Mohon tunggu...
Abdullah Muntadhir
Abdullah Muntadhir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menatih jiwa dengan berkarya dan membuka hati untuk menggenggam dunia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pulang (Bismillah, Kami Bangkit)

22 Januari 2022   16:52 Diperbarui: 22 Januari 2022   16:59 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ratih, kemari nak!"

"Iyaa". Ratih mengernyitkan dahi, bertanya dalam hatinya. Siapa dia? Perempuan setengah baya itu tak mampu dikenali Ratih. Terlihat ibu tua itu bersama seorang pemuda dewasa. Ratih berdiri terpaku di tempatnya.

"Nak! Aku bude zainab."

"Ya Allah bude. Maafkan Ratih bude" Seketika Ratih melapaskan koper dan tas dari genggamannya, berlari dan memeluk bude zainab. Sejatinya, bude zainab bukanlah keluarga dari ayah ataupun ibu Ratih. Hanyasaja sewaktu tahun ke dua di kairo, ayah Ratih pernah meminjam uang untuk pengobatan Ratih. Saat itulah Ratih mengenal bude zainab, walaupun hanya melalui telepon genggam. Bude zainab dan putranya terselamatkan dari bencana tsunami, karena pada saat itu mereka menunaikan ibadah umrah ke tanah suci. Bude zainab merupakan isteri seorang pengusaha sukses di Sulawesi.

"Mari nak Ratih mampir dulu ke rumah kami" Sembari memegang kedua bahu Ratih, Bude zainab menatap dengan binar cahaya keibuannya. Sekilas, bayangan ibu membayangi pandangan Ratih, menutup tubuh perempuan tua didepannya. Walau nafas sang ibu telah lesap digiring tsunami. Bersama Ayah dan sanak keluarganya.

"Tapi bude, bagaimana mungkin bude tahu aku datang ke palu hari ini?"

"Nanti bude jelaskan, sekarang ayo mampir dulu ke rumah" Sahut senyumnya meluruhkan hati Ratih.

Sekejap, barang-barang Ratih telah diringkus masuk kebagasi mobil. Pemuda berpakaian rapih itu mempersilakan mereka masuk ke mobil.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang, menerobos jeruji rintik hujan yang mulai turun. Udara mulai menyejuk, namun tak seperti kala di Kairo, dinginnya sampai mencabik tulang. Gumpalan awan hitam terus menyelimuti perjalanan mereka. Suasana ini sangat percis seperti saat keluarga menghantarkan Ratih untuk terbang ke kairo, mendung dan gerimis menaburi jalanan. Sepanjang perjalanan, kaca bagian muka mobil mengibas ke kanan dan ke kiri seakan menolak basah.

Beberapa menit kemudian, mereka berhenti di sebuah pemukiman yang ramai.

"Ini adalah tempat tinggal bude sekarang" Tangan bude zainab menunjuk sebuah bilik yang tertutup oleh pintu yang kusam. Pandangan yang terpapar jelas, rumah kecil yang sederhana di sisi kiri ujung perjalanan mereka. Singkat cerita, seluruh harta yang tak mampu dibawa bude zainab ke Makkah telah lenyap ditelan ganasnya tsunami. Rumah mewah, belasan mobil dan seluruh harta sudah terlepas dari hak kepemilikannya, termasuk suami dan dua anak perempuannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun