Mohon tunggu...
Abdurrazzaq Zanky
Abdurrazzaq Zanky Mohon Tunggu... Petani - petani.

Senang membaca segala jenis buku, nulis diary, mengamati lingkungan alam dan sosial, menertawakan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Roman

Memoar Tak Bernama

4 November 2024   20:15 Diperbarui: 4 November 2024   21:54 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kutuliskan semua ketika pandemi benar-benar telah mengepung seluruh negeri.

Pada suatu malam sepi, di sebuah pelosok, di antara bunyi-bunyian binatang malam

yang menggurit kenangan. Aku coba bayangkan bagaimana semua ini nanti jadinya.

Betapa inginku mendengar suara-suara orang bijak dari menara-menara abad.

Betapa kuingin keluar dari kepompong zaman. Berdiri di keluasan wawasan semesta.

Meninjau dari waktu yang abadi ini semua.

Kutuliskan semua ini ketika hantu-hantu ketakutan menjulurkan tangan ke setiap

pintu. Menyeruak seketika dari kebutaan malam. Merampas bocah-bocah dari

kejernihan masa depan. Menelantarkan bayi-bayi dalam buaian ketidakpastian.

Merenggut cerita-cerita tenang, cita-cita bersahaja para pesakitan, memadamkan

api unggun kehangatan dalam satu tiupan yang tak berbelas kasihan.

Kutuliskan semua ini pada suatu sudut planet terpencil, pada sedikit potongan

tanah yang masih mengapung dari bumi kesadaran purba sebesar pelita.

Terasa makin sayup gemuruh bintang-bintang di angkasa. Betapa makin menipis

simpati dan solidaritas. Betapa makin menjauh rasa kemanusian dari hati nurani

alam. Kehidupan mengambang di awang-awang. Makin hari makin menyisih

dari sublimasi kesadaran.

Kutuliskan semua ini pada suatu masa pancaroba, pada suatu masa peralihan

kesadaran tak terbendungkan. Ketika kesadaran individual menyusut jadi kesadaran

kolektif yang dangkal. Kesadaran pragmatis tanpa tumpuan, tanpa idealisme terang,

tanpa panduan moral yang memuliakan harkat kemanusian.

Kutuliskan semua ini pada suatu zaman di mana satu orang bisa mengenakan

beribu topeng penyamaran. Di mana orang-orang lebih suka menggunakan

identitas palsu. Status yang dipinjam dari khayal dan dunia hantu.

Di mana kejayaan bisa melesat secepat meteor dan rontok secepat sambaran

petir. Di mana puncak imajinasi tentang kesenangan dihembuskan dari

fatamorgana asumsi-asumsi dangkal yang menyesatkan.

Di mana orang terjebak dalam labirin misteri, tersedot ke dalam pasir hisap

realitas semu, kehilangan peta jalan awal dan akhir semua itu.

Kutuliskan semua rasa keterasingan ini pada gerimis, pada ranting-ranting

peradaban yang letih, pada angin yang berangkat ke semenanjung, pada ruang

kosong tanpa gema, pada paradoks takdir yang tak kunjung terselami, pada jalan

akal budi yang pernah menuntun kebangkitan jiwa pendahulu kami.

Pada suatu malam, kuharap engkau terjaga

membuka lembaran-lembaran lusuh ini. Goresan-goresan kecil

seorang penyintas sepi, yang merasa terasing dari zamannya, yang mengharap

dirinya engkau kenali.

Seorang paria paruh baya yang pernah menyusur pasar dan sudut-sudut kota,

namun tak menemukan seorangpun lawan bicara. Seorang bersahaja

yang tak mengenal algoritma pantun dan peribahasa, yang setia

menyunggi matahari di atas ubun-ubunnya setiap berangkat dan pulang kerja.

Seorang makhluk fana yang tak kalis dari kematian

namun cintanya pada kehidupan terlanjur mendalam.

Seserpih debu fana yang selalu mengharapkan

beredar bersama denyut jantung hati keabadian.

Kutuliskan semua ini untuk mengenang suatu zaman,

sekilas keberadaan kami yang begitu angkuh sekaligus rapuh,

sezarah ego yang akhirnya sia-sia memberhalakan diri.

Kutuliskan semua kesaksian ini, agar engkau setidaknya

punya referensi tentang apa itu sepi.

                                    Gambut, Maret 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun