Mohon tunggu...
Abi Hasantoso
Abi Hasantoso Mohon Tunggu... Akuntan - Jurnalis

Lahir di Jakarta pada 26 Februari 1967. Berkecimpung di dunia jurnalistik sebagai wartawan Majalah HAI pada 1988 - 1994. Selama bekerja di majalah remaja itu ia sempat meliput konser musik New Kids On The Block di Selandia Baru dan Australia serta Toto dan Kriss Kross di Jepang. Juga menjadi wartawan Indonesia pertama yang meliput NBA All Star Game di Minnesota, AS. Menjadi copywriter di tiga perusahaan periklanan dan menerbitkan buku Namaku Joshua, biografi penyanyi cilik Joshua Suherman, pada 1999. Kini, sembari tetap menulis lepas dan coba jadi blogger juga, Abi bekerja di sebuah perusahaan komunikasi pemasaran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Antara Tradisi dan Modernitas: Mitos Statisnya Masyarakat Adat Tobelo Dalam

2 Oktober 2024   06:54 Diperbarui: 7 Oktober 2024   10:16 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: ERAMET

Duncan menulis hal itu dalam artikel berjudul "Resettlement and Natural Resource in Halmahera, Indonesia."

"Pada tahun 1952, Kepala Desa Lolobata, Halmahera Tengah, yang istrinya keturunan Tobelo Dalam, meyakinkan 80 orang dari komunitas itu untuk membuat pemukiman bernama Para-Para di sebelah Desa Dodaga, tapi hanya 75 orang yang bersedia menetap di sana," tulis Duncan.

Apa boleh buat, mereka hanya betah tinggal selama dua bulan setelah Pemilu 1955.

"Mereka semua akhirnya kembali ke hutan karena berkonflik dengan warga desa," kata Duncan.

Tahun 1964 kembali dilakukan hal serupa, juga pada 1978 dan 1990-an. Hasilnya berakhir serupa, karena mayoritas orang Tobelo Dalam kembali ke hutan dan melanjutkan cara hidup nomaden mereka. Duncan mencatat, sejak dekade 1970-an hingga 1990-an, dengan mengutip pemaparan riset di seminar Departemen Sosial Provinsi Maluku, menyatakan setidaknya ada 17 kali upaya pemerintah Indonesia memukimkan orang-orang Tobelo Dalam ke rumah-rumah permanen.

"Seluruh upaya itu," kata Duncan, "gagal."

Namun sejatinya tak sepenuhnya upaya itu gagal. Setidaknya dari kacamata pemerintah tentang "kemajuan". 

Menurut sosiolog dari Universitas Muhammadiyah Maluku Utara Syaiful Madjid menyatakan bahwa program memukimkan orang-orang Tobelo Dalam itu akhirnya mengubah pola hidup mereka. Setelah (sempat) tinggal di permukiman permanen, hubungan komunitas dengan hutan, terutama di kalangan generasi muda-mudinya, terputus.

"Akibat dimukimkan, ada perubahan. Misalnya pola makan, mereka kini mengkonsumsi beras dan ikan laut, hampir mirip dengan orang pantai," ujar Syaiful.

Tetapi secara riil, tampaknya yang paling berhasil mengubah pola hidup (sebagian) warga Tobelo Dalam selama ini justru adalah para penginjil Belanda yang tergabung dalam Utrechtsche Zendingsvereeniging (UZV), yang berkiprah di masyarakat Tobelo Dalam dari 1866 hingga awal terjadinya Perang Dunia II, 1942.

Menurut Irfan Ahmad, staf pengajar Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun, Ternate, dalam artikel berjudul "Agama Sebagai Perubahan Sosial: Kristenisasi di Tobelo 1866-1942", yang termuat dalam jurnal "Lembaran Sejarah", Vol. 11, No. 1, April 2014, proses penginjilanlah yang sangat signifikan melahirkan perubahan-perubahan sosial budaya dalam kehidupan masyarakat Tobelo. Inisiatif para penginjil untuk mendirikan sekolah kristen serta pelayanan dalam bidang sosial merupakan awal dari pembaruan yang terjadi di suku itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun