atau diada-adakan. Momen dimana kita ingin berlama-lama
dan berulang-ulang merasakan. Dalam upaya
mempertahankan momen tersebut, maka ditulislah puisi.
Upaya itu sendiri tidaklah mudah. Penyair harus merancang
sendiri konstruksi gramatikalnya. Tidak ada acuan tertentu
yang bisa dijadikan panduan. Memang, penyair adalah orang yang
diberi kuasa untuk menjalankan licentia puitika, keleluasaan
puitik. Ia bisa menciptakan kamus maknanya sendiri.
Memodifikasi bahkan mempermainkan konvensi bahasa
yang tersedia, sarana literer yang berlaku umum. Namun
justru di situlah letak paradoksnya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!