Mohon tunggu...
Abdurrazzaq Zanky
Abdurrazzaq Zanky Mohon Tunggu... Petani - petani.

Senang membaca segala jenis buku, nulis diary, mengamati lingkungan alam dan sosial, menertawakan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Roman

Pijar Cinta di Kaca Jendela

2 Desember 2024   19:27 Diperbarui: 2 Desember 2024   22:36 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pijar Cinta Di Kaca Jendela

Goenawan Mohamad

Pertemuan

Meniti tasbih

malam pelan-pelan

Dan burung kedasih

menggaris gelap di kejauhan

kemudian adalah pesona:

wajah-Nya tersandar ke kaca jendela

memandang kita, memandang kita lama-lama.

Demikianlah sunyi telah diturunkan

dan demikianlah Nabi telah dititahkan

dan demikian pula manusia

dikirim ke bumi yang terbentang,

dari sorga

yang telah ditutupkan. Dan kini tinggallah cinta

memancar-mancar dari sunyi kaca jendela

                        (Antologi Asmaradana hal. 24)

Sajak ini jadi menarik karena mengandung semacam

silogisme dari hubungan antara hamba dan Tuhan.

Ada logika deduktif yang kemudian ditarik ke ranah

induktif, lalu dikembalikan ke wilayah deduktif lagi.

Goenawan bermain-main dengan gagasan. Semacam

ulang alik penalaran untuk membuat filter dan perbandingan

agar puzzle ide yang sebenarnya makin jelas mengemuka.

Sebermula kita dihadapkan pada semacam situasi khalwat

seseorang yang sedang bermuwajahah. Bertatap mata batin

dengan Tuhan. Keadaannya tenang. Luar dalam. Orang yang

bermuwajahah itu meniti tasbih malam. Lebur bersama sunyi

alam dalam peribadatan. Di luar, burung kedasih menggaris

kegelapan. Bahkan suara burung bertutur dari kejauhan.

Mengguritkan sepi nyanyian. Meluahkan sugesti kesunyian.

Seperti titik air hujan yang memecah sepi. Hingga suasananya

jadi semakin intens.

Intensitas muwajahah itu makin dalam dan meninggi, hingga

akhirnya pesona itu tiba. Memancar seketika. Tersandar pada

 kaca jendela. Diksi "kaca jendela" di sini adalah idiom yang

sangat pas untuk menggambarkan hubungan langsung antara

hamba dan Tuhan. Nyata sekaligus tak terjangkau. Kehadiran

Tuhan begitu transparan, bagai berada di balik kaca, tapi

sekaligus kita dibatasinya pula. Bagi Tuhan segalanya

sungguh transparan. Bagi kita manusia, ada batas tak

kasat mata yang membuat kita mustahil menjangkau

ada-Nya secara langsung.

Ternyata suasana keramat yang mempesonakan tersebut,

juga pernah berlaku bagi sunyi, Nabi, dan manusia

sewaktu turun dari sorga. Orang yang sedang

bermuwajahah itu mengalami keadaan eksistensial,

kesunyian murni, yang pernah terjadi pada

peristiwa-peristiwa maha penting sebelumnya.

Mi'raj, kenaikan rohaniah yang sebenar-benarnya.

Pengalaman ruhani manusia yang bersifat partikular-

deduktif, ternyata setara dengan visi muwajahah

sang Nabi, yang bertaraf universal induktif. Manusia

biasa, mungkin saja, dianugerahi derajat situasi

yang begitu keramat dan sakral apabila dia mau

berikhtiar menyiasti hatinya agar kondusif dan

paralel dengan kualitas ruhani sang Nabi. Saya

jadi teringat sebuah hadits yang berbunyi:

"Ash-shalaatu mi'raajul mu'miniin." Sembahyang

itu adalah mi'rajnya, naiknya rohani, orang beriman.

Yang menarik adalah cerita akhirnya. Pertemuan

itu tidak terjadi di 'atas' sana. Tapi di tempat

sang hamba. Tuhan bertajalli, menampakkan diri

pada sebuah katalis, sehingga si hamba bisa merasakan

hadir-Nya yang amat nyata. Cinta yang memancar-mancar

sunyi di kaca jendela. Cinta Tuhan tidak mengapung

di awang-awang. Tapi memancar dan meresapi barangsiapa

yang bersedia membuka diri terhadap Sunyi.

Puisi ini ditulis tahun 1964 menurut tanggal yang

tertera di bawahnya. Masa ketika terjadi debat seru

tentang puisi ide dan puisi suasana. Demikianlah,

dengan ide yang tidak terlalu sulit ditangkap, namun

dengan penggarapan latar yang intens dan sugestif,

puisi ini berhasil menyihir intuisi kita untuk ikut

terlibat pesona suasana yang sakral dan keramat.

Saat-saat seorang hamba sungguh merasakan

kehadiran Tuhan yang sebenar-benarnya.

Dengan bangunan katalis suasana yang sungguh intim

dan personal, Goenawan berhasil membuat kiasan

indah yang melegakan hati. Bahwa Tuhan yang

Maha Tinggi itu, tidak pernah merasa gengsi, untuk

turun menyapa hamba-Nya di sembarang tajalli.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun