Â
III/
Dengan segenap getar gelora kerinduan
sang Angin menyusuri rambut pucuk-pucuk cemara
membuat anak-anak lembah tersirap sukmanya
bahkan serombongan bidadari bersayap menolehkan kepala,
"O tanah pilihan para kekasih Tuhan
 tlah berabad kutanam tunas kerinduan
 engkaupun senantiasa jaga dalam kenangan,
 Di negeri asing yang sarat kesangsian ini
 kutunggu dan terus kutunggu buah tanganmu
 dalam kesunyian hari-hariku,
 Di tahun-tahun pesona keremajaan
 ketika hatiku tersingkir dari keindahan dunia,
 kenangan akan dikaualah
 yang menuntunku ke kembali ke kelimpahan cahaya,
"O tanah pilihan para kekasih kehidupan!
 Betapa kini takdir tersenyum laksana bunga-bunga taman
 mengantar kita ke dalam hangat rangkulan keintiman cinta,
 maka ingin kuziarahi tiap helai daun
 yang terangkai pada ranting-ranting hayatmu
 'kan kutuang serbuk sari kasih sayang
 pada setiap kuncup kembang-kembangmu
 'kan kureguk segala kesejukan pagi
 yang mengalir pada anak-anak sungai lembahmu
 'kan kusesap tiap tetes anggur cinta
 yang  bergelantungan di ujung-ujung daun kebunmu
'kan kutanam tenang telagamu
 dalam segala rusuh geloraku
 'kan kupetik kecapi 'arsy surgawi
 'tuk mengiringkan kasidah cinta yang tak terpermai ini."
Para lelaki yang bekerja di sawah
Ibu-ibu yang menanak nasi di rumah
Bocah-bocah yang bermain di sabana rerumputan
Merentangkan tangan
Menyambut kerabat hati yang tlah lama hilang,
Mata mereka berkaca bagai telaga purnama
mensyukuri akhir penantian yang tak sia-sia
Sementara sang Angin terus beredar
di antara lambaian daun-daun kelapa
merendah di atas kebun-kebun semangka
meniriskan peluh petani dari kening mereka
memastikan senyum
bagi semua perempuan yang begitu menyayanginya
dan bagi bocah-bocah di keluasan sabana
digubahnya lagu-lagu ceria
seisi desa tenggelam dalam indah nostalgia
Ketika mereka telah saling merangkulkan tangan
di bawah rindang pepohonan,
majulah seorang wakil ke hadapan:
"Tlah lama kami dengar tentang liputan
 rahim semestamu dari derai musim hujan
 betapa sering kami simak keluh nestapamu
 dari geletar bibir kemarau,
 kini kesantunan takdir meletakkanmu ke pangkuan kami
 maka tinggallah selamanya 'tuk membina kedamaian
 mendendangkan gita kasih musim hujan
 membebaskan kemarau hati kami
 dari pedih nestapa perpisahan."
Sang buah kerinduan memberi jawaban:
"Seorang ibu akan memberikan
 puting susu yang sama bagi anak-anaknya
 pun akan menggunakan tangan yang sama
 'tuk menghentikan kenakalan mereka
 sambil terus menyapihnya dengan abadi doa,
 Begitulah,
 kususukan anak-anak kehidupan
 dengan limpahan rahmat musim hujan
 kusapih mereka dengan tangan-tangan kerontang kemarau
 agar kembali menemukan kesuburan,
 lalu akupun membubung ke ketinggian
 untuk mengiringi perkembangan mereka
 menuntun jari-jemari lembutnya
 mendengarkan tangis pengaduannya
 menemani hari-hari remajanya
 lalu memetik buah kematangan usianya
 'tuk kembali kuanugerahkan
 pada anak-anak alam yang oleh siklus baru dilahirkan,
 Tak pernah aku berhenti
 menyapih dan menyusukan kehidupan
 sampai ketika wujudnya yang azali
 tersingkap dari selubung kefanaan,
 Sesungguhnyalah dalam kitab keabadian
 kita tidak pernah terpisahkan satu sama lain,
 hanya kita menggunakan baju yang berbeda
 ketika turun ke lembah dunia,
 kita mengucapkan bahasa yang beraneka
 untuk merujuk dzat yang itu-itu juga."
Seorang bocah mengajukan diri ke muka;
"Paman, paman ceritakan kami tentang masa depan,
 buatkan kami layar untuk mencapainya."
Gemerisik tawanya pada rumpun bambu:
"Engkau ingin menggapai masa depan,
 padahal tidak seorangpun benar-benar pernah menjumpainya,
 Kalian mungkin membayangkannya
 sebagai kecerian masa remaja
 tempat berseminya musim cinta,
 para remaja mendambakannya
 sebagai bahagia sebuah rumah tangga
 dimana jiwa mencapai puncak penyatuannya,
 sementara orang dewasa mendefinisikannya
 sebagai ketenangan hari tua
 ketika hati menemukan kearifannya,
 namun mereka yang lanjut usia
 mengimpikannya sebagai abadi taman surga
 tatkala hasrat dan ambisi mereka mulai reda,
 masa depan itu laksana fatamorgana
 seperti genangan oase di jalan raya
 begitu kita mencapainya langsung sirna,
 namun di mata Dia yang Mahabijaksana
 nilai seseorang itu bukan terletak pada apa yang dicapainya
 tapi pada seberapa total ikhtiar yang dilakukannya,
 sebab prestasi itu bersifat fana belaka
 apa yang bergetar di hati itulah yang baka."
Lama mereka saling bercengkrama
Saling memunggah rahasia rindu dari lubuk hatinya
Sampai langit menghamparkan warna lembayungnya
Hingga seisi lembah kuyup oleh pendar-pendar jernih cahaya
Sebelum senja mengatup pada celah bebukitan
Sekali lagi ia membelai kehadiran mereka
Meresapkan citra cinta yang menyesakkan dada,
Lalu laksana getar wahyu kesedihan malam
Sang Angin mengucap salam perpisahan:
"Selamat tinggal wahai tanah kelahiran!
 Engkau yang lestari menawan kehidupan hatiku
 pulanglah kembali ke rumah kenangan,
 dengan iringan musim 'kan kulanjutkan perjalanan
 mencari wujud-wujud lain manifestasimu
 yang 'kan menawarkan rawan kerinduan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H