Kutuliskan semua ketika pandemi benar-benar telah mengepung seluruh negeri.
Pada suatu malam sepi, di sebuah pelosok, di antara bunyi-bunyian binatang malam
yang menggurit kenangan. Aku coba bayangkan bagaimana semua ini nanti jadinya.
Betapa inginku mendengar suara-suara orang bijak dari menara-menara abad.
Betapa kuingin keluar dari kepompong zaman. Berdiri di keluasan wawasan semesta.
Meninjau dari waktu yang abadi ini semua.
Kutuliskan semua ini ketika hantu-hantu ketakutan menjulurkan tangan ke setiap
pintu. Menyeruak seketika dari kebutaan malam. Merampas bocah-bocah dari
kejernihan masa depan. Menelantarkan bayi-bayi dalam buaian ketidakpastian.
Merenggut cerita-cerita tenang, cita-cita bersahaja para pesakitan, memadamkan
api unggun kehangatan dalam satu tiupan yang tak berbelas kasihan.
Kutuliskan semua ini pada suatu sudut planet terpencil, pada sedikit potongan
tanah yang masih mengapung dari bumi kesadaran purba sebesar pelita.
Terasa makin sayup gemuruh bintang-bintang di angkasa. Betapa makin menipis
simpati dan solidaritas. Betapa makin menjauh rasa kemanusian dari hati nurani
alam. Kehidupan mengambang di awang-awang. Makin hari makin menyisih
dari sublimasi kesadaran.
Kutuliskan semua ini pada suatu masa pancaroba, pada suatu masa peralihan
kesadaran tak terbendungkan. Ketika kesadaran individual menyusut jadi kesadaran
kolektif yang dangkal. Kesadaran pragmatis tanpa tumpuan, tanpa idealisme terang,
tanpa panduan moral yang memuliakan harkat kemanusian.
Kutuliskan semua ini pada suatu zaman di mana satu orang bisa mengenakan
beribu topeng penyamaran. Di mana orang-orang lebih suka menggunakan
identitas palsu. Status yang dipinjam dari khayal dan dunia hantu.
Di mana kejayaan bisa melesat secepat meteor dan rontok secepat sambaran
petir. Di mana puncak imajinasi tentang kesenangan dihembuskan dari
fatamorgana asumsi-asumsi dangkal yang menyesatkan.
Di mana orang terjebak dalam labirin misteri, tersedot ke dalam pasir hisap
realitas semu, kehilangan peta jalan awal dan akhir semua itu.
Kutuliskan semua rasa keterasingan ini pada gerimis, pada ranting-ranting
peradaban yang letih, pada angin yang berangkat ke semenanjung, pada ruang
kosong tanpa gema, pada paradoks takdir yang tak kunjung terselami, pada jalan
akal budi yang pernah menuntun kebangkitan jiwa pendahulu kami.
Pada suatu malam, kuharap engkau terjaga
membuka lembaran-lembaran lusuh ini. Goresan-goresan kecil
seorang penyintas sepi, yang merasa terasing dari zamannya, yang mengharap
dirinya engkau kenali.
Seorang paria paruh baya yang pernah menyusur pasar dan sudut-sudut kota,
namun tak menemukan seorangpun lawan bicara. Seorang bersahaja
yang tak mengenal algoritma pantun dan peribahasa, yang setia
menyunggi matahari di atas ubun-ubunnya setiap berangkat dan pulang kerja.
Seorang makhluk fana yang tak kalis dari kematian
namun cintanya pada kehidupan terlanjur mendalam.
Seserpih debu fana yang selalu mengharapkan
beredar bersama denyut jantung hati keabadian.
Kutuliskan semua ini untuk mengenang suatu zaman,
sekilas keberadaan kami yang begitu angkuh sekaligus rapuh,
sezarah ego yang akhirnya sia-sia memberhalakan diri.
Kutuliskan semua kesaksian ini, agar engkau setidaknya
punya referensi tentang apa itu sepi.
                  Gambut, Maret 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H