لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ. قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
Artinya: “Sungguh kalian (umat Islam) akan mengikuti kaum sebelum kalian, sama persis seperti jengkal kanan dengan jengkal kiri atau seperti hasta kanan dengan hasta kiri. Hingga andai mereka masuk ke lubang biawak gurun, kalianpun akan mengikuti mereka. Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah yang Anda maksud orang Yahudi dan Nasrani?’ Jawab beliau, ‘Siapa lagi (kalau bukan mereka)’.” (H.R. Bukhari ke 7320 dan Muslim ke 6952).
Semua masyarakat Indonesia setidaknya pernah belajar pendidikan pancasila dan kewarganegaraan, yang memahami bahwa makna tolerasi bukanlah mengikuti ajaran agama lain. Bukan pula memasang atribut-atribut agama lain, yang bukan agamanya. Karena kita semua mengetahui, bahwasannya memasang atribut milik agama lain, tidak ubahnya membanggakan simbol agama itu, dan itu bagian dari bentuk turut serta terhadap peribadatan agama lain.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sikap toleransi diterjemahkan sebagai sikap menenggang (menghargai, membiarkan, atau membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan lain sebagainya) yang berbeda dengan pendirian kita sendiri. Kita memberikan toleransi terhadap agama lain, berarti kita membiarkan penganut agama lain untuk menjalankan aktivitas agama mereka.
Perez (2003), dalam bukunya How the Idea of Religious Toleration Came to the West memberi batas toleransi sebagai sikap menghormati keberadaan agama atau kepercayaan lainnya yang berbeda. Jadi sekarang kita sudah menemukan inti makna toleransi yang kita kenal juga di dalam agama kita, yaitu agama Islam, maknanya adalah membiarkan, menghormati, dan tidak mengganggu penganut agama lain.
Sebagai contoh di Bali, muslimah tidak diperbolehkan berjilbab, lembaga keuangan syariah diganggu gugat keberadaannya, karyawan muslim kurang mendapatkan keleluasaan dalam beribadah, di Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT) keberadaan masjid digugat dan dipertanyakan, sedangkan untuk mendirikan masjid baru prosedurnya sangat dipersulit. Dari sini kita mengetahui bahwasannya di daerah yang Muslim minoritas, kepentingan orang Islam sering dijadikan “korban” dari penganut agama lain. Hal inikah yang disebut sebagai makna toleransi yang kita semua ketahui?
Mereka (kaum di luar Islam) memaksa kaum Muslimin untuk melakukan toleransi menurut makna mereka, namun di saat yang sama, mereka meluapkan sikap sentimen atau ketidaksukaan terhadap agama Islam dan penganut-penganutnya. Mereka seringkali mengajak kita untuk mengenakan topi santa, memasang pohon natal, dan bagi-bagi ucapan selamat natal, sementara di saat yang sama, mereka mengajak kita sebagai umat Islam melepaskan atribut Islam dari diri kita sendiri.
Jika saja tidak terdapat konsekuensi buruk terhadap perbuatan semacam ini, mungkin masalahnya lebih ringan. Namun kenyataannya tidak demikian, karena Rasulullah SAW memberi peringatan bagi orang yang tasyabuh (meniru) tradisi agama lain. Nabi Muhammad SAW bersabda:
مَنْ تَشَبَهُ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Artinya: “Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (H.R. Abu Daud ke 4033).
Terdapat beberapa bukti konkrit terkait dengan makna toleransi menurut batasan dan ajaran Islam seperti yang diajarkan oleh Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW yang ternyata di dalamnya mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dari umat Islam kepada orang-orang non Islam, diantaranya yaitu: