Bude zainab menggandeng lengan kanan Ratih, menegaskan pada alam bahwa saat ini beliau memang sudah bukan orang berada.
Sejenak, seorang pemuda berpamitan setelah menuntaskan tugasnya. Tanpa pamrih atau mengharap balasan apa-apa, walaupun bude zainab sempat mengulurkan rupiah padanya. Dia hanya berucap :
"Buk, saya pamit dulu. Gak usah dibayar, semoga Allah menambah berkahnya saja di hari ini untuk keluarga kecil kami" kalimat tersebut seakan menghangatkan suasana, sekaligus menepis anggapan Ratih tentang pemuda itu, ternyata dia seorang sopir mobil online.
Setelah siang berganti malam, kemudian berjumpa dengan pagi lagi. Tidak ada obrolan penting yang mereka perbincangkan. Bude zainab sering keluar rumah, entah ke mana. Begitu dan begitu terus sampai 4 hari berlalu .Walaupun sepiring nasi dan gorengan selalu disiapkan olehnya sebelum pergi. Sedangkan Ratih masih letih, masih akrab dengan lelap. Menata diri dan beradaptasi sebelum menyadari dimensi yang asing. Kondisi rumah yang terbilang apa adanya sangat kontras dibanding tempat tinggal Ratih dan keluarganya saat itu, "Masih layak rumah Ayah di desa" Bathinnya menyimpulkan.
Usai shalat maghrib di mushola terdekat, barulah Ratih memperoleh sekelumit cerita tentang wanita tua tersebut.
***
"Bude?" Ratih menyapa. Selangkah usai ia memasuki rumah.
"iya"
"Jelaskan padaku, apa maksud bude mengajakku ke sini?" Tanya Ratih lirih dan sedikit berserak. Seperti berat menahan pedih. Mereka saling menatap, wajah bude zainab semakin mengerut.
"Sebelum terjadi tsunami yang lalu, ayahmu menelpon dan menjelaskan prihal pulangmu dari kairo. Tentunya, ayahmu juga berbicara tentang hutangnya kepadaku"
"Ayahku berhutang berapa bude?" Suaranya lemah, tersapu iluh yang mulai menetes. Wajahnya pucat.