Mohon tunggu...
Abdulah Mazid
Abdulah Mazid Mohon Tunggu... Mahasiswa - Masyarakat

Hai! Saya Abdul; orang biasa yang terkadang suka membaca, menulis, memancing dan tidur.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kambing & Seonggok Kenang

19 Juni 2022   18:53 Diperbarui: 19 Juni 2022   18:57 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka langsung menyadari kedatanganku dan salah satunya langsung menyapaku dengan ramah “Heey malas.. cepat ambil spatula itu dan balikan kami, apa kau ingin kami gosong?” setelahnya mereka mengikik seperti sekelompok oligarki yang tengah berbincang sore di ruang tamu “KIKIKIKIKIKI”. Aku bergegas mengambil spatula yang berada di sebelah kompor lalu membalikan kedua ikan sialan itu 

Diam dan cepatlah matang cerewet” balasku ketus. Tawa mereka semakin merekah mendengar jawabanku “HAHAHAHAH… Apa gunanya jadi manusia jika hanya bisa mengeluh dan menyusahkan ibunya.. KIKIKIKIKIKI”. 

Aku berpura-pura tak mendengar kalimatnya. Di situasi semacam ini pribahasa “diam adalah emas” sepertinya sangat cocok untuk diterapkan. Menanggapi celotehan ikan-ikan sialan itu hanya akan membuat darahku naik saja. “Heey miskin.. apa bagusnya hidup jadi manusia? sombong! Bodoh! Malas! lebih baik kau bergabung saja dengan kami di wajan ini, kau akan meresakan kehangatan yang membahagiakan di sini.. KIKIKIKIKIKIKI”. 

Kumatikan kompor, kuangkat ikan-ikan sialan itu dari wajan, lalu kutaruh di piring, lantas bergegas menuju kamar sebelum kata sabar menghilang dari kepalaku. Mendengarkan celotehan ikan-ikan sialan itu membuatku ingin membuang mereka ke selokan samping rumah, biar mereka mengobrol saja dengan sampah-sampah yang ada di sana, mereka dengan seperangkat ocehan sampahnya lebih cocok berada di sana!

Akhirnya aku bisa kembali ke tempat ternyamanku lagi, kamarku. Ruangan dengan luas tiga kali tiga meter dengan dinding berhias mega yang kubawa dari kampung halamanku, mega mendung.  Awan-awan biru itu kugantung dengan hati-hati disana. Butuh waktu lama untuk mengeluarkan semuanya dari kepalaku. 

Kau tau, mega mendung tak akan jadi mega mendung jika hanya satu biru yang mewarnainya. Dulu ketika keluargaku masih tinggal di Cirebon, aku sering bermain dengan Kekek dan beliau sering bercerita tentang banyak hal, satu dari ratusan ceritanya adalah tentang batik mega mendung ini. Katanya,.. ada tujuh degradasi warna biru yang menghiasi batik mega mendung dan tujuh warna biru itu melambangkan tujuh lapisan langit.. dan bla..bla..bla.. 

Puluhan kali kakek menceritakannya padaku, dan selama itu pula aku tak mengerti apa maksudnya. Baru saat otakku siap menelan sejarah, aku mulai sedikit mengerti maksud penjelasan kakek dulu. 

Mega Mendung adalah salah satu produk persetubuhan antara budaya Tiongkok yang dibawa oleh Ratu Ong Tien dari China dengan budaya lokal Cirebon yang kemudian coba kusimpan di kamarku. Sengaja aku mencoba menghias kamar ini dengan tanganku sendiri agar aku benar-benar merasa memilikinya seutuhnya. 

Yaah.. meski aku tak pernah benar-benar bisa mengeluarkan semuanya dari kepalaku, karena ada beberapa bagian tembok kamarku yang sudah mengelupas, mereka terlalu lelah menanti renovasi, jadi aku tak bisa menuntaskan karyaku itu. Untuk menutupi bagian tembok yang terkelupas itu, kugantung beberapa topeng panca wanda yang juga kutemukan di loteng selang satu hari sebelum aku menemukan buku catatan milik ibu. 

Dari lima topeng yang kutemukan aku hanya membawa tiga diantaranya yang masih dalam keadaan utuh, topeng panji, rumyang, dan topeng kelana. Ketiga topeng tersebut sepertinya `terbuat dari kayu jarang. 

Aku ingat, dulu Kakek juga sering mengajakku ke kebun untuk mengambil kayu jarang yang biasa digunakan Kakek sebagai bahan dasar untuk membuat kerajinan. Di perjalanan menuju kebun, beliau tak henti-hentinya bercerita tentang betapa makna dari Topeng Panca Wanda Cirebon sangat erat dengan fase kehidupan manusia di dunia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun