"Mengerti!" jawab santri.
"Zina itu dosa besar, Nak!" Beliau tampak lebih serius sekarang. "Di dalam Alqur'an, surat Al-Isra ayat 32, jelas ada ayatnya; Jangan sekali-kali mendekati zina!"
Situasi menjadi hening. Hanya gema suara sang Ustadz yang berbunyi nyaring seantero masjid. "Di dalam hadits juga jelas perintahnya; Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah kalian ber-khalwat (berdua-duaan) dengan seorang wanita (yang bukan mahram)," papar beliau.
Kini, sang Ustad menatap Ilham. "Ilham, Jangan kamu ulangi lagi. Kalau sampai kamu surat-suratan lagi dengan santriwati, Ustadz tidak akan segan mengembalikan kamu ke orang tua kamu. Kalau mau pacaran, silahkan sekolah di luar! Jangan di sini!"
"Ustadz percaya, tidak semuanya seperti Ilham. Masih banyak dari kalian yang mengindahkan aturan-aturan pondok. Mohon maaf, Ustadz mengambil waktu kalian, Nak. Semata-mata, ini semua demi kebaikan kalian juga."
Beliau melanjutkan pesannya, "Sehabis ini, kalian boleh bubar. Untuk Ilham, kamu datang ke majelis pengasuhan, kamu akan menerima sanksi dibotak."
"Wassalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barokatuh." Beliau membubarkan perkumpulan.
Setelahnya, kami para santri kembali ke asrama. Di asrama, insiden surat milik Ilham menjadi buah bibir. Teman asramaku, Hengki, mengutarakan sikap tidak setuju tentang penghukuman tadi; dipermalukan di hadapan santri seangkatan.
Aku dan Hengki duduk santai di teras asrama bersama angin malam yang sejuk. Kami mengenakan sarung dan kaos oblong.Â
Hengki tampak sangat jengkel dengan perkumpulan tadi. Bahkan, aku sedikit terkejut saat ia mengeluh kepadaku secara tiba-tiba. "Kenapa pacaran dilarang, sih? Padahal, pacaran di pondok itu cuma surat-suratan. Kalo pacar sakit, dikasih susu sama roti. Terus kalo ketemuan pun, cuma bisa ngobrol berjarak satu meter, itu juga gak nyampe satu menit karena takut ketahuan."
"Ya, tergantung definisi pacaran itu dulu sih. Ustadz-nya punya definisi lain tentang pacaran, mungkin." Aku tersenyum menanggapi Hengki.