Mohon tunggu...
Abdurrazzaq Zanky
Abdurrazzaq Zanky Mohon Tunggu... Petani - petani.

Senang membaca segala jenis buku, nulis diary, mengamati lingkungan alam dan sosial, menertawakan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Literasi dan Pendidikan

24 November 2024   16:36 Diperbarui: 24 November 2024   16:52 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Literasi Dan Pendidikan

Suatu kali saya terpaksa memberikan sambutan pada

sebuah acara perpisahan atas nama wali murid yang

meninggalkan, karena tidak ada orang lain

yang bersedia. Saya mengutip sebuah aforisma dari

seorang filsuf Inggris, Francis Bacon. Isinya kurang

lebih menyatakan bahwa sajak Homer, Iliad, bisa bertahan

selama hampir 4 ribu tahun tanpa kehilangan makna dan esensi

sedikitpun. Sementara dalam kurun waktu yang sama, tidak terhitung

berapa jumlah kerajaan, imperium, istana, dan bangunan-bangunan

monumental hancur tak tersisa. Maka jelaslah, monumen akal budi

dan pembelajaran, jauh lebih abadi dibanding monumen yang sifatnya

fisik. Tamu-tamu yang duduk di barisan muka, pejabat dan pengawas

sekolah, yang semula cuek-cuek saja langsung mengangkat hp

dan mengambil foto. Saya sedang membuat kiasan tentang betapa

penting dan abadi jasa seorang pendidik. Mereka adalah arsitek

yang merancang bangun keabadian pengetahuan.

Reaksi susulannya sungguh tidak saya sangka. Seorang guru

bertanya pada anak saya:"Bapakmu itu sekolah apa sih?" Beliau

mengira saya lulusan S2. Istri saya malah diberi selamat oleh

teman duduk di sampingnya:"Tidak saya sangka ibu punya suami

seorang yang 'badahi'", punya jidat. Maksudnya orang berpendidikan.

Saya tertawa terpingkal-pingkal. Rupanya saya berhasil mengelabui

mereka dengan gaya yang amat meyakinkan, seakan Pak Bacon

itu adalah teman sepermaian masa kecil saya sendiri, bahkan mungkin

sedulur jauh entah di mana.

Anggapan bahwa hanya orang berpendidikan formal yang boleh

punya wawasan, rupanya masih belum hilang. Stigma bahwa

wawasan dan pengetahuan itu identik dengan kampus dan sekolah

masih menjadi anggapan umum masyarkat kita. Maka mereka

yang mempunyai ijazah menempati kedudukan (dan kesempatan)

yang lebih luas untuk mengembangkan karir dan usaha. Hampir

semua lapangan kerja formal menuntut adanya ijazah, juga pengalaman,

bila kita ingin ikut berkecimpung di dalamnya.

Masalah melek literasi adalah masalah lintas batas. Tidak semua

mereka yang bersekolah itu terpapar wawasan keilmuan. Saya

punya beberapa teman dosen yang tidak tahu apa-apa di luar

bidang studi yang diampunya. Sebaliknya ada alumnus sebuah

pesantren salaf, teman karib saya, yang wawasan ilmiah dan

sosialnya sungguh luas dan kontekstual. Dia punya hobi yang

sama dengan saya, kalau ada rezeki lebih pasti beli buku atau kitab.

Filolog dan ahli sastra Indonesia, mendiang prof. A. Teeuw, pernah

menggambarkan situasi masyarakat kita sebagai berada di antara

kelisanan dan keberaksaraan. Kita hidup dan berkecimpung

dalam sebuah era yang mengharuskan kematangan beraksara.

Tapi fakta sosiologisnya tidaklah demikian. Orang-orang

terkemuka, mereka yang meluncur seperti meteor ke tampuk

kepemimpinan lokal dan nasional, rawan terindikasi gagal logika

bahkan anti bernalar secara rasional. Prof. Teeuw menuliskan

analisa beliau tersebut lebih dari tigapuluh tahun lalu. Dalam

kurun waktu tersebut kita paling tidak telah mengalami dua

lompatan besar perubahan: dari sistem negara semi otoritarian

ke demokrasi langsung, dan paparan revolusi teknologi informasi

yang merata dan massif.

Faktanya, dalam kedua arus besar lompatan tersebut, kita sama

sekali tidak mampu memberikan respon yang setara dengan

kualitas yang dikehendaki. Demokrasi diserap pada bagian-bagiannya

yang paling dangkal saja. Partisipasi  diperluas pada satu sisi,

tapi duel argumentasi dihindari sedapat mungkin. Kontestasi

direkayasa supaya terlihat keras dan bermutu, tapi ujung-ujungya

adalah kompromi yang membuat semua akal budi mati kutu.

Massifisitas teknologi informasi juga digunakan untuk menambal

sulam dan menutupi-nutupi keawaman. Wacana-wacana publik

dan isu-isu kebangsaan dimonologkan secara sepihak.

Aspirasi diberikan keleluasaan untuk disampaikan, tapi tidak

untuk dilaksanakan. Kurikulum dan modul direvisi hampir

setiap tahun, namun nyaris tidak ada korelasinya dengan

peningkatan cara bernalar yang rigid dan kritis.

Adalah dilema yang tak kunjung ketemu ujung pangkalnya

ketika mahalnya ijazah berhadapan dengan skil seorang

otodidak. Untuk apa repot-repot sekolah kalau toh ijazah

yang didapat tak dihargai? Buat apa pula menghargai seorang

sarjana kalau tidak punya skil yang mumpuni?

Saya teringat kata-kata mendiang Sutan Takdir Alisjahbana;

"kampus yang sebenarnya itu adalah perpustakaan."

Rumus ini mungkin saja sangat susah diterapkan untuk

kondisi sosial sekarang. Tapi kita bisa mencernanya dari

sisi yang tidak terlalu normatif, bahwa kita harus mempunyai

keterampilan dasar untuk mengumpulkan, menganalisis,

dan menyaring pengetahuan. Kita harus memiliki basis

epistemologi yang mandiri. Lembaga-lembaga pendidikan harus

mengutamakan ilmu-ilmu dasar yang menjadi landasan

dan tumpuan semua perkembangan kebudayaan. Teknologi

dan wacana genealogis yang mendasari perwujudannya.

Sehingga salah kaprah dalam penggunaan teknologi ini

segera bisa kita hentikan.

Di negeri kita kemalangannya jadi berlipat-lipat. Sudah tidak

sekolah, tidak juga otodidak, tapi diberi privellege dan label

sebagai orang yang berprestasi. Sudah nyata dungu dan tak tahu

adab, tapi dijunjung-junjung sebagai mesiah penyelamat.

Ironisnya, badut-badut seperti inilah yang menggaung-gaungkan

peningkatan kualitas pendidikan dan perluasan budaya literasi.

Kelakuan yang mirip dengan keledai Nasrudin.

Raja berjanji akan memberi hadiah besar kalau Nasrudin

bisa mengajar seekor keledai membaca. Nasrudin berjanji

akan kembali tiga hari lagi. Pada hari yang sudah disepakati

Nasrudin datang dengan membawa keledai dan sebuah buku

besar. Praktek dimulai. Keledai itu dengan cermat membalik-balik

halaman buku dengan lidahnya seperti yang telah dilatihkan

Nasrudin hingga sampai lembar terakhir.

"Kenapa keledai itu hanya membalik-balik halaman Mullah?"

Tanya sang raja.

"Memang begitulah cara keledai membaca yang mulia. Bukankah

orang yang membaca buku tapi tidak mengerti barang satu huruf

di dalamnya, kita menyebutnya tolol seperti keledai?"

Coba tebak, di manakan keledai-keladai itu sekarang berada?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun