Mohon tunggu...
Abdurrazzaq Zanky
Abdurrazzaq Zanky Mohon Tunggu... Petani - petani.

Senang membaca segala jenis buku, nulis diary, mengamati lingkungan alam dan sosial, menertawakan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Mengasah Kesadaran dengan Berpuisi

21 November 2024   11:46 Diperbarui: 21 November 2024   11:50 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengasah Kesadaran Dengan Berpuisi

Menulis puisi laksana melukiskan jiwa. Menyalin pengalaman

batin ke dalam bentuk kata. Upaya mengurai gejolak rasa dan

tanggapan intuisi ke dalam sarana gramatikal yang bermakna.

Pada waktu-waktu tertentu, kadang kita mengalami apa yang

disebut sebagai momen estetik. Yaitu ketika kita terpapar

dan merasakan situasi kejiwaan yang peka dan menyentuh.

Keadaan jiwa di mana rasa dan intuisi kita menjadi sangat

mudah tersugesti. Tiba-tiba kita merasa pintu kesadaran

terbuka leluasa. Dan sejenak kita seakan bisa 'melihat' hakikat

dan makna benda-benda secara terang-benderang. Bahkan

sampai ke akar dan wujud maknanya yang paling

eksistensial. Namun momen ini biasanya hanya datang

secara sekilas. Ada rasa nikmat yang sulit disalin ke

dalam bahasa. Ada tanggapan makna yang sukar

dirumuskan dalam kata.

Dalam situasi semacam itulah biasanya orang

tergerak untuk menulis puisi. Karena puisi dianggap

sebagai sarana bahasa yang paling memungkinkan

jadi representasi dari momen keramat tersebut.

Momen yang intens, padat, tapi berlangsung secepat

kilat. Momen-momen kesadaran yang tidak bisa dipredeksi

atau diada-adakan. Momen dimana kita ingin berlama-lama

dan berulang-ulang merasakan. Dalam upaya

mempertahankan momen tersebut, maka ditulislah puisi.

Upaya itu sendiri tidaklah mudah. Penyair harus merancang

sendiri konstruksi gramatikalnya. Tidak ada acuan tertentu

yang bisa dijadikan panduan. Memang, penyair adalah orang yang

diberi kuasa untuk menjalankan licentia puitika, keleluasaan

puitik. Ia bisa menciptakan kamus maknanya sendiri.

Memodifikasi bahkan mempermainkan konvensi bahasa

yang tersedia, sarana literer yang berlaku umum. Namun

justru di situlah letak paradoksnya.

Sajak yang terlalu 'orisinal' bisa menjadi gelap total.

Keleluasaan puitik itu ternyata ada batasnya. Penyair

tidak sepenuhnya bisa tenggelam dalam dunia kata

ciptaannya. Ia harus tetap meninggalkan beberapa kata

kunci pada pembaca. Simbol-simbol paralingual yang

bisa menghubungkannya dengan manusia selebihnya.

Maka ia harus kreatif, berpikir keras, menjejaki berbagai

kemungkinan, membolak-balik gagasan, membongkar

pasang ide berulang-ulang, bahkan bisa saja ia harus

'bunuh diri', menciptakan paradoks dan kontradiksi

terhadap proposisi yang ia kemukakan.

Dalam perjalanan ikhtiar keras tanpa ampun tersebut,

sering penyair mengalami pencerahan, katarsis estetik

yang tidak terduga. Makna kata yang dibolak-balik

demikian rupa, ide dan gagasan yang diruncingkan

hingga ke ujung-ujung logika, memungkinkan penyair

untuk memperdalam, memperluas, memperhalus, dan

mempertajam penalaran. Memperkaya dan memperluas

rambahan makna gagasan hingga ke tepi-tepi terjauh

pemahaman. Intensifitas olah batin ini akan mengasah

dengan cepat rasa peka dan kesadaran intuitif sang penyair.

Maka sesungguhnya berpuisi bukanlah sekedar demi

melayani tuntutan hati atau melankoli. Bukan hanya demi

kebagusan kata nan rancak atau agar kekasih jadi jinak.

Dalam prosesnya yang total dan berlapis, berpuisi sangat

bagus untuk menumbuhkan dan mengaktifkan rasa peka,

mempertajam kehalusan rasa, juga memperkaya sudut

pandang logika. Berpuisi adalah proses terus-menerus

untuk menemukan jati diri kesadaran ruhaniah manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun