Oleh: Abdullah Muntadhir
Berpaut rindu, membuat setiap manusia merasa berat menahannya. Saat berjuta kisah telah terukir dan harus ditinggalkan dengan tumpukan kenangan, disitulah rasa kangen dan rindu tumbuh subur. Ratih Purnamasari Al Madany, mahasiswi tingkat 4 di Al Azhar University. Ratih adalah gadis ayu nan lembut tutur katanya, berprestasi dan tak suka mengumbar pesona. Banyak golongan Baninmengetahui namanya, namun sangat jarang dapat menatap wajahnya atau bahkan tak pernah tahu siapa orangnya.
  Sudah 7 tahun, hari penantian yang seharusnya terjadi 3 tahun yang lalu kini terjadi, (Wisuda ). Linangan air mata tak dapat kering dari bola mata Ratih, ia teringat Ibunya, Ayahnya, Adiknya dan seluruh Sanak Keluarganya.
" Selamat Ra! akhirnya kita berhasil menuntaskan tugas! " Ucap fitri seraya memeluk Ratih.
Namun, tak ada rona ria dalam gerik tubuh Ratih.
"Ayolah Sayang! luapkan suka citamu, syukuri bersamaku! " kali ini mereka bertatapan.
"Aku belum bisa bahagia wahai sahabatku. Menjadi azhariyat salahsatu cita-citaku, namun ditinggal seluruh orang terkasihku merupakan pukulan terberat dalam hidupku " Â Ratih menatap sayu dan melimpahkan derai pilu, seakan bumi sedang dihujani kesedihan luarbiasa dari seorang gadis pecinta putri baginda Rasulillah, yakni Syaidah Fatimah Azzahra'.
***
Tepat di hari Jum'at Tanggal 28 September 2018, Indonesia dirundung duka dan musibah besar. Gempa dengan Magnitudo 7,5 disertai tsunami hebat menerjang kota Donggala dan sekitarnya. Memang, Allah telah merencanakan sesuatu yang tak diduga oleh Ratih. Seminggu sebelum acara yang sakral bagi seorang mahasiswi untuk dibaiat sebagai lulusan Al Azhar University dengan gelar Lc, menjadi suatu momen yang hambar untuk dirasakan. Ayah, Ibu, dan Keluarga merupakan hadiah nyata dari Allah untuk Ratih, namun tanpa harus disadari sepenuhnya, hadiah itu hanya sebuah titipan. Kini, Tuhan menginginkan mereka kembali.
Bagi seorang anak perempuan, sosok ayah sangat berguna dalam mempertegas pilihan putrinya. Saat Ratih mulai gundah dan letih dalam menuntut ilmu, ayah yang selalu menyemangati dan meyakinkan jiwanya.
"Ra, jangan takut tidak memiliki harta.Jangan kecil hati menjadi miskin. Jangan putus asa karena celaan orang.Ayah cukup senang memilikimu, kamu adalah harta yang kami miliki dan tetaplah teguh dalam niatmu, bawa ilmu sebanyak-banyaknya untuk bekal keluargamu. Jangan kamu berfikir selain itu"
Suara itulah yang menjadi cambuk untuk bangkit dan meneguhkan niat. Namun, suara ayah sudah tak bisa didengar lagi, kalimat tersebut adalah wejangan terakhir sekaligus menutup komunikasi antara keduanya melalui telepon genggam dan untuk selamanya.
Pernah disuatu saat yang lalu Ratih menderita sakit yang cukup lama, hingga membuat ia harus menunda tingkat 2 nya di Al Azhar. Melalui perjuangan yang tak mudah, Ratih menikmati hidup serba sulit kala itu. Anak perempuan satu-satunya yang berkelana paling jauh dibanding saudara-saudaranya, berada di Kairo dengan segudang ilmu di dalamnya tak lantas membuat ciut nyalinya untuk Menaklukkan Negeri Kinanah tersebut. Akhirnya, walaupun lulus tidak tepat waktu, Ratih telah mendapatkan banyak prestasi dan pengalaman.
***
Telah lama tidak pulang ke indonesia, tibalah waktu yang telah dijadwalkan oleh Ratih. Bulan januari 2019, tiket pesawat dari kairo menuju bandara mutiara SIS al Jufri, Palu, Sulawesi Tengah  sudah di tangan.
Pesawat telah membawa Ratih selepas kumandang maghrib waktu setempat. Kali ini Fitri hanya dapat melambaikan tangan di bawah badan pesawat yang telah melesat menjauhi dirinya. Perjalanan yang memakan waktu 21 jam lebih menyimpan rindu sekaligus ajang tafakkur yang hebat, bagaimana tidak! Manusia yang hanya sekecil itu tak akan mampu menahan gejolak alam yang maha luas.
Selepas beberapa jam mengudara dan dua kali transit di Abu Dhabi serta Jakarta, akhirnya pesawat menuju Palu.
"Assalamualaikum nak! Sudah sampai kah? " Suara  seorang ibu dari ujung telepon.  Akhirnya, Ratih memijakkan kaki di bumi palu.
"Wa'alaikumsalam bude, Alhamdulillah Ratih sudah sampai di bandara"
"Alhamdulillah... Bude sudah menunggu di depan"
"Iya bude" jawab Ratih seraya bergegas.
Cerahnya senyum mentari menyapa Ratih di balik sela-sela rongga lorong keluar bandara. Pukul 7.35 pagi, guratan langit masih biru-birunya. Angin menghembus lembut menerpa jilbab biru yang Ratih kenakan. Terdengar seseorang memanggil, Ratih sesekali memutar tubuhnya untuk memastikan asal suara itu.
"Ratih, kemari nak!"
"Iyaa". Ratih mengernyitkan dahi, bertanya dalam hatinya. Siapa dia? Perempuan setengah baya itu tak mampu dikenali Ratih. Terlihat ibu tua itu bersama seorang pemuda dewasa. Ratih berdiri terpaku di tempatnya.
"Nak! Aku bude zainab."
"Ya Allah bude. Maafkan Ratih bude" Seketika Ratih melapaskan koper dan tas dari genggamannya, berlari dan memeluk bude zainab. Sejatinya, bude zainab bukanlah keluarga dari ayah ataupun ibu Ratih. Hanyasaja sewaktu tahun ke dua di kairo, ayah Ratih pernah meminjam uang untuk pengobatan Ratih. Saat itulah Ratih mengenal bude zainab, walaupun hanya melalui telepon genggam. Bude zainab dan putranya terselamatkan dari bencana tsunami, karena pada saat itu mereka menunaikan ibadah umrah ke tanah suci. Bude zainab merupakan isteri seorang pengusaha sukses di Sulawesi.
"Mari nak Ratih mampir dulu ke rumah kami" Sembari memegang kedua bahu Ratih, Bude zainab menatap dengan binar cahaya keibuannya. Sekilas, bayangan ibu membayangi pandangan Ratih, menutup tubuh perempuan tua didepannya. Walau nafas sang ibu telah lesap digiring tsunami. Bersama Ayah dan sanak keluarganya.
"Tapi bude, bagaimana mungkin bude tahu aku datang ke palu hari ini?"
"Nanti bude jelaskan, sekarang ayo mampir dulu ke rumah" Sahut senyumnya meluruhkan hati Ratih.
Sekejap, barang-barang Ratih telah diringkus masuk kebagasi mobil. Pemuda berpakaian rapih itu mempersilakan mereka masuk ke mobil.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, menerobos jeruji rintik hujan yang mulai turun. Udara mulai menyejuk, namun tak seperti kala di Kairo, dinginnya sampai mencabik tulang. Gumpalan awan hitam terus menyelimuti perjalanan mereka. Suasana ini sangat percis seperti saat keluarga menghantarkan Ratih untuk terbang ke kairo, mendung dan gerimis menaburi jalanan. Sepanjang perjalanan, kaca bagian muka mobil mengibas ke kanan dan ke kiri seakan menolak basah.
Beberapa menit kemudian, mereka berhenti di sebuah pemukiman yang ramai.
"Ini adalah tempat tinggal bude sekarang" Tangan bude zainab menunjuk sebuah bilik yang tertutup oleh pintu yang kusam. Pandangan yang terpapar jelas, rumah kecil yang sederhana di sisi kiri ujung perjalanan mereka. Singkat cerita, seluruh harta yang tak mampu dibawa bude zainab ke Makkah telah lenyap ditelan ganasnya tsunami. Rumah mewah, belasan mobil dan seluruh harta sudah terlepas dari hak kepemilikannya, termasuk suami dan dua anak perempuannya.
Bude zainab menggandeng lengan kanan Ratih, menegaskan pada alam bahwa saat ini beliau memang sudah bukan orang berada.
Sejenak, seorang pemuda berpamitan setelah menuntaskan tugasnya. Tanpa pamrih atau mengharap balasan apa-apa, walaupun bude zainab sempat mengulurkan rupiah padanya. Dia hanya berucap :
"Buk, saya pamit dulu. Gak usah dibayar, semoga Allah menambah berkahnya saja di hari ini untuk keluarga kecil kami" kalimat tersebut seakan menghangatkan suasana, sekaligus menepis anggapan Ratih tentang pemuda itu, ternyata dia seorang sopir mobil online.
Setelah siang berganti malam, kemudian berjumpa dengan pagi lagi. Tidak ada obrolan penting yang mereka perbincangkan. Bude zainab sering keluar rumah, entah ke mana. Begitu dan begitu terus sampai 4 hari berlalu .Walaupun sepiring nasi dan gorengan selalu disiapkan olehnya sebelum pergi. Sedangkan Ratih masih letih, masih akrab dengan lelap. Menata diri dan beradaptasi sebelum menyadari dimensi yang asing. Kondisi rumah yang terbilang apa adanya sangat kontras dibanding tempat tinggal Ratih dan keluarganya saat itu, "Masih layak rumah Ayah di desa" Bathinnya menyimpulkan.
Usai shalat maghrib di mushola terdekat, barulah Ratih memperoleh sekelumit cerita tentang wanita tua tersebut.
***
"Bude?" Ratih menyapa. Selangkah usai ia memasuki rumah.
"iya"
"Jelaskan padaku, apa maksud bude mengajakku ke sini?" Tanya Ratih lirih dan sedikit berserak. Seperti berat menahan pedih. Mereka saling menatap, wajah bude zainab semakin mengerut.
"Sebelum terjadi tsunami yang lalu, ayahmu menelpon dan menjelaskan prihal pulangmu dari kairo. Tentunya, ayahmu juga berbicara tentang hutangnya kepadaku"
"Ayahku berhutang berapa bude?" Suaranya lemah, tersapu iluh yang mulai menetes. Wajahnya pucat.
"42 Juta" Jawabnya tak tega.
Ratih bergegas dan mengemas barang-barang miliknya untuk pergi. Ia tak tega melihat realita hidup wanita tua itu. Sementara itu, bude zainab meraih seteguk air putih di sampingnya yang tertunda tadi.
Bagi seorang ibu, buah hati adalah satu rasa dengannya walaupun memiliki nyawa yang berbeda. Begitupun seorang anak akan selalu menyayangi ibunya, tak wajar jikalau ada setitik benci diantara keduanya kecuali bagi manusia dengan racikan bumbu hidup yang tak seimbang.
Menurut penuturan warga, bude zainab sedang dalam masa sulit hingga membuat dirinya pontang-panting untuk melanjutkan hidup. Putra sematawayangnya kini dirawat di rumah sakit, biaya yang dibutuhkan ditaksir mencapai 30 an juta, sedang bude zainab mengais pundi koin dari buruh cuci, memilah sampah, hingga sesekali terlihat berdiam diri di samping lampu merah menurut keterangan salahseorang tetangga.
"Walaupun aku anak perempuan, segala bentuk rintangan harus kuhadapai dan kuselesaikan" Bisik Ratih dalam hati.
"Aku akan kembali bude" Mereka bertatapan, Ratih berusaha tegar sedangkan bude zainab seperti diselimuti ketidaktegaan. Ratih berjanji pada dirinya untuk membayar hutang ayahnya. Begitu besar perjuangan ayah untuk anaknya, walaupun terkadang seorang anak tidak jarang merasa putus asa. Ayah yang tak jemu mencarikan biaya, kita masih sejengkal melangkah sudah merasa lelah. Pulang adalah hadiah terbesar bagi keluarga dan orang-orang sekitar. Oleh-oleh yang akan abadi adalah ilmu yang kita dapat dari pengembaraan di gurun dan samudera ilmu. Maka, berangkat dengan uang dan pulang harus berjuang, terkhusus pada diri sendiri.
"Ratih?" Bude zainab memanggil dengan suara parau.
"Kamu sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di sini, Nak!" Air mata perempuan paruhbaya itu gugur bagai dedaunan kering yang disergap angin kencang. Tangan keriputnya merebut tangkai koper dari genggaman Ratih.
"Nak Ratih, Bude ikhlas tentang hutang itu. Biarlah sisa tua ini ku nikmati dengan banyak bersyukur. Dan bude merasa lebih tenang dengan hadirmu di sini, Nak. Â Syerly dan Mona tidak sempat mendapatkan pelajaran agama sepertimu, Allah sudah mengambilnya dariku. Bude sangat bersalah atas ketidaktahuan mereka terhadap islam, dulu bude mengedepankan harta hidupnya tanpa berfikir hidup setelahnya. Semua sudah terlanjur dan...." Ratih menyeka cerita yang menyayat hati itu dengan dekapannya. Keduanya larut dalam iba pada tuhan, terbuai dengan kasihsayang yang mulai mendamaikan malam. Mereka saling mengikat bagai ibu dan putrinya.
***
Dering toa menelisik dalam mimpi. Salam rindu yang terpendam 7 tahun lalu sudah terlepas. Ibu, Ayah dan sanak keluarga Ratih terlihat menyambut dan menyemangati Ratih. Ribuan mawar menampakkan kecantikannya, wangi dan eloknya membius mata yang memandang. Namun, diantara perbincangan Ratih dan ayah tercintanya terdengar lantunan ayat Al Qur'an.
Suara itu indah dan lembut menyapa kedua telinga Ratih. Tiba-tiba ia seperti terhempas dan terhenyak dari lelapnya.
"Astaghfirullah Ya Rab!" Kakinya gegas mengambil air wudlu, bersiap diri untuk shalat shubuh berjamaah.
Sungguh Allah sangat menyayangi hambaNya, Allah berikan jutaan nikmat dan perlindungan. Namun, uforia atas kenikmatan membuat manusia tenggelam dalam mengingat sang maha. Tak jarang, justru lautan dosa dengan rela diselami demi sebutir mutiara yang akhirnya menyia-nyiakan hidupnya sendiri. Allah memberi perintah ataupun larangan, pasti menguntungkan makhluknya. Lain halnya dengan kebijakan dengan segudang janji dari insan pengejar amanah, daya dan upaya manusia sangat terbatas. Tapi, Allah memiliki segala yang ada dan tidak ada. Dengan kehendak Allah, semua PASTI terjadi.
***
"Kak, ajari aku membaca Al Qur'an ya" pinta ilham pada Ratih.
"Iya, insya Allah. Tapi ilham harus sehat dulu ya"
"Ilham sudah sehatan kok, kak. Â Ayo!" ilham terus membujuk. Tiada raut sedih di wajahnya. Padahal, mereka barusaja bertemu sejam yang lalu. Selepas shalat subuh yang lalu, Ratih meluangkan waktu untuk menemani bude zainab menjenguk putranya.
Ilham Pratama, putra bungsu bude zainab yang ngeyel ingin ke Makkah dengan mengajak keluarganya, namun hanya ibunya yang tertarik ikut umroh menemani ilham.
Pagi itu, mereka hanyut dalam nada tilawah. Ratih menitah bacaan ilham dengan penuh kesabaran, beberapa kali remaja itu kesulitan melafalkan lafadznya, namun Ratih tetap telaten mengajarinya. Wajar saja, kegemaran beragama yang pemuda ini miliki telah menggebu tanpa arah. Belajar tanpa guru di hadapannya, meringkas banyak istilah dengan hati dan perasaannya sendiri melalui media masa dan tulis. Sungguh bagai memondong seikat kayu bakar diwaktu malam hari, dimana ada seekor ular berbisa berada diantara kayu tersebut yang siap mematuknya, sedang dia tak mengetahui. Proses belajar mengaji masih berlangsung, sedang bude zainab menyimak dengan bola mata yang berembun, kerut wajahnya berseri dibalik kerudung blusukan yang ia kenakan. Hijab putih yang menjadi buah kerinduan pada makkah al mukarromah saat itu.
Dikala hening mendengar ilham menuntun lidahnya membaca surat At-Takatsur (tentang bermegah-megahan), dua orang perawat memasuki kamar. Seorang perawat memasang Sfigmomanometer di lengan ilham dan seorang lagi menyiapkan obat-obatan dan makanan. Pemuda itu masih meneruskan bacaannya. Tidak disadari, waktu shalat dluhur masih menyisakan 30 menit lagi. Ratih dan bude zainab sepakat untuk melangkah ke mushola Rumah Sakit.
Seusai menuntaskan kewajiban shalat dluhur, bude zainab meninggalkan Ratih yang sedang bersama hafalan Al Qur'annya. Keindahan setiap bait ayat suci dapat mengikat hati dan menenangkan jiwa setiap pembacanya. Bagi orang tua, keberuntungan yang amat agung memiliki buah hati yang hafal Al Qur'an, karena kelak pada hari mahsyar akan dipakaikan jubah. Dan dipakaikan mahkota bak seorang raja bagi penghafalnya. Tak berselang lama, waktu ashar pun tiba. Segelintir jama'ah memasuki mushola, raut wajah yang sama, makna yang tunggal: Bahagia itu butuh sehat, termasuk kesehatan orang-orang yang disayangi.
***
Gelora senja kali ini sedikit senyap, tak berhawa segar seperti angin di luar sana. Sang rindu terkadang datang dan pergi tanpa alasan. Sepanjang lorong seakan hilang dari tatapan wajah Ratih, ia hanya mengingat kamar putra  bude zainab. Dari sudut kiri mata indahnya, ia melihat beberapa orang berpakaian putih berdiri menjejali pintu kamar ilham. Ratih berusaha masuk ke dalam bilik perawatan itu, bola matanya langsung memperdulikan ilham. Pemuda itu terlihat pulas dengan kitab suci di dadanya. Sedangkan, bude zainab tampak bersujud tanpa alas apapun. Seorang dokter menghampiri Ratih dan berkata :
"Ilham pratama sudah kembali kepangkuan tuhan. Berdoalah Semoga ia diterima di sisiNya"
Selembar sajadah dan mukena terlepas dari pelukan Ratih, jatuh berhamburan. Derai tangis yang tak kunjung berakhir, menggenang hingga membentuk parit-parit Pantai Talise. Tubuh bude zainab luruh tak berdaya, runtuh bersama jembatan Ponulele penghubung kota. Hanya bekal rohani yang tetap terus bersemayam bersama Arqam Baburrahman dan khazanah hidup di dalamnya. Perempuan tua itu bangkit dari sujudnya, memandang wajah gadis donggala yang kebas dengan peluhnya.
"Orang tuamu telah berhasil mendidik dan mengarahkan hidupmu, mereka pasti akan menuai limpahan nikmat di syurga. Walaupun bude tak mampu mendidik anak-anak sewaktu hidup, cukup sejumput sesal ini menyaksikan si bungsu dengan tenang menghadap Allah. Dan semoga keikhlasan ini membuka Ridlo Allah kepada anakku" Ratih mendengar kalimat mutiara tersebut dengan seksama, ia bersyukur atas semua kejadian yang telah berlalu. Setidaknya, Ayah dan Ibu sudah membekali Ratih dengan ilmu agama. Pasti orang tua sangat tenang di akhirat sana, tatkala yang ditinggalkan dapat mengalirkan do'a dan memintakan ampunan pada sang Maha.
***
Semua manusia pasti memiliki rasa rindu. Entah rindu itu yang memberatkannya atau malah karena rindu, semua lika-liku hidup menjadi berwarna.
"Kerinduan ini curang! selalu bertambah dan aku tak tahu bagaimana cara menguranginya. Seperti aku memandang keindahan sinarmu di malam ini, cahayamu membuatku tertegun. Namun, esok pagi kau hilang. Tapi, aku tetap yakin kau tetap ada di sana dan kita akan berjumpa lagi. Semoga Allah mengumpulkanku dengan putrimu!"Desis angin sedikit kalem, menemani seorang Gadis Donggala yang berdiam diri di tepi Pantai Talise. Berbicara pada pesona bulan, sinar yang sempurna di hiasi gemerlap bintang. Bagai keindahan perangai Baginda Nabi Muhammad Saw., ayahanda Syaidah Fatimah Azzahra' idola Ratih Purnamasari Al madany.
Seuntai senyuman, Ratih lambungkan ke langit, berusaha mengantarkan pesan terdalam lubuk hatinya. Mewakili seluruh penduduk Palu yang dirundung duka, pandangannya memusat pada langit malam di ujung keningnya. Ia tidak mau terpuruk lebih lama. Seraya mengucap:
"Bismillah, Kami bangkit!"
-Selesai-
Catatan:
Banin adalah mahasiswa (pelajar laki-laki).
Sfigmomanometer adalah alat ukur tekanan darah.
Pantai Talise adalah salahsatu objek wisata di kecamatan palu timur dan membentang hingga kabupaten Donggala.
Jembatan Ponulele adalah jembatan penghubung antara palu timur dan palu barat.
Arqam Baburrahman adalah masjid apung di kota palu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H