Literasi Dan Pendidikan
Suatu kali saya terpaksa memberikan sambutan pada
sebuah acara perpisahan atas nama wali murid yang
meninggalkan, karena tidak ada orang lain
yang bersedia. Saya mengutip sebuah aforisma dari
seorang filsuf Inggris, Francis Bacon. Isinya kurang
lebih menyatakan bahwa sajak Homer, Iliad, bisa bertahan
selama hampir 4 ribu tahun tanpa kehilangan makna dan esensi
sedikitpun. Sementara dalam kurun waktu yang sama, tidak terhitung
berapa jumlah kerajaan, imperium, istana, dan bangunan-bangunan
monumental hancur tak tersisa. Maka jelaslah, monumen akal budi
dan pembelajaran, jauh lebih abadi dibanding monumen yang sifatnya
fisik. Tamu-tamu yang duduk di barisan muka, pejabat dan pengawas
sekolah, yang semula cuek-cuek saja langsung mengangkat hp
dan mengambil foto. Saya sedang membuat kiasan tentang betapa
penting dan abadi jasa seorang pendidik. Mereka adalah arsitek
yang merancang bangun keabadian pengetahuan.
Reaksi susulannya sungguh tidak saya sangka. Seorang guru
bertanya pada anak saya:"Bapakmu itu sekolah apa sih?" Beliau
mengira saya lulusan S2. Istri saya malah diberi selamat oleh
teman duduk di sampingnya:"Tidak saya sangka ibu punya suami
seorang yang 'badahi'", punya jidat. Maksudnya orang berpendidikan.
Saya tertawa terpingkal-pingkal. Rupanya saya berhasil mengelabui
mereka dengan gaya yang amat meyakinkan, seakan Pak Bacon
itu adalah teman sepermaian masa kecil saya sendiri, bahkan mungkin
sedulur jauh entah di mana.
Anggapan bahwa hanya orang berpendidikan formal yang boleh
punya wawasan, rupanya masih belum hilang. Stigma bahwa
wawasan dan pengetahuan itu identik dengan kampus dan sekolah
masih menjadi anggapan umum masyarkat kita. Maka mereka
yang mempunyai ijazah menempati kedudukan (dan kesempatan)
yang lebih luas untuk mengembangkan karir dan usaha. Hampir
semua lapangan kerja formal menuntut adanya ijazah, juga pengalaman,
bila kita ingin ikut berkecimpung di dalamnya.
Masalah melek literasi adalah masalah lintas batas. Tidak semua
mereka yang bersekolah itu terpapar wawasan keilmuan. Saya
punya beberapa teman dosen yang tidak tahu apa-apa di luar
bidang studi yang diampunya. Sebaliknya ada alumnus sebuah
pesantren salaf, teman karib saya, yang wawasan ilmiah dan
sosialnya sungguh luas dan kontekstual. Dia punya hobi yang
sama dengan saya, kalau ada rezeki lebih pasti beli buku atau kitab.
Filolog dan ahli sastra Indonesia, mendiang prof. A. Teeuw, pernah
menggambarkan situasi masyarakat kita sebagai berada di antara
kelisanan dan keberaksaraan. Kita hidup dan berkecimpung
dalam sebuah era yang mengharuskan kematangan beraksara.
Tapi fakta sosiologisnya tidaklah demikian. Orang-orang
terkemuka, mereka yang meluncur seperti meteor ke tampuk
kepemimpinan lokal dan nasional, rawan terindikasi gagal logika
bahkan anti bernalar secara rasional. Prof. Teeuw menuliskan
analisa beliau tersebut lebih dari tigapuluh tahun lalu. Dalam
kurun waktu tersebut kita paling tidak telah mengalami dua
lompatan besar perubahan: dari sistem negara semi otoritarian
ke demokrasi langsung, dan paparan revolusi teknologi informasi
yang merata dan massif.
Faktanya, dalam kedua arus besar lompatan tersebut, kita sama
sekali tidak mampu memberikan respon yang setara dengan
kualitas yang dikehendaki. Demokrasi diserap pada bagian-bagiannya
yang paling dangkal saja. Partisipasi  diperluas pada satu sisi,
tapi duel argumentasi dihindari sedapat mungkin. Kontestasi
direkayasa supaya terlihat keras dan bermutu, tapi ujung-ujungya
adalah kompromi yang membuat semua akal budi mati kutu.
Massifisitas teknologi informasi juga digunakan untuk menambal
sulam dan menutupi-nutupi keawaman. Wacana-wacana publik
dan isu-isu kebangsaan dimonologkan secara sepihak.
Aspirasi diberikan keleluasaan untuk disampaikan, tapi tidak
untuk dilaksanakan. Kurikulum dan modul direvisi hampir
setiap tahun, namun nyaris tidak ada korelasinya dengan
peningkatan cara bernalar yang rigid dan kritis.
Adalah dilema yang tak kunjung ketemu ujung pangkalnya
ketika mahalnya ijazah berhadapan dengan skil seorang
otodidak. Untuk apa repot-repot sekolah kalau toh ijazah
yang didapat tak dihargai? Buat apa pula menghargai seorang
sarjana kalau tidak punya skil yang mumpuni?
Saya teringat kata-kata mendiang Sutan Takdir Alisjahbana;
"kampus yang sebenarnya itu adalah perpustakaan."
Rumus ini mungkin saja sangat susah diterapkan untuk
kondisi sosial sekarang. Tapi kita bisa mencernanya dari
sisi yang tidak terlalu normatif, bahwa kita harus mempunyai
keterampilan dasar untuk mengumpulkan, menganalisis,
dan menyaring pengetahuan. Kita harus memiliki basis
epistemologi yang mandiri. Lembaga-lembaga pendidikan harus
mengutamakan ilmu-ilmu dasar yang menjadi landasan
dan tumpuan semua perkembangan kebudayaan. Teknologi
dan wacana genealogis yang mendasari perwujudannya.
Sehingga salah kaprah dalam penggunaan teknologi ini
segera bisa kita hentikan.
Di negeri kita kemalangannya jadi berlipat-lipat. Sudah tidak
sekolah, tidak juga otodidak, tapi diberi privellege dan label
sebagai orang yang berprestasi. Sudah nyata dungu dan tak tahu
adab, tapi dijunjung-junjung sebagai mesiah penyelamat.
Ironisnya, badut-badut seperti inilah yang menggaung-gaungkan
peningkatan kualitas pendidikan dan perluasan budaya literasi.
Kelakuan yang mirip dengan keledai Nasrudin.
Raja berjanji akan memberi hadiah besar kalau Nasrudin
bisa mengajar seekor keledai membaca. Nasrudin berjanji
akan kembali tiga hari lagi. Pada hari yang sudah disepakati
Nasrudin datang dengan membawa keledai dan sebuah buku
besar. Praktek dimulai. Keledai itu dengan cermat membalik-balik
halaman buku dengan lidahnya seperti yang telah dilatihkan
Nasrudin hingga sampai lembar terakhir.
"Kenapa keledai itu hanya membalik-balik halaman Mullah?"
Tanya sang raja.
"Memang begitulah cara keledai membaca yang mulia. Bukankah
orang yang membaca buku tapi tidak mengerti barang satu huruf
di dalamnya, kita menyebutnya tolol seperti keledai?"
Coba tebak, di manakan keledai-keladai itu sekarang berada?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H