Musim hujan selalu membawa romantika tersendiri bagi
kami sekeluarga. Ketika angin bertiup kencang dan kilat
bersahutan, otomatis segala jenis alat elektronit dilarang
digunakan. Hp, televisi, dan laptop segera dimatikan.
Yang tinggal hanya hembusan angin pada dinding, suara
keriat-keriut atap seng, dan cambukan halilintar yang
sebentar-sebentar membelah angkasa. Membias lewat
kaca jendela.
Kadang kami duduk berbaris di depan jendela kaca.
Berkemul sarung sambil makan camilan rumah yang
baru turun dari wajan penggorengan. Alangkah nikmat.
Di luar sana daun-daun berhamburan, dahan-dahan
membengkok seperti digayuti tangan-tangan gaib yang
tak kelihatan. Kadang terdengar celoteh sang ibu pada
abang dan adek:"Untung sekali kita punya rumah.
Untungnya atap kita tidak bocor. Coba bayangkan
orang-orang yang tinggal di kolong jembatan, yang
rumahnya terbuat dari kardus, orang gila dan gelandangan
yang berteduh di bawah pohon dan emper toko..."
dan seterusnya.
Akan halnya saya, justru teringat pada seorang teman masa
kecil yang baru saja saya tengok. Kabarnya dia akan segera
melakukan cuci darah. Pertemuan itu cukup mengharukan.
Dia yang tidak punya lagi tempat untuk kembali ke kampung
halaman, terpaksa nebeng pada sebuah sarang walet milik
seorang juragan.
Dia berujar pada saya dengan mata berkaca-kaca: "Kalau
nanti aku pulang, aku mau kita mancing belut seperti dulu.
Kamu masih ingat kejadian itu?"
Tentu saja saya ingat. Waktu itu belum ada pestisida digunakan
untuk mengolah lahan persawahan. Ikan dan belut masih ramai
berkeliaran dan membuat lobang. Di awal musim hujan, ketika
ceruk-ceruk kecil di sawah tergenang, belut-belut akan bertelur
dan membuat lobang. Hampir setiap depa ada saja lobang baru
dengan penghuni baru pula.
Hari itu kami terlalu asyik menjelajah hingga terpisah dari
rombongan. Menjelang sore, cuaca segera mendung seperti
biasa, lalu hujan turun dengan lebatnya. Padang luas itu jadi
memutih seketika. Sadarlah kami bahwa rombongan telah
pulang sebelum hujan. Kami tertinggal bertiga di tengah
keluasan savana.
Lalu kilat dan petir sabung-menyabung di angkasa. Memekkan
telinga dan membutakan pandangan. Kami sadar akan adanya
bahaya yang suatu kali akan menimpa. Alam tak bisa dilawan.
Tapi kami hanya bisa bergerak pelan. Kami harus menggotong
masing-masing setengah karung belut yang beratnya tiba-tiba
menyerupai batu cadas. Begitulah. Kami mencoba saling menunjang
dan merapatkan diri agar tidak terlalu kedinginan. Rasanya
benar-benar seperti keong.
Ada satu jam lebih sebelum akhirnya kami sampai ke jalan
setapak menuju perkampungan pertama. Cuaca cepat menggelap
dan kami berada persis di depan pulau kecil yang angker.
Di situlah drama itu terjadi. Sebuah sambaran hebat dari kilatan
cahaya menyilaukan membelah pohon kelapa di sisi jalan.
Kami membeku saling berpelukan. Pohon kelapa itu tercabik
dua dengan asap berkepulan. Allahuakbar! Tuhan semesta alam
baru saja menyelamatkan kami dari cakar kematian.
Kenangan indah dan ngeri itu sama-sama terpatri kuat dalam
memori kami. Itulah kenangan sahabat saya itu tentang
masa-masa mengesankan di kampung halaman. Kenangan
yang tidak luput dari musim hujan.
Hujan adalah berkah alam, kerinduan musim untuk
memperbarui kehidupan, perayaan kebahagian bagi
segenap hewan dan tetumbuhan, juga menjadi sumber
inspirasi banyak seniman dan penyair. Tidak sedikit orang
yang jatuh cinta dan tergila-gila pada penghujan. Tidak
sedikit karya-karya besar dan mendalam lahir dari rahim
suasana penghujan yang misterius, akrab membius, dalam
dan menggugah rasa.
Romantika penghujan bukanlah romantika suasana biasa.
Romantika hujan adalah gabungan antara melankoli
perasaan, bisik-bisik keakraban, nostalgia kenangan,
persinggahan inspirasi, ancaman malapetaka, sejarah
hati, filosofi kearifan alam, bahkan ilham dan wahyu
yang mencerahkan. Romantika penghujan adalah
kaleidoskop kehidupan yang menghuni ceruk-ceruk
kenangan tersembunyi yang terbuat dari impian,
kontemplasi, dan imajinasi kita tentang hakikat
dan nostalgia kehidupan akan datang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI