Mohon tunggu...
Abdurrazzaq Zanky
Abdurrazzaq Zanky Mohon Tunggu... Petani - petani.

Senang membaca segala jenis buku, nulis diary, mengamati lingkungan alam dan sosial, menertawakan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Nasihat Kematian

23 November 2024   15:29 Diperbarui: 23 November 2024   15:32 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Nasihat Kematian

Sudah tiga kali motor Yamaha Jupiter saya ditawar orang dengan

harga yang cukup menggiurkan. Tapi saya belum mau melepaskan.

Entah karena apa, saya juga kurang paham. Pokoknya ada saja

kejadian tak terduga yang membuat motor butut itu gagal

berpindah tangan. Namun kejadian beberapa bulan lalu, ketika

saya sangat butuh uang, justru membuat saya menemukan semacam

pencerahan. Ketika dua hari lagi motor itu akan berpindah tangan,

istri saya mengingatkan: "Motor itu pernah duabelas tahun menemani

bapak ke majlis taklim. Sekarang guru kita sudah tiada. Motor itulah

satu-satunya pengingat kita pada beliau." Saya terguncang dan

langsung memutuskan bahwa motor itu tidak akan pernah

lagi saya tawarkan.

Dalam hati, saya merasa seperti seorang yang sangat bebal.

Andai tidak ada yang mengingatkan, pastilah saya abai dengan

sasmita yang dikirimkan malaikat setiap kali motor itu akan

berpindah kepemilikan. Ada konspirasi penyelamatan berulang-ulang

yang sama sekali tidak saya perhatikan.

Maka terbayanglah rangkaian peristiwa puluhan tahun silam.

Motor itu pernah terjebak air pasang persis di tempat yang sama

sebanyak dua kali. Bekas luka di lutut kanan saya adalah hasil

dari perjalanan nekat kami melintasi gunung-gunung curam

di perbatasan propinsi, 400 km jauhnya dari kampung halaman.

Motor itu berulangkali menyelamatkan kami dalam situasi-situasi

darurat: mengantar si abang yang patah tangan ke rumah sakit,

mengantar si adek yang pada suatu tengah malam tiba-tiba

mengalami step. Motor itu selalu siap sedia mengantar kami

melayat kematian guru, paman, teman karib, ke acara nikahan,

arisan keluarga, dan seterusnya. Motor butut itu, dalam kondisinya

yang setengah terlantar, menyimpan banyak jejak sejarah pribadi

yang sebagian besar terlupakan.

Saya bertanya-tanya dalam hati, apakah motor itu suatu hari

akan menjadi barang antik? Apakah suatu saat, entah kapan,

kalau saya merawatnya dengan penuh kesungguhan, ia akan

mendatangkan berkah kekayaan? Wah wah. Saya tidak tahu

apa dan bagaimana nasib barang antik itu ke depan. Sekarang

yang jelas, setiap kali saya memandangnya, terbayanglah wajah

guru saya. Wajah seorang yang teduh penuh kedalaman, arif

dengan segala kebersahajaan, istikamah dan penuh dedikasi

dalam segala pilihan nilai yang beliau dijadikan pegangan.

Sekarang beliau telah berpulang. Dan seperti penampakan motor

itu, sayapun mulai menua dan terlihat butut juga. Entah kapan

dan di mana, saya pasti akan menyusul segera. Hanya saja, saya

terus merasa belum siap. Belum cukup berbuat banyak. Bahkan

terhadap anak dan istri sendiri, saya merasa belum cukup memberi

manfaat. Bagaimana kalau saya mati tiba-tiba? Legacy apa yang

akan saya tinggalkan?

Akan halnya guru kami yang telah berpulang, siang malam makam

beliau tak pernah sepi dari kunjungan. Bukan karena beliau mampu

memberi berkah atau mempunyai keramat seperti banyak anggapan

awam. Tapi karena semasa hidupnya banyak menabur kebaikan,

menginspirasi kemuliaan, arti kata sebenarnya dari karaamah.

Kini di seputar komplek kediaman beliau, berjajar unit-unit usaha,

rumah baru, pasar kaget dan asrama. Pagi dan sore santri putra

dan putri bergantian belajar di madrasah yang beliau tinggalkan.

Bukan anak beliau yang memimpin, tapi diserahkan pada

seorang guru senior yang memang mumpuni. Bahkan sejak masih

hidup, beliau tidak bersedia dijadikan pimpinan. Beliau lebih

memilih berada di belakang, membimbing dan memberi

teladan. Beliau bukanlah orang yang gila hotmat dan jabatan.

Rasa cinta saya pada beliau bermula ketika saya mendengar

kabar bahwa beliau menarik diri dari keramaian. Tidak bersedia

lagi menghadiri undangan dari semua kalangan. Beliau memilih

fokus pada majlis dan madrasah yang sedang dirintis. Saya

yang berlatar belakang pendidikan yang serba tanggung, sedang

mencari seorang guru yang sungguh-sungguh tangguh dalam

ilmu dan teladan. Begitu bertemu dan berbicara, saya langsung

jatuh cinta pada pandangan pertama.

Sungguh hal yang luar biasa dalam pandangan saya, seorang yang

sedang berada di puncak popularitas, tiba-tiba menarik diri

ke sebuah daerah terpencil. Sebuah pesisir yang kerap jadi

langganan pasang dan banjir. Akses transportasi yang sulit ini

ternyata memang tidak bisa menyurutkan cinta para jamaah

yang rindu sejati dan kedamaian. Majlis tetap saja dihadiri

ribuan orang dalam tiap acara pengajian. Pasar dan usaha

terbuka dengan sendirinya. Bukan hanya itu, para pedagang

juga tidak diperbolehkan menjual penganan yang membahayakan

kesehatan, mengandung pengawet atau pemanis buatan. Tidak

dibenarkan menjual mainan yang mengandung unsur judi dan

spekulasi. Jangan ada yang mempromosikan barang yang tidak

sesuai dengan aslinya. Anjuran-anjuran ini diterima dengan

sukarela dan telah jadi tradisi hingga kini. Orang merasa

malu dengan diri sendiri bila berbuat curang.

Ternyata, memang ada segelintir orang yang tidak bisa

ditiadakan oleh kematian. Mereka yang kehadirannya

tetap dapat dirasakan dalam hati dan pikiran. Mereka

yang jejak langkah ilmu dan keteladanannya membekas

begitu dalam. Melekat pada barang-barang, kenangan indah,

kerinduan, dan inspirasi kebaikan yang tak pernah padam.

Kini, setiap kali kami mengadakan acara rutin pembacaan

shalawat, meja kitab dan tilam kecil yang biasa beliau pakai

untuk mengajar kami letakkan di depan. Tempat semula ketika

beliau masih hidup. Sebagai simbol bahwa ajaran, teladan,

dan jejak langkah beliau dalam hati kami masihlah berdegup.

(In Memoriam Allah Yarham KH.Bakhtani)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun