Nasihat Kematian
Sudah tiga kali motor Yamaha Jupiter saya ditawar orang dengan
harga yang cukup menggiurkan. Tapi saya belum mau melepaskan.
Entah karena apa, saya juga kurang paham. Pokoknya ada saja
kejadian tak terduga yang membuat motor butut itu gagal
berpindah tangan. Namun kejadian beberapa bulan lalu, ketika
saya sangat butuh uang, justru membuat saya menemukan semacam
pencerahan. Ketika dua hari lagi motor itu akan berpindah tangan,
istri saya mengingatkan: "Motor itu pernah duabelas tahun menemani
bapak ke majlis taklim. Sekarang guru kita sudah tiada. Motor itulah
satu-satunya pengingat kita pada beliau." Saya terguncang dan
langsung memutuskan bahwa motor itu tidak akan pernah
lagi saya tawarkan.
Dalam hati, saya merasa seperti seorang yang sangat bebal.
Andai tidak ada yang mengingatkan, pastilah saya abai dengan
sasmita yang dikirimkan malaikat setiap kali motor itu akan
berpindah kepemilikan. Ada konspirasi penyelamatan berulang-ulang
yang sama sekali tidak saya perhatikan.
Maka terbayanglah rangkaian peristiwa puluhan tahun silam.
Motor itu pernah terjebak air pasang persis di tempat yang sama
sebanyak dua kali. Bekas luka di lutut kanan saya adalah hasil
dari perjalanan nekat kami melintasi gunung-gunung curam
di perbatasan propinsi, 400 km jauhnya dari kampung halaman.
Motor itu berulangkali menyelamatkan kami dalam situasi-situasi
darurat: mengantar si abang yang patah tangan ke rumah sakit,
mengantar si adek yang pada suatu tengah malam tiba-tiba
mengalami step. Motor itu selalu siap sedia mengantar kami
melayat kematian guru, paman, teman karib, ke acara nikahan,
arisan keluarga, dan seterusnya. Motor butut itu, dalam kondisinya
yang setengah terlantar, menyimpan banyak jejak sejarah pribadi
yang sebagian besar terlupakan.
Saya bertanya-tanya dalam hati, apakah motor itu suatu hari
akan menjadi barang antik? Apakah suatu saat, entah kapan,
kalau saya merawatnya dengan penuh kesungguhan, ia akan
mendatangkan berkah kekayaan? Wah wah. Saya tidak tahu
apa dan bagaimana nasib barang antik itu ke depan. Sekarang
yang jelas, setiap kali saya memandangnya, terbayanglah wajah
guru saya. Wajah seorang yang teduh penuh kedalaman, arif
dengan segala kebersahajaan, istikamah dan penuh dedikasi
dalam segala pilihan nilai yang beliau dijadikan pegangan.
Sekarang beliau telah berpulang. Dan seperti penampakan motor
itu, sayapun mulai menua dan terlihat butut juga. Entah kapan
dan di mana, saya pasti akan menyusul segera. Hanya saja, saya
terus merasa belum siap. Belum cukup berbuat banyak. Bahkan
terhadap anak dan istri sendiri, saya merasa belum cukup memberi
manfaat. Bagaimana kalau saya mati tiba-tiba? Legacy apa yang
akan saya tinggalkan?
Akan halnya guru kami yang telah berpulang, siang malam makam
beliau tak pernah sepi dari kunjungan. Bukan karena beliau mampu
memberi berkah atau mempunyai keramat seperti banyak anggapan
awam. Tapi karena semasa hidupnya banyak menabur kebaikan,
menginspirasi kemuliaan, arti kata sebenarnya dari karaamah.
Kini di seputar komplek kediaman beliau, berjajar unit-unit usaha,
rumah baru, pasar kaget dan asrama. Pagi dan sore santri putra
dan putri bergantian belajar di madrasah yang beliau tinggalkan.
Bukan anak beliau yang memimpin, tapi diserahkan pada
seorang guru senior yang memang mumpuni. Bahkan sejak masih
hidup, beliau tidak bersedia dijadikan pimpinan. Beliau lebih
memilih berada di belakang, membimbing dan memberi
teladan. Beliau bukanlah orang yang gila hotmat dan jabatan.
Rasa cinta saya pada beliau bermula ketika saya mendengar
kabar bahwa beliau menarik diri dari keramaian. Tidak bersedia
lagi menghadiri undangan dari semua kalangan. Beliau memilih
fokus pada majlis dan madrasah yang sedang dirintis. Saya
yang berlatar belakang pendidikan yang serba tanggung, sedang
mencari seorang guru yang sungguh-sungguh tangguh dalam
ilmu dan teladan. Begitu bertemu dan berbicara, saya langsung
jatuh cinta pada pandangan pertama.
Sungguh hal yang luar biasa dalam pandangan saya, seorang yang
sedang berada di puncak popularitas, tiba-tiba menarik diri
ke sebuah daerah terpencil. Sebuah pesisir yang kerap jadi
langganan pasang dan banjir. Akses transportasi yang sulit ini
ternyata memang tidak bisa menyurutkan cinta para jamaah
yang rindu sejati dan kedamaian. Majlis tetap saja dihadiri
ribuan orang dalam tiap acara pengajian. Pasar dan usaha
terbuka dengan sendirinya. Bukan hanya itu, para pedagang
juga tidak diperbolehkan menjual penganan yang membahayakan
kesehatan, mengandung pengawet atau pemanis buatan. Tidak
dibenarkan menjual mainan yang mengandung unsur judi dan
spekulasi. Jangan ada yang mempromosikan barang yang tidak
sesuai dengan aslinya. Anjuran-anjuran ini diterima dengan
sukarela dan telah jadi tradisi hingga kini. Orang merasa
malu dengan diri sendiri bila berbuat curang.
Ternyata, memang ada segelintir orang yang tidak bisa
ditiadakan oleh kematian. Mereka yang kehadirannya
tetap dapat dirasakan dalam hati dan pikiran. Mereka
yang jejak langkah ilmu dan keteladanannya membekas
begitu dalam. Melekat pada barang-barang, kenangan indah,
kerinduan, dan inspirasi kebaikan yang tak pernah padam.
Kini, setiap kali kami mengadakan acara rutin pembacaan
shalawat, meja kitab dan tilam kecil yang biasa beliau pakai
untuk mengajar kami letakkan di depan. Tempat semula ketika
beliau masih hidup. Sebagai simbol bahwa ajaran, teladan,
dan jejak langkah beliau dalam hati kami masihlah berdegup.
(In Memoriam Allah Yarham KH.Bakhtani)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H