Mohon tunggu...
Aziz Baskoro Abas
Aziz Baskoro Abas Mohon Tunggu... Freelancer - Tukang Nulis

Doyan Nulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Diary Santri VIII: Ketahuan Pacaran Dengan Santriwati

22 Februari 2021   11:33 Diperbarui: 22 Februari 2021   11:47 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: getwallpapers.com

Seorang Ustadz senior memberi instruksi secara mendadak kepada seluruh santri kelas 2 Aliyah (2 SMA) untuk berkumpul setelah prosesi salat Isya berjamaah.

Kami, santri kelas 2 Aliyah, termasuk aku, mengindahkan instruksi sang Ustadz. Kami duduk rapi di teras masjid. Sedangkan sang Ustadz berdiri, sudah bersikap siap di hadapan kami.

Dipamerkannya selembar surat oleh Sang Ustadz ke hadapan santri. Aku belum tau itu surat apa.

Sang Ustdadz bertanya, "Nak, kalian mondok di sini untuk apa?"

"Mencari ilmu!" jawab para santri serentak.

"Apakah kalian mondok untuk pacaran?"

"Bukan!" jawab Santri lagi serempak.

Sang Ustad menyeru, "Ilham! Kamu maju ke depan."

Ah, ternyata benalu dari perkumpulan yang menjengkelkan ini adalah Ilham, salah satu kawan di angkatanku. Ia ketahuan berpacaran. Ustadz itu mendapati tulisan surat milik Ilham untuk seorang santriwati.

Ilham berjalan ke depan. Ia berdiri mematung, menyembunyikan wajah malunya dengan menundukkan kepala. Aku sudah bisa menebak. Ilham pasti akan dipermalukan di depan santri satu angkatan. Ini memang ritual sanksi yang selalu berulang.

"Ustadz tidak mau ada yang seperti dia lagi. Cukup Ilham yang terakhir melanggar aturan-aturan pondok," tegas Sang Ustad. "Mengerti, Nak?"

"Mengerti!" jawab santri.

"Zina itu dosa besar, Nak!" Beliau tampak lebih serius sekarang. "Di dalam Alqur'an, surat Al-Isra ayat 32, jelas ada ayatnya; Jangan sekali-kali mendekati zina!"

Situasi menjadi hening. Hanya gema suara sang Ustadz yang berbunyi nyaring seantero masjid. "Di dalam hadits juga jelas perintahnya; Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah kalian ber-khalwat (berdua-duaan) dengan seorang wanita (yang bukan mahram)," papar beliau.

Kini, sang Ustad menatap Ilham. "Ilham, Jangan kamu ulangi lagi. Kalau sampai kamu surat-suratan lagi dengan santriwati, Ustadz tidak akan segan mengembalikan kamu ke orang tua kamu. Kalau mau pacaran, silahkan sekolah di luar! Jangan di sini!"

"Ustadz percaya, tidak semuanya seperti Ilham. Masih banyak dari kalian yang mengindahkan aturan-aturan pondok. Mohon maaf, Ustadz mengambil waktu kalian, Nak. Semata-mata, ini semua demi kebaikan kalian juga."

Beliau melanjutkan pesannya, "Sehabis ini, kalian boleh bubar. Untuk Ilham, kamu datang ke majelis pengasuhan, kamu akan menerima sanksi dibotak."

"Wassalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barokatuh." Beliau membubarkan perkumpulan.

Setelahnya, kami para santri kembali ke asrama. Di asrama, insiden surat milik Ilham menjadi buah bibir. Teman asramaku, Hengki, mengutarakan sikap tidak setuju tentang penghukuman tadi; dipermalukan di hadapan santri seangkatan.

Aku dan Hengki duduk santai di teras asrama bersama angin malam yang sejuk. Kami mengenakan sarung dan kaos oblong. 

Hengki tampak sangat jengkel dengan perkumpulan tadi. Bahkan, aku sedikit terkejut saat ia mengeluh kepadaku secara tiba-tiba. "Kenapa pacaran dilarang, sih? Padahal, pacaran di pondok itu cuma surat-suratan. Kalo pacar sakit, dikasih susu sama roti. Terus kalo ketemuan pun, cuma bisa ngobrol berjarak satu meter, itu juga gak nyampe satu menit karena takut ketahuan."

"Ya, tergantung definisi pacaran itu dulu sih. Ustadz-nya punya definisi lain tentang pacaran, mungkin." Aku tersenyum menanggapi Hengki.

Hengki kembali melayangkan pendapatnya secara serius. "Kalo dipikir-pikir, pacaran di pondok tuh letak haramnya di mana, ya?"

"Menurut gua, sih, gak ada," jawabku. Aku menerka, sepertinya obrolan ini akan menghasilkan diskusi yang menarik. Aku jadi lebih antusias.

"Nah, coba bayangin. Kita ketemu santriwati cuma di jam sekolah. Duduk pun dipisah; cewek sama cewek, cowok sama cowok. Hampir gak pernah ada kesempatan buat berdua. Pegangan tangan, gak akan bisa. Apalagi ciuman, boro-boro! Terus di mana letak haramnya pacaran di pondok?" Hengki terlihat menumpahkan seluruh uneg-unegnya.

Beberapa detik, aku menyiapkan susunan argumen di kepalaku. "Begini, Ki. Pondok ini merupakan lembaga pendidikan, kan?"

"Iya, sepakat."

"Pondasi argumen gue itu dulu. Sekarang, coba kita berpikir terbalik."

"Maksudnya?"

"Seandainya, nih, di pondok, yang dasarnya adalah lembaga pendidikan, lalu membolehkan santri untuk pacaran. Lu kebayang gak, akan seperti apa gaya hidup santri?"

Hengki tertegun sejenak. "Akan lebih liar pasti. Dilarang aja masih bisa ngakalin."

"Tau insiden kemaren, kan?" Aku bertanya.

"Apa tuh?"

"Mobil goyang."

"Oh, iya. Parah, tuh!"

"Nah, itu!"

"Yang mana, sih?" Hengki tertawa.

"Yeh! gua kira, Lu tau." Aku sedikit kesal bercampur gurau.

Aku membuka cerita, "Itu kejadiannya udah sebulan lalu. Angkatan di atas kita. Ceritanya, si santriwan ini dijenguk orang tuanya. Terus orang tuanya nginep di wisma pondok. Ternyata abis asar, pacarnya, si santriwati, nyusul ke wisma."

"Anjir! Iya, gua inget tuh. Kayanya udah janjian itu, mah. Pacarnya disuruh dateng ke wisma abis asar," ujar Hengki.

"Iya. Alibinya, si santriwati dijenguk orang tuanya yang nginep di wisma. Terus, si santriwati ke wisma, kan. Padahal, itu bukan orang tua aslinya, tapi orang tua pacarnya. Ya, calon mertua gitu kali, ya," kataku.

"Terus gimana kelanjutannya?"

Aku meneruskan cerita itu. "Ya, akhirnya mereka berdua mantap-mantap di mobil orang tuanya si santriwan. Abis itu, ketahuan satpam pondok."

"Kok bisa ketahuan ya?"

"Kan mobilnya goyang, Ki. Makanya disebut insiden mobil goyang. Abis itu, dua santri itu langsung dikeluarin dari pondok," kataku.

"Kacau juga tuh!"

"Nah! Itu. Udah jelas pacaran dilarang di pondok. Tapi, masih ada aja santri yang berani begitu. Apalagi kalo dibolehin."

"Iya juga, ya," kata Hengki.

"Iya. Itu, sih, poin gua. Karena pondok ini adalah lembaga pendidikan yang berbasis ajaran islam, maka wajar melarang anak didiknya, para santri, untuk berpacaran." Aku menuntaskan pendapatku.

Hengki menanggapi, "Sebenernya, pacaran di pondok tuh boleh...."

"Kalo gak ketahuan?" 

"Nah, Eta!" Dia menepuk bahuku. Kemudian kami tertawa bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun