Pijar Cinta Di Kaca Jendela
Goenawan Mohamad
Pertemuan
Meniti tasbih
malam pelan-pelan
Dan burung kedasih
menggaris gelap di kejauhan
kemudian adalah pesona:
wajah-Nya tersandar ke kaca jendela
memandang kita, memandang kita lama-lama.
Demikianlah sunyi telah diturunkan
dan demikianlah Nabi telah dititahkan
dan demikian pula manusia
dikirim ke bumi yang terbentang,
dari sorga
yang telah ditutupkan. Dan kini tinggallah cinta
memancar-mancar dari sunyi kaca jendela
            (Antologi Asmaradana hal. 24)
Sajak ini jadi menarik karena mengandung semacam
silogisme dari hubungan antara hamba dan Tuhan.
Ada logika deduktif yang kemudian ditarik ke ranah
induktif, lalu dikembalikan ke wilayah deduktif lagi.
Goenawan bermain-main dengan gagasan. Semacam
ulang alik penalaran untuk membuat filter dan perbandingan
agar puzzle ide yang sebenarnya makin jelas mengemuka.
Sebermula kita dihadapkan pada semacam situasi khalwat
seseorang yang sedang bermuwajahah. Bertatap mata batin
dengan Tuhan. Keadaannya tenang. Luar dalam. Orang yang
bermuwajahah itu meniti tasbih malam. Lebur bersama sunyi
alam dalam peribadatan. Di luar, burung kedasih menggaris
kegelapan. Bahkan suara burung bertutur dari kejauhan.
Mengguritkan sepi nyanyian. Meluahkan sugesti kesunyian.
Seperti titik air hujan yang memecah sepi. Hingga suasananya
jadi semakin intens.
Intensitas muwajahah itu makin dalam dan meninggi, hingga
akhirnya pesona itu tiba. Memancar seketika. Tersandar pada
 kaca jendela. Diksi "kaca jendela" di sini adalah idiom yang
sangat pas untuk menggambarkan hubungan langsung antara
hamba dan Tuhan. Nyata sekaligus tak terjangkau. Kehadiran
Tuhan begitu transparan, bagai berada di balik kaca, tapi
sekaligus kita dibatasinya pula. Bagi Tuhan segalanya
sungguh transparan. Bagi kita manusia, ada batas tak
kasat mata yang membuat kita mustahil menjangkau
ada-Nya secara langsung.
Ternyata suasana keramat yang mempesonakan tersebut,
juga pernah berlaku bagi sunyi, Nabi, dan manusia
sewaktu turun dari sorga. Orang yang sedang
bermuwajahah itu mengalami keadaan eksistensial,
kesunyian murni, yang pernah terjadi pada
peristiwa-peristiwa maha penting sebelumnya.
Mi'raj, kenaikan rohaniah yang sebenar-benarnya.
Pengalaman ruhani manusia yang bersifat partikular-
deduktif, ternyata setara dengan visi muwajahah
sang Nabi, yang bertaraf universal induktif. Manusia
biasa, mungkin saja, dianugerahi derajat situasi
yang begitu keramat dan sakral apabila dia mau
berikhtiar menyiasti hatinya agar kondusif dan
paralel dengan kualitas ruhani sang Nabi. Saya
jadi teringat sebuah hadits yang berbunyi:
"Ash-shalaatu mi'raajul mu'miniin." Sembahyang
itu adalah mi'rajnya, naiknya rohani, orang beriman.
Yang menarik adalah cerita akhirnya. Pertemuan
itu tidak terjadi di 'atas' sana. Tapi di tempat
sang hamba. Tuhan bertajalli, menampakkan diri
pada sebuah katalis, sehingga si hamba bisa merasakan
hadir-Nya yang amat nyata. Cinta yang memancar-mancar
sunyi di kaca jendela. Cinta Tuhan tidak mengapung
di awang-awang. Tapi memancar dan meresapi barangsiapa
yang bersedia membuka diri terhadap Sunyi.
Puisi ini ditulis tahun 1964 menurut tanggal yang
tertera di bawahnya. Masa ketika terjadi debat seru
tentang puisi ide dan puisi suasana. Demikianlah,
dengan ide yang tidak terlalu sulit ditangkap, namun
dengan penggarapan latar yang intens dan sugestif,
puisi ini berhasil menyihir intuisi kita untuk ikut
terlibat pesona suasana yang sakral dan keramat.
Saat-saat seorang hamba sungguh merasakan
kehadiran Tuhan yang sebenar-benarnya.
Dengan bangunan katalis suasana yang sungguh intim
dan personal, Goenawan berhasil membuat kiasan
indah yang melegakan hati. Bahwa Tuhan yang
Maha Tinggi itu, tidak pernah merasa gengsi, untuk
turun menyapa hamba-Nya di sembarang tajalli.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H