Kesadaran Dengan Berpuisi
MengasahMenulis puisi laksana melukiskan jiwa. Menyalin pengalaman
batin ke dalam bentuk kata. Upaya mengurai gejolak rasa dan
tanggapan intuisi ke dalam sarana gramatikal yang bermakna.
Pada waktu-waktu tertentu, kadang kita mengalami apa yang
disebut sebagai momen estetik. Yaitu ketika kita terpapar
dan merasakan situasi kejiwaan yang peka dan menyentuh.
Keadaan jiwa di mana rasa dan intuisi kita menjadi sangat
mudah tersugesti. Tiba-tiba kita merasa pintu kesadaran
terbuka leluasa. Dan sejenak kita seakan bisa 'melihat' hakikat
dan makna benda-benda secara terang-benderang. Bahkan
sampai ke akar dan wujud maknanya yang paling
eksistensial. Namun momen ini biasanya hanya datang
secara sekilas. Ada rasa nikmat yang sulit disalin ke
dalam bahasa. Ada tanggapan makna yang sukar
dirumuskan dalam kata.
Dalam situasi semacam itulah biasanya orang
tergerak untuk menulis puisi. Karena puisi dianggap
sebagai sarana bahasa yang paling memungkinkan
jadi representasi dari momen keramat tersebut.
Momen yang intens, padat, tapi berlangsung secepat
kilat. Momen-momen kesadaran yang tidak bisa dipredeksi
atau diada-adakan. Momen dimana kita ingin berlama-lama
dan berulang-ulang merasakan. Dalam upaya
mempertahankan momen tersebut, maka ditulislah puisi.
Upaya itu sendiri tidaklah mudah. Penyair harus merancang
sendiri konstruksi gramatikalnya. Tidak ada acuan tertentu
yang bisa dijadikan panduan. Memang, penyair adalah orang yang
diberi kuasa untuk menjalankan licentia puitika, keleluasaan
puitik. Ia bisa menciptakan kamus maknanya sendiri.
Memodifikasi bahkan mempermainkan konvensi bahasa
yang tersedia, sarana literer yang berlaku umum. Namun
justru di situlah letak paradoksnya.
Sajak yang terlalu 'orisinal' bisa menjadi gelap total.
Keleluasaan puitik itu ternyata ada batasnya. Penyair
tidak sepenuhnya bisa tenggelam dalam dunia kata
ciptaannya. Ia harus tetap meninggalkan beberapa kata
kunci pada pembaca. Simbol-simbol paralingual yang
bisa menghubungkannya dengan manusia selebihnya.
Maka ia harus kreatif, berpikir keras, menjejaki berbagai
kemungkinan, membolak-balik gagasan, membongkar
pasang ide berulang-ulang, bahkan bisa saja ia harus
'bunuh diri', menciptakan paradoks dan kontradiksi
terhadap proposisi yang ia kemukakan.
Dalam perjalanan ikhtiar keras tanpa ampun tersebut,
sering penyair mengalami pencerahan, katarsis estetik
yang tidak terduga. Makna kata yang dibolak-balik
demikian rupa, ide dan gagasan yang diruncingkan
hingga ke ujung-ujung logika, memungkinkan penyair
untuk memperdalam, memperluas, memperhalus, dan
mempertajam penalaran. Memperkaya dan memperluas
rambahan makna gagasan hingga ke tepi-tepi terjauh
pemahaman. Intensifitas olah batin ini akan mengasah
dengan cepat rasa peka dan kesadaran intuitif sang penyair.
Maka sesungguhnya berpuisi bukanlah sekedar demi
melayani tuntutan hati atau melankoli. Bukan hanya demi
kebagusan kata nan rancak atau agar kekasih jadi jinak.
Dalam prosesnya yang total dan berlapis, berpuisi sangat
bagus untuk menumbuhkan dan mengaktifkan rasa peka,
mempertajam kehalusan rasa, juga memperkaya sudut
pandang logika. Berpuisi adalah proses terus-menerus
untuk menemukan jati diri kesadaran ruhaniah manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H