Mohon tunggu...
Abdurrazzaq Zanky
Abdurrazzaq Zanky Mohon Tunggu... Petani - petani.

Senang membaca segala jenis buku, nulis diary, mengamati lingkungan alam dan sosial, menertawakan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Roman

Risalah Angin /III/

12 November 2024   16:15 Diperbarui: 12 November 2024   16:17 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                                                            

III/

Dengan segenap getar gelora kerinduan

sang Angin menyusuri rambut pucuk-pucuk cemara

membuat anak-anak lembah tersirap sukmanya

bahkan serombongan bidadari bersayap menolehkan kepala,

"O tanah pilihan para kekasih Tuhan

 tlah berabad kutanam tunas kerinduan

 engkaupun senantiasa jaga dalam kenangan,

 Di negeri asing yang sarat kesangsian ini

 kutunggu dan terus kutunggu buah tanganmu

 dalam kesunyian hari-hariku,

 Di tahun-tahun pesona keremajaan

 ketika hatiku tersingkir dari keindahan dunia,

 kenangan akan dikaualah

 yang menuntunku ke kembali ke kelimpahan cahaya,

"O tanah pilihan para kekasih kehidupan!

 Betapa kini takdir tersenyum laksana bunga-bunga taman

 mengantar kita ke dalam hangat rangkulan keintiman cinta,

 maka ingin kuziarahi tiap helai daun

 yang terangkai pada ranting-ranting hayatmu

 'kan kutuang serbuk sari kasih sayang

 pada setiap kuncup kembang-kembangmu

 'kan kureguk segala kesejukan pagi

 yang mengalir pada anak-anak sungai lembahmu

 'kan kusesap tiap tetes anggur cinta

 yang  bergelantungan di ujung-ujung daun kebunmu

'kan kutanam tenang telagamu

 dalam segala rusuh geloraku

 'kan kupetik kecapi 'arsy surgawi

 'tuk mengiringkan kasidah cinta yang tak terpermai ini."

Para lelaki yang bekerja di sawah

Ibu-ibu yang menanak nasi di rumah

Bocah-bocah yang bermain di sabana rerumputan

Merentangkan tangan

Menyambut kerabat hati yang tlah lama hilang,

Mata mereka berkaca bagai telaga purnama

mensyukuri akhir penantian yang tak sia-sia

Sementara sang Angin terus beredar

di antara lambaian daun-daun kelapa

merendah di atas kebun-kebun semangka

meniriskan peluh petani dari kening mereka

memastikan senyum

bagi semua perempuan yang begitu menyayanginya

dan bagi bocah-bocah di keluasan sabana

digubahnya lagu-lagu ceria

seisi desa tenggelam dalam indah nostalgia

pexels.com
pexels.com

Ketika mereka telah saling merangkulkan tangan

di bawah rindang pepohonan,

majulah seorang wakil ke hadapan:

"Tlah lama kami dengar tentang liputan

 rahim semestamu dari derai musim hujan

 betapa sering kami simak keluh nestapamu

 dari geletar bibir kemarau,

 kini kesantunan takdir meletakkanmu ke pangkuan kami

 maka tinggallah selamanya 'tuk membina kedamaian

 mendendangkan gita kasih musim hujan

 membebaskan kemarau hati kami

 dari pedih nestapa perpisahan."

Sang buah kerinduan memberi jawaban:

"Seorang ibu akan memberikan

 puting susu yang sama bagi anak-anaknya

 pun akan menggunakan tangan yang sama

 'tuk menghentikan kenakalan mereka

 sambil terus menyapihnya dengan abadi doa,

 Begitulah,

 kususukan anak-anak kehidupan

 dengan limpahan rahmat musim hujan

 kusapih mereka dengan tangan-tangan kerontang kemarau

 agar kembali menemukan kesuburan,

 lalu akupun membubung ke ketinggian

 untuk mengiringi perkembangan mereka

 menuntun jari-jemari lembutnya

 mendengarkan tangis pengaduannya

 menemani hari-hari remajanya

 lalu memetik buah kematangan usianya

 'tuk kembali kuanugerahkan

 pada anak-anak alam yang oleh siklus baru dilahirkan,

 Tak pernah aku berhenti

 menyapih dan menyusukan kehidupan

 sampai ketika wujudnya yang azali

 tersingkap dari selubung kefanaan,

 Sesungguhnyalah dalam kitab keabadian

 kita tidak pernah terpisahkan satu sama lain,

 hanya kita menggunakan baju yang berbeda

 ketika turun ke lembah dunia,

 kita mengucapkan bahasa yang beraneka

 untuk merujuk dzat yang itu-itu juga."

pxhere.com
pxhere.com

Seorang bocah mengajukan diri ke muka;

"Paman, paman ceritakan kami tentang masa depan,

 buatkan kami layar untuk mencapainya."

Gemerisik tawanya pada rumpun bambu:

"Engkau ingin menggapai masa depan,

 padahal tidak seorangpun benar-benar pernah menjumpainya,

 Kalian mungkin membayangkannya

 sebagai kecerian masa remaja

 tempat berseminya musim cinta,

 para remaja mendambakannya

 sebagai bahagia sebuah rumah tangga

 dimana jiwa mencapai puncak penyatuannya,

 sementara orang dewasa mendefinisikannya

 sebagai ketenangan hari tua

 ketika hati menemukan kearifannya,

 namun mereka yang lanjut usia

 mengimpikannya sebagai abadi taman surga

 tatkala hasrat dan ambisi mereka mulai reda,

 masa depan itu laksana fatamorgana

 seperti genangan oase di jalan raya

 begitu kita mencapainya langsung sirna,

 namun di mata Dia yang Mahabijaksana

 nilai seseorang itu bukan terletak pada apa yang dicapainya

 tapi pada seberapa total ikhtiar yang dilakukannya,

 sebab prestasi itu bersifat fana belaka

 apa yang bergetar di hati itulah yang baka."

pxhere.com
pxhere.com

Lama mereka saling bercengkrama

Saling memunggah rahasia rindu dari lubuk hatinya

Sampai langit menghamparkan warna lembayungnya

Hingga seisi lembah kuyup oleh pendar-pendar jernih cahaya

Sebelum senja mengatup pada celah bebukitan

Sekali lagi ia membelai kehadiran mereka

Meresapkan citra cinta yang menyesakkan dada,

Lalu laksana getar wahyu kesedihan malam

Sang Angin mengucap salam perpisahan:

"Selamat tinggal wahai tanah kelahiran!

 Engkau yang lestari menawan kehidupan hatiku

 pulanglah kembali ke rumah kenangan,

 dengan iringan musim 'kan kulanjutkan perjalanan

 mencari wujud-wujud lain manifestasimu

 yang 'kan menawarkan rawan kerinduan."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun