Nalar Pilkada: Ikhtiar Melawan Lupa
Mari sekali saja kita bernalar jernih dan independen. Jangan lagi
menjerumuskan diri ke dalam jebakan-jebakan semu yang menipu.
Sebab hakikat demokrasi itu adalah menegakkan daulat akal.
Mewakilkan urusan tata kelola nasib bernegara kepada mereka
yang paham konstitusi dan sanggup berpkir rasional. Berikut adalah
beberapa modus penalaran sederhana yang bisa kita pertimbangkan
sebelum pergi ke bilik suara:
Jangan Pilih Yang Memberi Sogokan
Orang yang memberi hadiah karena mempunyai kepentingan
pribadi, jelaslah bukan orang yang bisa dipercaya. Orang-orang
ini biasanya tidak punya idealisme sama sekali. Urusan kita dan
mereka akan usai begitu hasrat dan kepentingannya lunas tergapai.
Jangan membawa-bawa urusan hutang budi ke dalam laku politik.
Jangan membawa-bawa rasa ewuh-pakewuh dan rasa segan dalam
menentukan nasib jutaan orang lima tahun ke depan. Lihatlah
perilaku keseharian para politisi itu yang penuh intrik dan kontradiksi.
Yang tidak malu-malu menjilat ludah sendiri. Yang dengan gagah
berani berbalik arah dan menelikung di tengah jalan. Kepada
orang-orang ini kita sungguh harus nekat dan tega. Jangan pilih mereka.
Jangan Pilih Calon Yang Didukung Pendahulu Yang Punya Catatan Hitam
"Burung yang sejenis akan hinggap pada dahan yang sama." Begitu
pepatah mengatakan. Penjahat akan berkawan penjahat. Pencoleng
akan bersekutu dengan pencoleng. Dua kepribadian yang bertolak
belakang tidak mungkin bisa dikumpulkan dalam satu barisan.
Dukungan dari tokoh hitam adalah pertanda nyata bahwa mereka
punya kepentingan yang sama dengan calon yang sedang berlaga.
Adalah pertanda bahwa mereka punya agenda tersembunyi di luar
agenda visi misi kampanye. Adalah tanda bahaya yang tidak bisa
kita halus-haluskan. Jangan berlagak pilon dan naif. Sebab kehidupan
nyata itu tidak bisa dimistik-mistik. Kita harus tegas dalam menghukum
penjahat. Lupakan rasa kasihan selama lima menit kita berada
di bilik suara. Kalau tidak, selama lima tahun kita akan terus
menanggung dosa dan sengsara.
Jangan Pilih Calon Yang Muluk Janji
"Negara yang paling banyak aturan adalah negara paling korup." Kalimat
ini adalah pepatah latin yang pernah saya baca entah di mana.
Paralelismenya adalah mereka yang paling banyak berjanji adalah
mereka yang akan pertama kali mengingkari. Karena janji yang
muluk dan banyak itu sulit untuk dilaksanakan. Sementara hati
manusia setiap hari berbolak-balik dan mengalami erosi.
Percayalah, kalau anda memilih mereka, hal pertama yang
akan mereka lakukan adalah mencari dalih dan pembenaran agar
bisa lepas dari tuntutan dan beban utang piutang janji tersebut.
Mereka akan membelokkan, menafsir ulang, bahkan menciptakan
wacana baru yang bertolak belakang dengan janji semula.
Apa daya kita?
Jangan Pilih Calon Yang Diendorse Tokoh Moral
Karena politik di hari-hari ini sungguh a-moral, maka siapa saja
yang merapat dan bergabung ke sebuah kubu, harus kita anggap
sebagai orang yang bersedia melecehkan moral. Agamawan,
rohaniwan, akademisi, tokoh LSM, budayawan, cendikiawan, dalam
situasi sekarang harusnya menjaga jarak dengan politik praktis.
Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah seringkali mereka
ini langsung kena prank dalam hitungan bulan. Pecah kongsi
di tengah jalan.
Selayaknya para penjaga moral ini tetap berada di luaran. Jangan
percaya dengan alasan bahwa perubahan itu bisa dilakukan dari
dalam. Kemerdekaan kita bukan atas inisiatif Jepang. Peristiwa
1965 ditumpas dibereskan atas desakan dari luar istana. Reformasi 1998
adalah buah nekat demonstrasi yang dilakukan ratusan ribu orang
selama berhari-hari dari luar pagar istana. Semua dilakukan dari luar.
Bukan watak umum pemimpin kita untuk sadar diri. Harus ada yang
menggetok kepala mereka dari luar pagar agar mau introspeksi.
Maka kalau ada tokoh moral yang sok kalis dari godaan uang dan
kekuasaan ketika berada dalam pemerintahan, nanti dululah.
Soalnya tidak ada sejarah orang yang tega mementung diri sendiri.
Belum ada bukti bahwa mereka yang sehari-hari tinggal di kandang
sapi suci bersih dari kotoran.
Sampai di sini nampaknya kita sudah tidak punya pilihan. Hampir
semua kandidat masuk dalam zona larangan. Lantas bagaimana?
"Demokrasi adalah sistem terbaik di antara sistem-sistem terjelek."
Begitu kata mendiang Gus Dur. Maka pilihlah mereka yang terindikasi
paling sedikit melakukan pelanggaran. Seperempat melanggar atau
separuhnya. Memang belum ada yang ideal bahkan setengah ideal.
Tapi sekurangnya, dengan pergi ke TSP Â kita telah memberi tongkat
penunjuk arah kepada seorang buta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H