Memandang sebuah masyarakat manusia laiknya preparat atau spesimen dalam tabung vakum percobaan ilmiah, bukan saja tidak bisa, melainkan salah sama sekali. Kesalahan fatal, yang bila mengutip Pramoedya Ananta Toer tergolong "sejak dari pikiran". Masyarakat atau komunitas manusia juga tak bisa diasumsikan memakai dogma "ceteris paribus" dalam ilmu ekonomi, yang dalam realitas pun sejatinya tak pernah terbukti.
Dengan demikian, berharap satu masyarakat manusia tetap tak mengalami perubahan adalah kesia-siaan, bahkan boleh dibilang mustahil. Manusia dan kehidupannya nyaris 100 persen memenuhi diktum purba yang dikemukakan flsuf Yunani Herakleitos, "Panta rei---semua mengalir, segalanya berubah".
Demikian pula dengan suku Tobelo Dalam (O'Hongana Manyawa) yang tinggal di pedalaman Halmahera Utara. Terlalu naif berharap masyarakat tersebut tetap statis dalam keterbelakangan mereka sebagaimana abad ke-17 lalu. Sementara, data sejarah pun menegaskan, pada akhir abad 18 sudah banyak di antara orang-orang Tobelo yang menjadi bagian pasukan Sultan Nuku. Tentu saja, mereka juga memakai seragam laiknya prajurit Tidore lain. Artinya, saat itu mereka pun sudah berpakaian layaknya anggota komunitas lain yang telah menikmati peradaban.
Memang sering terjadi keganjilan berupa falsifikasi (pemalsuan atau manipulasi), bahkan dari pihak -pihak yang seharusnya menjaga kebenaran. Misalnya, yang terjadi pada bangsa Indian, terutama yang mendiami wilayah-wilayah yang kini disebut Amerika Serikat pada akhir abad 19. Pada saat itu sejatinya kaum Indian---apalagi yang berada di reservasi---sudah berpakaian modern. Namun di media, tampaknya ada desakan untuk tetap menegaskan bahwa mereka belum lagi berpakaian 'layak' laiknya orang-orang modern.
Hal itu dikuatkan dengan banyak hal. Fotografi dan seni yang dibuat selama abad ke-19 seringkali menampilkan penduduk asli Amerika dalam pakaian tradisional mereka, meskipun mereka sebenarnya berpakaian ala Barat. Fotografer seperti Edward Curtis, misalnya, kadang-kadang meminta subjek untuk mengenakan pakaian tradisional mereka guna menciptakan gambaran yang "otentik", meskipun mereka biasanya mengenakan pakaian modern pada kehidupan sehari-hari.
Propaganda pemerintah Amerika Serikat saat itu juga memiliki kepentingan untuk menggambarkan penduduk asli Amerika sebagai "primitif" untuk membenarkan kebijakan asimilasi ketat yang mereka berlakukan. Gambar-gambar yang menunjukkan orang Indian dalam "pakaian tradisional" sengaja disebarluaskan untuk menegaskan perbedaan budaya yang perlu "diperbaiki" melalui pendidikan dan asimilasi. Belum lagi penyajian dalam pertunjukan. Pada pertunjukan seperti Buffalo Bill's Wild West Show, penduduk asli Amerika sering kali diperlihatkan mengenakan pakaian tradisional untuk memenuhi ekspektasi penonton, meskipun di kehidupan nyata mereka sudah berpakaian modern.
Itu pula yang terjadi pada suku Tobelo Dalam.
Pengamatan Antropolog Christopher Duncan pada warga Tobelo Dalam yang disampaikan dalam artikel di The Asia Pacific Journal of Anthropology tahun 2001, berjudul "Savage imagery: (Mis)representations of the Forest Tobelo People", menunjukkan hal itu juga terjadi di Halmahera utara.
Berkaitan dengan urusan fulus, Duncan mencatat, seorang pegiat gereja menyelipkan foto orang-orang Tobelo Dalam yang hanya bercawat dalam proposal yang dia kirimkan ke lembaga gereja dunia.
"Saya berkali-kali mengunjungi Dororam dan melihat hanya dua laki-laki paruh baya yang hanya bercawat. Para perempuan pun tidak pernah tidak memakai baju," tulis Duncan.
"Tapi pegiat gereja itu berkeras bahwa foto orang Tobelo Dalam yang primitif harus dipertahankan saat merayu gereja memberi bantuan," lanjut Duncan dalam jurnal tersebut.
"Padahal mayoritas dari mereka sudah mengadopsi cara berpakaian ala Barat. Laki-laki memakai baju dan celana, sementara para perempuan memakai sarung dan baju," kata Duncan.
Kejadian itu kongruen - istilah Matematika untuk "sama dan sebangun" - meski berbeda tempat. Di Provinsi Jambi, walau para anggota Suku Anak Dalam (SAD) atau Orang Rimba sudah sangat terbiasa mengendarai sepeda motor, LSM Warsi yang mengadvokasi mereka menulis pada media internal bernama "Alam Sumatera" Volume 1 No. 1/Januari 2001, menceritakan bagaimana Orang Rimba di Bukit Duabelas menjalankan kehidupan dalam nuansa eksotis dan romantis. Seakan Orang Rimba berbeda secara kontras dengan kehidupan masyarakat lain yang lebih modern.
Dari Teori ke Bukti-bukti Lapangan
Hampir semua teori dan bukti-bukti lapangan mengatakan perubahan di masyarakat adalah sebuah hukum besi. Mau tak mau akan terjadi, suka atau pun tidak kita menghadapinya.
Teori yang dikemukakan Roland Robertson tentang globalisasi, misalnya. Robertson yakin, arus informasi, budaya, dan ekonomi global dapat mempengaruhi cara hidup masyarakat adat. Teori globalisasi Robertson yang terdapat dalam bukunya, "Globalization: Social Theory and Global Culture", itu menekankan bagaimana globalisasi menciptakan interkoneksi global yang mengubah kehidupan di tingkat lokal.
Teori lainnya menegaskan pengaruh pendidikan dan media. Teori yang diusung Everett Rogers, seperti termuat dalam bukunya, "Diffusion of Innovations", menjelaskan tentang teori difusi inovasi yang menggambarkan bagaimana ide-ide dan teknologi baru menyebar dalam dan melalui masyarakat, yang kemudian mengubah komunikasi.
Belum lagi adanya teori yang mengangkat soal desakan internal dari kaum muda. Teori perubahan sosial yang diusung kuat oleh Anthony Giddens ini menyebutkan, agen sosial (individu) berperan aktif dalam membentuk kembali struktur sosial melalui tindakan mereka. Pada bukunya yang nyaris klasik, "The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration", Giddens memperkenalkan teori perubahan sosial dan strukturasi, yang juga bisa menjelaskan peran individu dalam membentuk kembali struktur sosial.
Untuk teori ini, kita dengan gampang menunjuk fenomena di TikTok. Seorang gadis komunitas adat Baduy luar, Rumsyah, belakangan ini terkenal di dunia maya. Rumsyah yang tergolong cantik itu memiliki akun di TikTok @rumsyahbadui, dengan pengikut pada Juni 2024 saja tak kurang dari 65 ribu orang. Jumlah pengikut Rumsyah lebih dari 100 ribu orang bila akun Instagram-nya dihitung. Sebagai warga Baduy Luar, Rumsyah terlihat sudah menjalani kehidupan modern. Via akun Instagram dan TikTok yang dimilikinya, Rumsyah secara rutin membagikan momen kegiatan sehari-harinya.
Lebih khusus lagi, terkait Suku Tobelo Dalam, Christopher Duncan juga pernah secara khusus menulis tentang peran orang muda dalam perubahan suku tersebut. Dalam "Untangling Conversion: Religious Change and Identity among the Forest Tobelo of Indonesia", yang diterbitkan University of California Press pada 2009, Duncan membahas bagaimana kaum muda Tobelo, yang terpapar pendidikan dan dunia luar, mulai mengadopsi dan mempraktikkan nilai-nilai dan praktik yang berbeda dari tradisi mereka selama ini. Sama dengan kondisi yang terjadi di SAD dan masyarakat adat Baduy di Banten.
Belum lagi bahwa kita pun harus mempertimbangkan pemerintah dan pembangunan yang diusungnya. Program favorit pemerintah untuk Suku Tobelo Dalam biasanya "pengrumahan" alias membuatkan mereka rumah untuk "memaksa" mereka menetap. Setidaknya cara itu telah dilakukan sejak tahun 1952, yang memindahkan orang-orang Tobelo Dalam dari tengah hutan ke pemukiman permanen di sejumlah desa.
Duncan menulis hal itu dalam artikel berjudul "Resettlement and Natural Resource in Halmahera, Indonesia."
"Pada tahun 1952, Kepala Desa Lolobata, Halmahera Tengah, yang istrinya keturunan Tobelo Dalam, meyakinkan 80 orang dari komunitas itu untuk membuat pemukiman bernama Para-Para di sebelah Desa Dodaga, tapi hanya 75 orang yang bersedia menetap di sana," tulis Duncan.
Apa boleh buat, mereka hanya betah tinggal selama dua bulan setelah Pemilu 1955.
"Mereka semua akhirnya kembali ke hutan karena berkonflik dengan warga desa," kata Duncan.
Tahun 1964 kembali dilakukan hal serupa, juga pada 1978 dan 1990-an. Hasilnya berakhir serupa, karena mayoritas orang Tobelo Dalam kembali ke hutan dan melanjutkan cara hidup nomaden mereka. Duncan mencatat, sejak dekade 1970-an hingga 1990-an, dengan mengutip pemaparan riset di seminar Departemen Sosial Provinsi Maluku, menyatakan setidaknya ada 17 kali upaya pemerintah Indonesia memukimkan orang-orang Tobelo Dalam ke rumah-rumah permanen.
"Seluruh upaya itu," kata Duncan, "gagal."
Namun sejatinya tak sepenuhnya upaya itu gagal. Setidaknya dari kacamata pemerintah tentang "kemajuan".Â
Menurut sosiolog dari Universitas Muhammadiyah Maluku Utara Syaiful Madjid menyatakan bahwa program memukimkan orang-orang Tobelo Dalam itu akhirnya mengubah pola hidup mereka. Setelah (sempat) tinggal di permukiman permanen, hubungan komunitas dengan hutan, terutama di kalangan generasi muda-mudinya, terputus.
"Akibat dimukimkan, ada perubahan. Misalnya pola makan, mereka kini mengkonsumsi beras dan ikan laut, hampir mirip dengan orang pantai," ujar Syaiful.
Tetapi secara riil, tampaknya yang paling berhasil mengubah pola hidup (sebagian) warga Tobelo Dalam selama ini justru adalah para penginjil Belanda yang tergabung dalam Utrechtsche Zendingsvereeniging (UZV), yang berkiprah di masyarakat Tobelo Dalam dari 1866 hingga awal terjadinya Perang Dunia II, 1942.
Menurut Irfan Ahmad, staf pengajar Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun, Ternate, dalam artikel berjudul "Agama Sebagai Perubahan Sosial: Kristenisasi di Tobelo 1866-1942", yang termuat dalam jurnal "Lembaran Sejarah", Vol. 11, No. 1, April 2014, proses penginjilanlah yang sangat signifikan melahirkan perubahan-perubahan sosial budaya dalam kehidupan masyarakat Tobelo. Inisiatif para penginjil untuk mendirikan sekolah kristen serta pelayanan dalam bidang sosial merupakan awal dari pembaruan yang terjadi di suku itu.
"Tidak dapat dimungkiri," tulis Irfan, "nilai-nilai kristiani yang diperkenalkan oleh UZV merupakan representasi proses historis, sosiologis, dan kultural dari masyarakat pendukungnya."
Irfan melihat, kehadiran agama Kristen dengan membawa berbagai nilai-nilai kristiani di Tobelo Dalam itu tentu sangat dipengaruhi oleh nilai budaya Eropa yang mendominasi berbagai nilai, perilaku, dan norma sosial pada periode tersebut.
Sebagai contoh, boleh jadi bila sebelumnya pada akhir abad 18 pakaian "modern" hanya menyentuh orang-orang Tobelo yang menjadi laskar Pangeran (dan kemudian Sultan) Nuku, setelah datangnya UZV makin banyak lagi warga Tobelo Dalam yang memakai pakaian "modern".
Dalam tulisannya Irfan menyatakan "...Orang Tobelo pedalaman (Alfur) yang (melakukan - penulis) konversi ke agama Kristen tidak hanya berpakaian lebih baik, mereka diharuskan memotong rambut agar kelihatan rapi dan lebih bersih dibandingkan dengan kerabat mereka yang "menyembah berhala" - dua tanda petik dari penulis. Umumnya pakaian orang Kristen lebih baik dari penduduk dengan kepercayaan yang berbeda.
Lebih lanjut, Aguswati Hildebrandt Rambe dalam "Dari Misi Penaklukan (Misi Imperial) ke Arah Misi Pembebasan dan Pendamaian: Suatu Upaya untuk Memahami Ulang Misi Kristen dalam Hubungan Dialogis dengan Agama-Agama", dalam Jurnal STT Intim Makassar. edisi 6, 2004, menulis: "...Pada masa zending, seseorang (yang) menjadi Kristen diharuskan memakai kaos, kemeja, celana dan rok panjang seperti pakaian orang Belanda, yang digunakan jika beribadah."
"Para penginjil juga turut memperkenalkan gaya hidup orang Belanda setelah orang Tobelo konversi ke agama Kristen. Kemajuan terlihat setelah diperkenalkan pendidikan, pelayanan medis, pengenalan cara berpakaian, sikap-tingkah laku, penataan kampung, jalan, serta kebersihan dalam kehidupan sehari-hari," tulis Irfan.
Alhasil, pada pokoknya, perubahan telah sejak lama terjadi di warga Tobelo Dalam. Tidak bisa dikatakan bahwa mereka berubah - apalagi dengan menilainya berdasarkan ukuran "lebih buruk dari sebelumnya" - hanya karena datangnya pertambangan nikel, seperti umumnya dipahami sebagai orang saat ini.
Bantuan dari Luar
Mustahil untuk mengatakan bahwa pertambangan dan industri nikel yang datang ke Halmahera Utara tidak membawa pengaruh apa pun terhadap warga, juga warga Tobelo Dalam yang wilayahnya berada dalam Izin Usaha Pertambangan (IUP). Ketika tambang nikel memasuki dan mengusik kehidupan masyarakat adat Tobelo Dalam, berbagai dampak signifikan dapat terjadi, baik secara sosial, ekonomi, maupun lingkungan.
Pertambangan telah mengubah struktur sosial masyarakat adat di sana. Hierarki tradisional dan peran sosial terlihat kian tergeser oleh nilai-nilai baru yang masuk seiring datangnya para pekerja tambang dan perusahaan dalam keseharian orang Tobelo Dalam.
Kadang tidak hanya itu. Kedatangan perusahaan tambang juga rawan memicu konflik antara masyarakat adat dengan para pekerja tambang atau perusahaan. Umumnya terkait masalah hak atas tanah dan sumber daya.
Belum lagi dampak ekonomi berupa kecenderungan berubahnya mata pencaharian warga. Misalnya, warga yang sebelumnya mengandalkan pertanian dan hutan, mungkin dipaksa keadaan untuk beralih ke pekerjaan di sektor tambang atau layanan terkait. Tentu saja itu bisa mengubah pola ekonomi tradisional yang sebelumnya mereka jalani.
Betapa signifikannya perubahan yang terjadi pada warga yang lingkungannya kemudian menjadi lahan tambang, terlihat jelas dalam contoh-contoh yang dikemukakan L. Siahaan dalam artikel "Perubahan Ekonomi Masyarakat Adat Akibat Industri Pertambangan di Indonesia", yang dimuat Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, berkaitan dengan sosio-ekonomi dan dampak lingkungan tadi.
Bukan misi tulisan ini untuk mengupas lebih detail tentang dampak tersebut. Yang lebih penting guna harmoni kehidupan di wilayah tambang ke depan adalah memastikan bahwa semua pihak punya kepedulian untuk terciptanya hubungan yang harmonis dan berkelanjutan. Hal itu tentu melibatkan peran serta aktif antara warga, masyarakat, pemerintah dan pemerintah daerah, perusahaan, serta lingkungan setempat.
Untuk menangkal dampak buruk ekses pertambangan nikel, beberapa langkah strategis perlu diambil pemerintah Republik Indonesia, investor tambang nikel, dan masyarakat adat Tobelo Dalam. Beberapa langkah berikut bisa diambil oleh masing-masing pihak.
Pemerintah tentu harus memperketat dan menjalankan penegakan hukum dan regulasi lingkungan terkait pertambangan, itu untuk memastikan bahwa perusahaan tambang mematuhi standard lingkungan yang ketat. Pemerintah juga harus menerapkan kebijakan pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan, termasuk pembatasan eksploitasi berlebihan dan pemulihan lahan bekas tambang pada waktunya. Di samping itu, pemerintah juga harus sebanyak mungkin melibatkan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan, untuk memastikan bahwa kepentingan dan hak-hak mereka dilindungi.
Sayangnya, menurut T.M. Li dalam "Articulating Indigenous Identity in Indonesia: Resource Politics and the Tribal Slot", pada sisi itu dunia pertambangan kita masih menghadapi banyak masalah. Warga harus mematuhi segala peraturan pemerintah yang berlaku. Di sisi lain, warga juga sedapat mungkin harus memberikan dukungan dan partisipasi aktif, didasari keyakinan bahwa keberadaan perusahaan pertambangan juga merupakan masa depan mereka dan anak cucu.
Sementara, pihak investor tambang nikel sudah barang tentu harus sungguh-sungguh melaksanakan, antara lain:
Corporate Social Responsibility (CSR). Perusahaan harus melaksanakan program CSR yang fokus pada pengembangan komunitas lokal, pendidikan, kesehatan, dan pelatihan keterampilan bagi masyarakat adat. Dalam buku mereka yang terkenal, "Transnational Governmentality and Resource Extraction: Indigenous Peoples, Multinational Corporations, Multilateral Institutions and the State", S Sawyer dan E.T Gomez, yang terbit 2012, menegaskan penting perusahaan (tambang) untuk memberikan CSR bagi pada warga di lingkungan kerja mereka. Bukan hanya buat kebaikan warga, sejatinya lebih untuk kebaikan perusahaan sendiri. Â
Senantiasa mencari jalan terbaik untuk berupaya memberikan dampak dan manfaat yang besar berkaitan dengan keberadaan perusahaan bagi warga setempat.
Pemantauan dan evaluasi lingkungan, yang dilakukan secara berkala untuk mengidentifikasi dan mengurangi dampak negatif aktivitas tambang.
Menyediakan informasi yang transparan tentang kegiatan tambang, dan melibatkan masyarakat dalam pemantauan dan evaluasi dampak lingkungan.
Perusahaan juga seyogyanya meningkatkan kapasitas melalui pendidikan dan pelatihan tentang hak-hak, teknik advokasi, dan keterampilan pengelolaan sumber daya alam.
Perlu juga dijajaki kolaborasi dengan LSM dan akademisi guna memperkuat advokasi dan mendapatkan dukungan teknis dalam memantau dan menangani dampak tambang.
Namun jangan lupa, bantuan paling penting dari pihak perusahaan kepada warga, terutama warga Tobelo Dalam, adalah memastikan adanya dampak negatif sekecil mungkin dari keberadaan dan aktivitas pertambangan yang mereka lakukan. Perusahaan, dengan koordinasi yang baik dengan pemerintah, harus memastikan bahwa warga tidak mengalami "gegar budaya" akibat masuknya berbagai gaya dan budaya, yang berinteraksi secara sosial dengan perubahan yang tengah terjadi di dalam warga Tobelo Dalam sendiri.
Dengan kata lain, perlu adanya upaya kolaboratif antara pemerintah, perusahaan tambang, dan masyarakat adat untuk memitigasi dampak negatif sekecil mungkin, seraya memastikan keberlanjutan kehidupan dan budaya masyarakat adat.
Tentu saja dalam hal ini bukan tak ada best practice yang bisa dijadikan semacam acuan.
Berdasarkan beberapa laporan dan kesaksian banyak pihak di Halmahera Utara, sebuah perusahaan pertambangan Eropa disebut-sebut tergolong perusahaan tambang yang dinilai memiliki "niat baik" untuk mewujudkan praktik pertambangan yang terpuji (good mining) tersebut.
Seperti sama-sama kita maklumi, secara keseluruhan "good mining" bertujuan untuk menggabungkan kegiatan ekonomi dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan, sehingga manfaat dari kegiatan pertambangan dapat dirasakan oleh semua pihak, tanpa merusak keberlanjutan lingkungan.
Misalnya, bahkan sebelum beroperasi, mereka juga telah menunjukkan niat baik dalam beroperasi di wilayah Halmahera dengan berbagai inisiatif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat lokal, termasuk masyarakat Tobelo Dalam. Upaya mereka mencakup investasi dalam infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan, serta penciptaan lapangan kerja. Langkah-langkah ini menunjukkan komitmen perusahaan untuk menjalankan praktik pertambangan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Data itu diperkuat kesaksian Arkeolog dan pengajar Universitas Khairun (Unkhair), Ternate, Nurachman Iriyanto. Menurut Nurachman, seiring izin tambang yang dipegangnya, korporasi tambang itu pernah memintanya bersama mitra-mitra kerjanya dari Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk melakukan pemetaan di beberapa situs-situs arkeologi yang ada di wilayah kerja perusahaan.
"Kami dipekerjakan untuk menandai dan menjelaskan arti penting situs-situs tersebut," kata Nurachman. Tujuannya, kata dia, untuk perlindungan bagi situs-situs arkeologi tersebut. "Bahasa mereka, untuk perlindungan," kata dia, menegaskan.
Bagi dia, hal itu menunjukkan pemikiran dan niat baik yang positif.
"Artinya, dengan pemetaan itu mereka menunjukkan untuk memulai satu proses perlindungan terhadap situs-situs itu," kata Nurachman, yang juga pernah melakukan hal yang sama pada Pembangunan Jalan Tol Cipali. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H