Mohon tunggu...
Abdullah Muntadhir
Abdullah Muntadhir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menatih jiwa dengan berkarya dan membuka hati untuk menggenggam dunia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pulang (Bismillah, Kami Bangkit)

22 Januari 2022   16:52 Diperbarui: 22 Januari 2022   16:59 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

***

Gelora senja kali ini sedikit senyap, tak berhawa segar seperti angin di luar sana. Sang rindu terkadang datang dan pergi tanpa alasan. Sepanjang lorong seakan hilang dari tatapan wajah Ratih, ia hanya mengingat kamar putra  bude zainab. Dari sudut kiri mata indahnya, ia melihat beberapa orang berpakaian putih berdiri menjejali pintu kamar ilham. Ratih berusaha masuk ke dalam bilik perawatan itu, bola matanya langsung memperdulikan ilham. Pemuda itu terlihat pulas dengan kitab suci di dadanya. Sedangkan, bude zainab tampak bersujud tanpa alas apapun. Seorang dokter menghampiri Ratih dan berkata :

"Ilham pratama sudah kembali kepangkuan tuhan. Berdoalah Semoga ia diterima di sisiNya"

Selembar sajadah dan mukena terlepas dari pelukan Ratih, jatuh berhamburan. Derai tangis yang tak kunjung berakhir, menggenang hingga membentuk parit-parit Pantai Talise. Tubuh bude zainab luruh tak berdaya, runtuh bersama jembatan Ponulele penghubung kota. Hanya bekal rohani yang tetap terus bersemayam bersama Arqam Baburrahman dan khazanah hidup di dalamnya. Perempuan tua itu bangkit dari sujudnya, memandang wajah gadis donggala yang kebas dengan peluhnya.

"Orang tuamu telah berhasil mendidik dan mengarahkan hidupmu, mereka pasti akan menuai limpahan nikmat di syurga. Walaupun bude tak mampu mendidik anak-anak sewaktu hidup, cukup sejumput sesal ini menyaksikan si bungsu dengan tenang menghadap Allah. Dan semoga keikhlasan ini membuka Ridlo Allah kepada anakku" Ratih mendengar kalimat mutiara tersebut dengan seksama, ia bersyukur atas semua kejadian yang telah berlalu. Setidaknya, Ayah dan Ibu sudah membekali Ratih dengan ilmu agama. Pasti orang tua sangat tenang di akhirat sana, tatkala yang ditinggalkan dapat mengalirkan do'a dan memintakan ampunan pada sang Maha.

***

Semua manusia pasti memiliki rasa rindu. Entah rindu itu yang memberatkannya atau malah karena rindu, semua lika-liku hidup menjadi berwarna.

"Kerinduan ini curang! selalu bertambah dan aku tak tahu bagaimana cara menguranginya. Seperti aku memandang keindahan sinarmu di malam ini, cahayamu membuatku tertegun. Namun, esok pagi kau hilang. Tapi, aku tetap yakin kau tetap ada di sana dan kita akan berjumpa lagi. Semoga Allah mengumpulkanku dengan putrimu!"Desis angin sedikit kalem, menemani seorang Gadis Donggala yang berdiam diri di tepi Pantai Talise. Berbicara pada pesona bulan, sinar yang sempurna di hiasi gemerlap bintang. Bagai keindahan perangai Baginda Nabi Muhammad Saw., ayahanda Syaidah Fatimah Azzahra' idola Ratih Purnamasari Al madany.

Seuntai senyuman, Ratih lambungkan ke langit, berusaha mengantarkan pesan terdalam lubuk hatinya. Mewakili seluruh penduduk Palu yang dirundung duka, pandangannya memusat pada langit malam di ujung keningnya. Ia tidak mau terpuruk lebih lama. Seraya mengucap:

"Bismillah, Kami bangkit!"

-Selesai-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun