Bila hari sedang cerah, saya suka berlama-lama tinggal
di ladang, terutama saat menjelang petang. Saya sangat
menikmati gradasi perubahan cuaca yang alami dan tak
kentara. Matahari yang mulai meredup, angin semilir yang
berhembus lembut, dan nun di kejauhan rombongan bangau
putih terbang beriringan dengan formasi menyerupai huruf U
besar. Kilauan cahaya keemasan membias pada setiap kepakan
sayap yang mereka ayunkan.
Dari menara masjid kampung, mengalun bacaan ayat-ayat suci
Al-qur'an oleh qari H.Muammar ZA. Seakan membersit dari
bibir-bibir alam. Melintasi pucuk-pucuk kelapa lalu menggema
syahdu di seantero padang persawahan. Berbaur dengan suara
burung-burung yang mulai kembali ke masing-masing sarang.
Sementara matahari makin meredup. Cahayanya berubah jadi
kemerah-merahan. Membias lembut di atas air, barisan daun
teratai di danau, pada dinding-dinding rumah warga di perkampungan.
Ada sebuah pesawat terbang sendirian dari arah barat yang sedang
membuat putaran kecil untuk mendarat di Bandara. Seperti
seorang kesepian yang terpisah dari rombongan. Terasa hati
merindukan sesuatu yang tak terpermai.
Inikah yang dialami Amir Hamzah ketika menuliskan sajak
"Berdiri Aku" yang legendaris itu? Ketika hati dan intusi kita
terpukau oleh keindahan alam, jiwa kita justru merindukan
sesuatu yang lebih indah lagi. Keindahan yang lebih dalam dan
mutlak. Karena pada akhirnya hidup itu harus "bertentu tuju."
Ada kesudahan puncak yang akan melampaui kesudahan-kesudahan
sebelumnya. Senja bisa menjadi sangat relligius bagi orang yang
selalu merindukan keabadian.
Lalu bagaimana keadaan Chairil saat menuliskan"Senja Di Pelabuhan
Kecil" yang super romantis dan melankolis itu? Bayangkanlah
suatu keadaan hari yang remang, kapal-kapal berayun terpapar
gelombang, tak ada seorangpun terlihat. Sementara hari gerimis
dan kita berjalan sendirian tak tentu arah. Membawa luka hati.
Penolakan cinta yang tegas dan nyata. Saking dalamya kesedihan
itu, hingga seakan "laut hilang ombak." Seruruh kehidupan seakan
mati dalam perasaan sang pujangga. Ternyata suasana senja bisa
begitu sugestif untuk melipatgandakan duka.
Saya lantas teringat tulisan Prof. Ajib Rosidi, tentang kebiasaan
sebagian penyair Haiku, yang kadang mengundang seorang teman
untuk bertandang dan menyuguhkan pemandangan matahari
terbenam sebagai menu hidangan. Wuih! Itu pasti dahsyat sekali.
Pastilah mereka itu sedang mengadakan adu perenungan. Saling
menjajal kedalaman rasa dan kontemplasi. Saya bayangkan,
tamu dan tuan rumah itu, dalam ketenangan mereka yang sempurna,
diam-diam di bawah permukaan sedang mengadu tenaga dalam
yang tak kelihatan. Ternyata senja di masa lalu, bisa dimodifikasi
menjadi semacam makanan rohani yang amat bergizi dan mewah
bagi para pegiat rohani.
Sekarang, tidak sedikit orang yang juga tergila-gila dengan
senja. Banyak turis dan pelancong pergi ke pantai atau gunung
hanya demi melihat Sunset. Sambil berpelukan dengan pasangan
atau hanya termenung sendirian bagi yang jomblo. Saya tidak
bisa menggambarkan apa yang mereka rasakan. Mungkin karena
pada saya belum ada puisi, diary, atau sekedar kabar tentang
kesan mereka terhadap senja. Atau memang senja di zaman
sekarang sudah tidak lagi terbaca aksaranya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H