaan ke dia?"

"Kemarin kitabilang kalo mau minta izin numpang kerjain tugas sekolah di sini. Tapi nggak sampe masuk ke ruang tamu atau kamar. Cuma di gazebonya aja. Itung-itung jadi satpam. Barangkali ada anak kos yang bawa cowok ke dalam, atau pacaran di kos, kan bisa langsung ditegur. Terus juga, ya, sekalian jagain koslah. Daerah situ kan terkenal rawan maling."

Dasar Playboy Cap Ekor Sapi. Bisa aja modusnya. Padahal, yang pengin masuk ke kamar anak-anak kos di sana, kan, dia sendiri. Ya, Kinanti udah bisa mengendus maksud terselubung cowok yang memiliki pitak di kepala bagian samping kanan akibat dilempar batu sama orang gila waktu dia kecil.

Efeknya, ketika mereka ada tugas individu atau kelompok, hampir pasti dengan sangat-amat-paling-lebih antusias akan menyebut nama "Wisma Putri Ayu" sebagai rekomendasi tempat. Alasannya? Udah pasti jawabannya akan begini, "Pengin lihatin cewek-cewek rantau yang lagi kesepian," kata Bagus. Bodo amat walaupun akses ke sana harus mendaki gunung, lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudera, bersama teman berpe... eh, kok malah nyanyi soundtrack-nya Ninja Hattori. Ya, pokoknya lumayan jauh, deh, dari pusat kota. Tepatnya di belakang hotel bintang empat yang ada di jalan by-pass.

Untung aja nggak ada kasus Bagus yang lagi ngintipin cewek-cewek di kos, nyolong jemuran, ngumpetin sandal, pura-pura jadi petugas sensus buat modus, atau godain seluruh masyarakat yang ada di kos. Ya, kalau cuma lihatin sambil ngiler-ngiler dikit, udah sering Kinanti temuin. Tuh, contohnya. Darmadi. Bentar lagi kayaknya longsor, tuh, mulutnya.

"Ma, awas tuh," kata Kinanti ketika Darma puas mantengin cewek yang tadi lewat karena cewek itu udah masuk.

"Eh, iya. Kenapa, Kin..... Sssep..."

"Nah, kan. Baru aja mau dikasih tahu. Udah longsor duluan," Kinanti menepuk jidat lalu geleng-geleng. Mimpi apa dia, punya temen kayak gitu.

Darmadi malu sendiri walaupun urat malunya udah lama kepotong. Dia menggaruk-garuk tengkuk. "Maaf, Kinan. Nggak sengaja. Hehe," katanya. "Oh, ya. Yang ta..."

"Namanya Santi. Orang Majalengka. Kelas XI juga, di SMA Perjuangan. Kamarnya persis di sebelah kamar aku."

Wuih. Darmadi takjub sendiri Kinanti udah bisa baca pikirannya. Doi jadi curiga Kinanti punya indera kesepuluh. Tapi, jawaban Kinanti tadi bikin senyumnya merekah. Sambil ber-oh ria,  Darmadi manggut-manggut. Cewek kamar sebelah, ya...


 
 

[1] Lo atau kamu

   

[2] Gue atau saya

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun