di perbatasan propinsi, 400 km jauhnya dari kampung halaman.
Motor itu berulangkali menyelamatkan kami dalam situasi-situasi
darurat: mengantar si abang yang patah tangan ke rumah sakit,
mengantar si adek yang pada suatu tengah malam tiba-tiba
mengalami step. Motor itu selalu siap sedia mengantar kami
melayat kematian guru, paman, teman karib, ke acara nikahan,
arisan keluarga, dan seterusnya. Motor butut itu, dalam kondisinya
yang setengah terlantar, menyimpan banyak jejak sejarah pribadi
yang sebagian besar terlupakan.
Saya bertanya-tanya dalam hati, apakah motor itu suatu hari
akan menjadi barang antik? Apakah suatu saat, entah kapan,