Cinta Yang Menginspirasi
Kisah ini sudah berlaku tigapuluh tahun lebih. Waktu itu kami duduk
di bangku MIN. Kami punya guru favorit, Pak Muhdi dan Bu Aida (nama samaran).
Semua orang tahu kalau mereka saling mencintai. Kami sering menyoraki beliau
bila kebetulan keluar kantor berbarengan. Keduanya adalah guru honor yang baru
tamat kuliah. Percintaan mereka didukung penuh oleh murid dan rekan-rekan guru.
Mereka punya prospek cinta yang cerah.
Setamat MIN, saya masuk sekolah asrama pada sebuah panti asuhan di pinggiran
kota. Saya asyik dengan dunia saya yang baru. Bergaul bersama teman-teman dengan
latar belakang beragam. Ada wawasan dan pemahaman yang sungguh berlainan
dengan suasana kampung halaman. Ada disiplin dan peraturan, yang semula saya
 sangka mengekang, tapi ternyata memberi arah dan manfaat yang sungguh
mencengangkan. Alhasil, kisah cinta Pak Muhdi dan Bu Aida sama sekali terlupakan.
Sampai berpuluh tahun kemudian, saya bertemu dengan sesama alumnus MIN,
yang menceritakan bahwa Pak Muhdi dan Bu Aida sudah tidak mengajar lagi
di sekolah kami yang lama. Pak Muhdi diangkat jadi PNS dan ditempatkan pada
suatu pulau di ujung Kalimantan Selatan. Bu Aida menempati penugasan baru
 pada sebuah SD tak jauh dari rumah beliau. "Apa mereka menikah?" Saya bertanya.
"Tidak. Tapi Pak Muhdi dapat jodoh di tempat beliau mengajar. Bu Aida masih lajang."
Percakapan terhenti di situ karena kami sama buru-buru.
Sayapun tidak memikirkan kisah cinta itu lebih lanjut.
Empat tahun lalu saya bertemu Pak Muhdi ketika sama-sama melayat.
saya menanyakan perihal asmara masa lalu itu secara bercanda. Kata beliau
sampai sekarang mereka terus berhubungan. "Kamu mau ngomong sama ibu?"
Tanya beliau sambil tertawa. Saya hanya setengah percaya. Mana bisa.
Pasti segala nomor masa lalu itu diblokir oleh istri beliau. Beliau mengklik sebuah
kontak. "Nih, murid kamu mau ngomong," kata beliau santai. Saya gelagapan.
Tapi terpaksa juga bicara dengan sangat hati-hati.
Usut punya usut ternyata keduanya memang terus berhubungan dengan
sepengetahuan istri Pak Muhdi. Katanya mereka diperbolehkan berteman,
tapi tidak boleh pacaran. Sebagian teman mengatakan mereka pacaran,
sebagian bilang mereka cuma berteman. Cinta masa lalu itu telah terkubur kenyataan.
Mereka hanya terus berhubungan lewat hp. Selebihnya tidak.
Tigapuluh tahun berlalu, Pak Muhdi bahkan telah menjadi seorang kakek.
Tapi Bu Aida terus saja melajang. Mereka telah sama-sama menerima kenyataan
yang aneh itu. Boleh berhubungan, tapi dilarang pacaran. Pak Muhdi makin
terikat dengan tanggungjawabnya terhadap keluarga. Sedang Bu Aida bersikukuh
bertahan dalam kesendirian.
Cerita mengharukan datang dari teman saya yang sekampung dengan Pak Muhdi.
Pada sore-sore tertentu, akan ada lewat Brio putih yang sejenak berhenti di
halaman rumah orangtua Pak Muhdi. Lalu melaju lagi ke arah luar.
Itulah Bu Aida yang sedang kangen berat dengan kekasihnya.
Saya bertanya-tanya dalam hati, apakah cinta yang tak kesampaian memang bisa
bertahan selama itu? Apakah kekecewaan yang berkepanjangan tidak bisa
berubah menjadi dendam? Bagi saya situasinya sungguh rumit dan sulit dijelaskan.
Bagaimana bisa hubungan 'gelap' tidak menimbulkan goncangan rumah tangga?
Bagaimana mungkin seorang lelaki memilih setia pada tanggungjawabnya
sementara hatinya terus terluka? Bagaimana bisa seorang perempuan bersetia
merawat cintanya, sedang dia tahu pasti harapannya sudah pupus sepenuhnya?
Yang paling mengagumkan saya adalah, dalam segala gejolak cinta yang tak
berkesudahan tersebut, mereka mampu menjaga martabat masing-masing.
Tidak tergoda untuk berselingkuh atau main belakang. Mereka membiarkan
semua orang mengetahui kisah cinta tersebut. Mereka tidak bersifat munafik
dengan cara berbohong atau ingin dikesankan sok suci. Mereka membiarkan
masing-masing hati saling bersentuhan, tapi tidak sampai bersebadan.
Mungkin cinta yang telah tersublimasi itu memang mampu memisahkan diri
dari dunia. Hidup dan cukup dalam kesunyian dunianya yang  jauh dari
keramaian hati manusia. Mungkin wujud cinta yang murni itu adalah justru
kesucian hati dari angkara murka ilusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H