Mohon tunggu...
Abdurrazzaq Zanky
Abdurrazzaq Zanky Mohon Tunggu... Petani - petani.

Senang membaca segala jenis buku, nulis diary, mengamati lingkungan alam dan sosial, menertawakan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Nalar Pilkada: Ikhtiar Melawan Lupa

25 November 2024   18:26 Diperbarui: 25 November 2024   18:32 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Nalar Pilkada: Ikhtiar Melawan Lupa

Mari sekali saja kita bernalar jernih dan independen. Jangan lagi

menjerumuskan diri ke dalam jebakan-jebakan semu yang menipu.

Sebab hakikat demokrasi itu adalah menegakkan daulat akal.

Mewakilkan urusan tata kelola nasib bernegara kepada mereka

yang paham konstitusi dan sanggup berpkir rasional. Berikut adalah

beberapa modus penalaran sederhana yang bisa kita pertimbangkan

sebelum pergi ke bilik suara:

Jangan Pilih Yang Memberi Sogokan

Orang yang memberi hadiah karena mempunyai kepentingan

pribadi, jelaslah bukan orang yang bisa dipercaya. Orang-orang

ini biasanya tidak punya idealisme sama sekali. Urusan kita dan

mereka akan usai begitu hasrat dan kepentingannya lunas tergapai.

Jangan membawa-bawa urusan hutang budi ke dalam laku politik.

Jangan membawa-bawa rasa ewuh-pakewuh dan rasa segan dalam

menentukan nasib jutaan orang lima tahun ke depan. Lihatlah

perilaku keseharian para politisi itu yang penuh intrik dan kontradiksi.

Yang tidak malu-malu menjilat ludah sendiri. Yang dengan gagah

berani berbalik arah dan menelikung di tengah jalan. Kepada

orang-orang ini kita sungguh harus nekat dan tega. Jangan pilih mereka.

Jangan Pilih Calon Yang Didukung Pendahulu Yang Punya Catatan Hitam

"Burung yang sejenis akan hinggap pada dahan yang sama." Begitu

pepatah mengatakan. Penjahat akan berkawan penjahat. Pencoleng

akan bersekutu dengan pencoleng. Dua kepribadian yang bertolak

belakang tidak mungkin bisa dikumpulkan dalam satu barisan.

Dukungan dari tokoh hitam adalah pertanda nyata bahwa mereka

punya kepentingan yang sama dengan calon yang sedang berlaga.

Adalah pertanda bahwa mereka punya agenda tersembunyi di luar

agenda visi misi kampanye. Adalah tanda bahaya yang tidak bisa

kita halus-haluskan. Jangan berlagak pilon dan naif. Sebab kehidupan

nyata itu tidak bisa dimistik-mistik. Kita harus tegas dalam menghukum

penjahat. Lupakan rasa kasihan selama lima menit kita berada

di bilik suara. Kalau tidak, selama lima tahun kita akan terus

menanggung dosa dan sengsara.

Jangan Pilih Calon Yang Muluk Janji

"Negara yang paling banyak aturan adalah negara paling korup." Kalimat

ini adalah pepatah latin yang pernah saya baca entah di mana.

Paralelismenya adalah mereka yang paling banyak berjanji adalah

mereka yang akan pertama kali mengingkari. Karena janji yang

muluk dan banyak itu sulit untuk dilaksanakan. Sementara hati

manusia setiap hari berbolak-balik dan mengalami erosi.

Percayalah, kalau anda memilih mereka, hal pertama yang

akan mereka lakukan adalah mencari dalih dan pembenaran agar

bisa lepas dari tuntutan dan beban utang piutang janji tersebut.

Mereka akan membelokkan, menafsir ulang, bahkan menciptakan

wacana baru yang bertolak belakang dengan janji semula.

Apa daya kita?

Jangan Pilih Calon Yang Diendorse Tokoh Moral

Karena politik di hari-hari ini sungguh a-moral, maka siapa saja

yang merapat dan bergabung ke sebuah kubu, harus kita anggap

sebagai orang yang bersedia melecehkan moral. Agamawan,

rohaniwan, akademisi, tokoh LSM, budayawan, cendikiawan, dalam

situasi sekarang harusnya menjaga jarak dengan politik praktis.

Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah seringkali mereka

ini langsung kena prank dalam hitungan bulan. Pecah kongsi

di tengah jalan.

Selayaknya para penjaga moral ini tetap berada di luaran. Jangan

percaya dengan alasan bahwa perubahan itu bisa dilakukan dari

dalam. Kemerdekaan kita bukan atas inisiatif Jepang. Peristiwa

1965 ditumpas dibereskan atas desakan dari luar istana. Reformasi 1998

adalah buah nekat demonstrasi yang dilakukan ratusan ribu orang

selama berhari-hari dari luar pagar istana. Semua dilakukan dari luar.

Bukan watak umum pemimpin kita untuk sadar diri. Harus ada yang

menggetok kepala mereka dari luar pagar agar mau introspeksi.

Maka kalau ada tokoh moral yang sok kalis dari godaan uang dan

kekuasaan ketika berada dalam pemerintahan, nanti dululah.

Soalnya tidak ada sejarah orang yang tega mementung diri sendiri.

Belum ada bukti bahwa mereka yang sehari-hari tinggal di kandang

sapi suci bersih dari kotoran.

Sampai di sini nampaknya kita sudah tidak punya pilihan. Hampir

semua kandidat masuk dalam zona larangan. Lantas bagaimana?

"Demokrasi adalah sistem terbaik di antara sistem-sistem terjelek."

Begitu kata mendiang Gus Dur. Maka pilihlah mereka yang terindikasi

paling sedikit melakukan pelanggaran. Seperempat melanggar atau

separuhnya. Memang belum ada yang ideal bahkan setengah ideal.

Tapi sekurangnya, dengan pergi ke TSP  kita telah memberi tongkat

penunjuk arah kepada seorang buta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun