Oleh : Abdul Hakim
Tema : Keislaman dan Kebangsaan
Seperti yang kita semua ketahui bahwasannya bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa, bahasa, budaya, dan agama. Dalam keadaan yang demikian ini diperlukan rasa persatuan dan kesatuan yang kuat antar sesama bangsa Indonesia, khususnya dalam hal agama diperlukan apa yang disebut dengan toleransi.Makna toleransi mempunyai peran yang sangat besar terhadap rasa nasionalisme dan kebangsaan dalam diri bangsa Indonesia. Namun, dikarenakan kita sebagai umat Muslim, maka makna toleransi dalam agama kita, yaitu agama Islam yang harus kita junjung tinggi dalam menjalankan apa yang kita sebut toleransi dalam makna Islam di kehidupan sehari-hari.
Agama kita, yaitu Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi keadilan. Keadilan bagi siapa saja, yaitu menempatkan sesuatu sesuai tempatnya dan memberikan hak sesuai dengan haknya. Begitu juga dengan toleransi dalam hal beragama. Menghadapi bangsa Indonesia yang majemuk, khususnya dalam hal agama, agama Islam melarang keras berbuat dhalim dengan agama selain Islam dengan merampas hak-hak mereka, hal ini sesuai dengan firman Allah SWT, yaitu:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya: “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.S. Al-Mumtahah ayat 8).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah menafsirkan dari ayat di atas bahwasannya Allah tidak melarang kita (umat Islam) dalam berbuat baik, menyambung silaturrahmi, membalas kebaikan, berbuat adil kepada orang-orang di luar Islam, baik dari keluarga kita maupun orang lain. Selama mereka (umat beragama selain Islam) tidak memerangi kita karena agama dan selama mereka tidak mengusir kita dari negeri kita, yaitu Indonesia, maka tidak mengapa kita menjalin hubungan yang baik dengan mereka, karena menjalin hubungan dengan mereka dalam keadaan seperti ini tidak ada larangan dan tidak ada kerusakan di dalamnya. Hal ini jika kita korelasikan dengan keadaan bangsa Indonesia saat ini, bahwasannya bangsa Indonesia walaupun masyarakatnya majemuk, tidak ada yang serta merta memerangi kita umat Islam secara terang-terangan dan tidak ada pula pengusiran secara jelas terhadap kita umat Muslim Indonesia dari orang-orang non Muslim.
Akan tetapi toleransi yang dimaksud oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullahdi atas adalah dalam hal berhubungan dengan sesama manusia atau hubungan sosial (hablu min nas) dan bukan dalam hal agama. Toleransi dalam makna agama Islam ada batasnya dan tidak boleh kebablasan terhadap orang-orang non Muslim atau orang-orang yang beragama lain selain Islam. Kita sebagai umat Islam tidak boleh semisal mengucapkan “selamat natal” dan menghadiri acara ibadah atau ritual agama lainnya. Karena jika sudah urusan agama, kita harus lebih mengenal batasan-batasan dalam toleransi itu sendiri.
Jika kita melihat fenomena dari bangsa kita, yaitu bangsa Indonesia, maka kita akan menemukan banyak fenomena-fenomena dalam hal toleransi di bidang agama yang kebablasan atau keterlaluan. Seperti halnya ketika hari raya Natal sebagian besar dari masyarakat Indonesia merayakan hari besar umat Nasrani tersebut, sampai pada memakai atribut-atribut umat Kristiani, seperti halnya topi natal, pohon natal, baju Santa, hingga jenggot Santa. Namun anehnya, banyak yang kita jumpai masyarakat Indonesia yang memakai atribut-atribut kaum Nasrani tersebut bukan hanya masyarakat yang berasal dari agama Nasrani saja, namun juga orang-orang yang berasal dari agama Islam.
Kita tidak tahu, apakah ini makna tolerasi yang diajarkan di dunia pendidikan di tempat kita atau karena keberhasilan konspirasi non Muslim terhadap umat Islam. Kondisi semacam ini menandakan betapa kaum Muslimin telah berubah menjadi umat yang tanpa jati diri. Sampai atribut-atribut agama lainpun dibanggakan.
Barangkali inilah kejadian yang telah diingatkan oleh Rasulullah SAW tentang kondisi umat Islam di akhir zaman. Kita sebagai umat Islam menjadi manusia yang labil dan mudah meniru umat lain. Dari Abu Said al-Khudri RA, Rasulullah SAW bersabda:
لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ. قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
Artinya: “Sungguh kalian (umat Islam) akan mengikuti kaum sebelum kalian, sama persis seperti jengkal kanan dengan jengkal kiri atau seperti hasta kanan dengan hasta kiri. Hingga andai mereka masuk ke lubang biawak gurun, kalianpun akan mengikuti mereka. Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah yang Anda maksud orang Yahudi dan Nasrani?’ Jawab beliau, ‘Siapa lagi (kalau bukan mereka)’.” (H.R. Bukhari ke 7320 dan Muslim ke 6952).
Semua masyarakat Indonesia setidaknya pernah belajar pendidikan pancasila dan kewarganegaraan, yang memahami bahwa makna tolerasi bukanlah mengikuti ajaran agama lain. Bukan pula memasang atribut-atribut agama lain, yang bukan agamanya. Karena kita semua mengetahui, bahwasannya memasang atribut milik agama lain, tidak ubahnya membanggakan simbol agama itu, dan itu bagian dari bentuk turut serta terhadap peribadatan agama lain.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sikap toleransi diterjemahkan sebagai sikap menenggang (menghargai, membiarkan, atau membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan lain sebagainya) yang berbeda dengan pendirian kita sendiri. Kita memberikan toleransi terhadap agama lain, berarti kita membiarkan penganut agama lain untuk menjalankan aktivitas agama mereka.
Perez (2003), dalam bukunya How the Idea of Religious Toleration Came to the West memberi batas toleransi sebagai sikap menghormati keberadaan agama atau kepercayaan lainnya yang berbeda. Jadi sekarang kita sudah menemukan inti makna toleransi yang kita kenal juga di dalam agama kita, yaitu agama Islam, maknanya adalah membiarkan, menghormati, dan tidak mengganggu penganut agama lain.
Sebagai contoh di Bali, muslimah tidak diperbolehkan berjilbab, lembaga keuangan syariah diganggu gugat keberadaannya, karyawan muslim kurang mendapatkan keleluasaan dalam beribadah, di Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT) keberadaan masjid digugat dan dipertanyakan, sedangkan untuk mendirikan masjid baru prosedurnya sangat dipersulit. Dari sini kita mengetahui bahwasannya di daerah yang Muslim minoritas, kepentingan orang Islam sering dijadikan “korban” dari penganut agama lain. Hal inikah yang disebut sebagai makna toleransi yang kita semua ketahui?
Mereka (kaum di luar Islam) memaksa kaum Muslimin untuk melakukan toleransi menurut makna mereka, namun di saat yang sama, mereka meluapkan sikap sentimen atau ketidaksukaan terhadap agama Islam dan penganut-penganutnya. Mereka seringkali mengajak kita untuk mengenakan topi santa, memasang pohon natal, dan bagi-bagi ucapan selamat natal, sementara di saat yang sama, mereka mengajak kita sebagai umat Islam melepaskan atribut Islam dari diri kita sendiri.
Jika saja tidak terdapat konsekuensi buruk terhadap perbuatan semacam ini, mungkin masalahnya lebih ringan. Namun kenyataannya tidak demikian, karena Rasulullah SAW memberi peringatan bagi orang yang tasyabuh (meniru) tradisi agama lain. Nabi Muhammad SAW bersabda:
مَنْ تَشَبَهُ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Artinya: “Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (H.R. Abu Daud ke 4033).
Terdapat beberapa bukti konkrit terkait dengan makna toleransi menurut batasan dan ajaran Islam seperti yang diajarkan oleh Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW yang ternyata di dalamnya mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dari umat Islam kepada orang-orang non Islam, diantaranya yaitu:
1. Ajaran berbuat baik terhadap tetangga meskipun non Muslim
Berikut ini teladan dari salafus shalih (orang-orang shalih sejak pada zaman Nabi Muhammad SAW) dalam berbuat baik terhadap tetangganya yang Yahudi. Beliau adalah seorang tabi’in dan beliau adalah ahli tafsir, yaitu Imam Mujahid, beliau berkata, “Saya pernah berada di sisi Abdullah bin ‘Amru sedangkan pembantunya sedang memotong kambing. Dia lalu berkata:
ياَ غُلاَمُ! إِذَا فَرَغْتَ فَابْدَأْ بِجَارِنَا الْيَهُوْدِي
Artinya: “Wahai pembantu! Jika Anda telah selesai (menyembelihnya), maka bagilah dengan memulai dari tetangga Yahudi kita terlebih dahulu.”
Lalu ada salah seorang di antaranya yang berkata:
آليَهُوْدِي أَصْلَحَكَ اللهُ؟!
Artinya: ”(Kenapa engkau memberikannya) kepada Yahudi? Semoga Allah memperbaiki kondisimu.”
Abdullah bin ’Amru lalu berkata:
إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوْصِي بِالْجَارِ، حَتَّى خَشَيْنَا أَوْ رُؤِيْنَا
أَنَّهُ سَيُوّرِّثُهُ
Artinya: Saya mendengar Rasulullah SAW berwasiat terhadap tetangga sampai kami khawatir kalau beliau akan menetapkan hak waris kepadanya.”
2. Bermuamalah yang baik dan tidak boleh dhalim terhadap keluarga dan kerabat meskipun non muslim
Kita dapat mengambil contoh pada ayat yang menjelaskan ketika orang tua kita bukan orang Islam, maka kita yang Muslim tetap harus berbuat baik dan berbakti kepada mereka dalam hal muamalah atau hubungan sosial humanis antar sesama manusia. Allah SWT berfirman:
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
Artinya: ”Dan jika keduanya (orang tua) memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (Q.S. Luqman ayat 15).
3. Islam melarang keras membunuh orang-orang non Muslim kecuali jika mereka memerangi kaum Muslimin
Dalam agama Islam orang kafir yang boleh dibunuh adalah orang kafir harbi, yaitu kafir yang memerangi kaum Muslimin. Selain itu semisal orang kafir yang mendapat suaka (perlindungan) atau ada perjanjian dengan kaum Muslimin untuk hidup dengan cara damai, semisal kafir dzimmi, kafir musta’man, dan kafir mu’ahad maka dilarang keras untuk dibunuh. Jika melanggar maka ancamannya sangat keras, hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW, yaitu:
مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَجِدْ رِيحَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
Artinya: “Barangsiapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (H.R. An-Nasa’i).
4. Adil dalam hukum dan peradilan terhadap non Muslim
Contohnya adalah ketika sahabat Nabi Muhammad, yaitu Umar bin Khattab RA membebaskan dan menaklukkan Yerussalem di Palestina. Beliau menjamin warganya agar tetap bebas memeluk agama dan membawa salib mereka. Umar tidak memaksakan mereka memeluk Islam dan menghalangi mereka untuk beribadah, asalkan mereka tetap membayar pajak kepada pemerintah Muslim. Hal ini sangat jauh berbeda ketika bangsa dan agama lain mengusai, faktanya seperti yang kita ketahui bersama, mereka (orang-orang non Muslim) menghalalkan segala cara dan justru berbuat tidak adil serta mereka melakukan pembantaian.
Umar bin Khattab juga memberikan kebebasan dan memberikan hak-hak hukum dan perlindungan kepada penduduk Yerussalem walaupun mereka non Muslim.
5. Islam mengajarkan menolong siapa saja, baik orang miskin maupun orang yang sakit.
Hal ini sesuai dengan hadits riwayat dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda:
فِى كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ
Artinya: “Menolong orang sakit yang masih hidup akan mendapatkan ganjaran pahala.” (H.R. Bukhari ke 2363 dan Muslim ke 2244).
Kita dapat melihat dari hadits di atas bahwasannya Islam merupakan agama yang peduli terhadap sesama manusia. Sebagai bentuk hubungan hablu min nas atau muamalah secara sosial humaniora maka kita sebagai umat Islam diharuskan membantu terhadap sesama kita yang kesusahan, bahkan terhadap orang-orang di luar Islam. Hal ini adalah seperti halnya menjenguk tetangga atau teman yang sakit dan membantu meringankan masalah ekonomi mereka.
6. Boleh memberi hadiah pada non Muslim
Hal ini dapat dilakukan dengan tujuan untuk membuat mereka (orang-orang non Muslim) tertarik pada agama Islam atau ingin mendakwahi mereka atau ingin supaya mereka tidak menyakiti kaum Muslimin. Sehingga nantinya tercipta suatu relasi atau hubungan antara kita sebagai umat Islam dengan orang-orang di luar Islam. Dari salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, yaitu Ibnu Umar RA, beliau berkata:
رَأَى عُمَرُ حُلَّةً عَلَى رَجُلٍ تُبَاعُ فَقَالَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ابْتَعْ هَذِهِ الْحُلَّةَ تَلْبَسْهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَإِذَا جَاءَكَ الْوَفْدُ . فَقَالَ « إِنَّمَا يَلْبَسُ هَذَا مَنْ لاَ
خَلاَقَ لَهُ فِى الآخِرَةِ » . فَأُتِىَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مِنْهَا بِحُلَلٍ فَأَرْسَلَ إِلَى عُمَرَ مِنْهَا بِحُلَّةٍ . فَقَالَ عُمَرُ كَيْفَ أَلْبَسُهَا وَقَدْ قُلْتَ فِيهَا مَا قُلْتَ
قَالَ « إِنِّى لَمْ أَكْسُكَهَا لِتَلْبَسَهَا ، تَبِيعُهَا أَوْ تَكْسُوهَا » . فَأَرْسَلَ بِهَا عُمَرُ إِلَى
أَخٍ لَهُ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ قَبْلَ أَنْ يُسْلِمَ
Artinya: “Umar pernah melihat pakaian yang dibeli seseorang lalu ia pun berkata pada Nabi SAW, ‘Belilah pakaian seperti ini, kenakanlah ia pada hari Jumat dan ketika ada tamu yang mendatangimu.’ Nabi SAW berkata, ‘Sesungguhnya yang mengenakan pakaian semacam ini tidak akan mendapatkan bagian sedikit pun di akhirat.’ Kemudian Rasulullah SAW didatangkan beberapa pakaian dan beliau pun memberikan sebagiannya pada Umar. Umar pun berkata, ‘Mengapa aku diperbolehkan memakainya sedangkan engkau tadi mengatakan bahwa mengenakan pakaian seperti ini tidak akan dapat bagian di akhirat?’ Nabi SAW menjawab, ‘Aku tidak mau mengenakan pakaian ini agar engkau bisa mengenakannya. Jika engkau tidak mau, maka engkau jual saja atau tetap mengenakannya.’ Kemudian Umar menyerahkan pakaian tersebut kepada saudaranya di Mekkah sebelum saudaranya tersebut masuk Islam. (H.R. Bukhari ke 2619).
Lihatlah contoh dari sahabat mulia Umar bin Khattab yang masih berbuat baik dengan memberi pakaian pada saudaranya yang non Muslim di kota Mekkah sebagai rangka dalam mengenalkan tentang Islam terhadap saudaranya tersebut sehingga dengan tujuan dapat tertarik dan mau mempelajari tentang agama Islam.
Toleransi yang ada dan berkembang di masyarakat saat ini sebenarnya ditawarkan dari orang-orang non Muslim. Mereka sengaja memberi selamat kepada kita di saat hari raya atau Idul Fitri, dengan tujuan nantinya kita juga mengucapkan selamat kepada mereka. Jika kita menelusuri dari sejarahnya prinsip toleransi yang demikian sudah ditawarkan oleh kafir Quraisy pada Nabi Muhammad SAW di masa silam. Ketika Al-Walid bin Mughirah, Al-‘Ash bin Wail, Al-Aswad Ibnul Muthallib, dan Umayyah bin Khalaf menemui Nabi Muhammad, mereka menawarkan pada beliau:
يا محمد ، هلم فلنعبد ما تعبد ، وتعبد ما نعبد ، ونشترك نحن وأنت في أمرنا كله ، فإن كان الذي جئت به خيرا مما بأيدينا ، كنا قد شاركناك فيه ، وأخذنا بحظنا منه . وإن كان الذي بأيدينا خيرا مما بيدك ، كنت قد شركتنا في أمرنا ، وأخذت بحظك منه
Artinya: “Wahai Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (Muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” (Tafsir Al-Qurthubi, 14: 425).
Seperti itulah prinsip toleransi yang digelontorkan oleh kafir Quraisy di masa silam yang telah ada bahkan sejak zaman Nabi Muhammad SAW, sehingga Allah SWT pun menurunkan ayat:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Artinya:”Katakanlah (wahai Muhammad) kepada orang-orang kafir, hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.” (Q.S. Al-Kafirun ayat 1-6).
Jadi jika kita korelasikan antara prinsip kafir Quraisy tersebut di atas jangan heran, jika non Muslim sengaja memberi ucapan selamat pada perayaan Idul Fitri yang kita rayakan. Itu semua bertujuan supaya kita bisa membalas ucapan selamat di perayaan Natal mereka.
Jadi pada intinya makna toleransi secara Islam adalah dengan cara membiarkan orang-orang non Islam menjalankan ibadah dan merayakan hari-hari besar mereka, tanpa kita umat Islam mengganggu atau mengusiknya. Kita diperbolehkan untuk saling membantu dan bergaul dengan baik terhadap orang-orang non Muslim, namun bukan dalam hal ibadah melainkan dalam hubungan muamalah secara sosial humanis.
Kita seharusnya bersyukur dapat hidup di negara Indonesia ini, negara ini diliputi kedamaian di dalamnya, walaupun terdapat beberapa masalah terkait dengan berbagai sektor dalam kehidupan, seperti halnya sektor ekonomi, budaya, politik, dan bahkan agama. Namun semua masalah tersebut dapat diatasi dengan adanya hukum yang berlaku tegas di negara ini, oleh karena itu hukum yang tegas harus ditegakkan kepada siapa saja tanpa terkecuali.
Kita harus kembali kepada makna toleransi yang diajarkan oleh Allah SWT dan Rasullullah SAW secara Islami, karena kita sebagai umat Muslim sudah seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai Islam di dalamnya. Fakta yang ada memang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia yang mejemuk masih mudah terpengaruh oleh perayaan-perayaan agama lain, sehingga ikut masuk di dalamnya yang sebenarnya hal itu tidaklah diperbolehkan oleh agama kita, yaitu agama Islam. Oleh karena itu diperlukan kegiatan-kegiatan kegamaan yang berupaya untuk menguatkan akidah Islam sehingga menjadi kokoh di seluruh bagian wilayah negara Indonesia. Sehingga nantinya bangsa Indonesia yang majemuk menjadi bangsa Indonesia dengan umat Islam yang memiliki jati diri di dalamnya, dengan tujuan menjadi kaum Muslimin yang dapat membanggakan ajaran-ajaran agamanya dan tidak terpengaruh oleh ajaran agama lainnya.
Semoga artikel ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan kita terkait dengan keislaman dan kebangsaan di negara ini. Sehingga nantinya dapat memhami secara lebih mendalam tentang makna toleransi di tengah-tengah keadaan bangsa Indonesia yang sifatnya majemuk.
Ditulis oleh: Abdul Hakim
Kelas: ES4
Jurusan: Ekonomi Syariah
Fakultas: Ekonomi dan Bisnis Islam
IAIN Jember.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H