Mohon tunggu...
Abdulah Mazid
Abdulah Mazid Mohon Tunggu... Mahasiswa - Masyarakat

Hai! Saya Abdul; orang biasa yang terkadang suka membaca, menulis, memancing dan tidur.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kambing & Seonggok Kenang

19 Juni 2022   18:53 Diperbarui: 19 Juni 2022   18:57 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam itu, seekor kambing mengetuk jendela kamarku, mencongel selotnya, membukanya dan menyelinap masuk. Entah bagaimana seekor kambing bisa melakukan hal semacam itu.. tapi  yang jelas ketika aku kembali dari pelarianku dalam mencoba mengurai kemalasan, kudapati ia tengah terduduk di depan meja belajarku (namanya saja, tidak dengan fungsinya), kulihat dia tengah membaca sebuah buku. 

Hei tunggu, sepertinya aku kenal dengan buku itu, meski dari sudut pandangku tak terlihat utuh sampulnya tapi dari potongan gambar yang mampu kulihat saja aku yakin itu adalah buku yang sering kubaca dulu, aku banyak belajar darinya, setidaknya dulu. Buku itu sudah lama tak kusentuh lebih tepatnya, sudah lama kulupakan. Pertama kali aku menemukannya di suatu siang ketika aku tengah bermain-main di loteng rumah dulu...

Buku itu kupungut dari sebuah kardus lusuh dari dasar tumpukan buku milik ibu. Aku langsung jatuh hati pada buku itu ketika melihat sampulnya, setangkai mawar merah yang terkulai dan sebuah pena yang seolah telah mengukir mawar itu sana, dan kuyakin tangan lentik ibu yang bertanggung jawab atas gambar itu. Ketika kubuka halaman pertamanya, di sana tertulis sebuah kalimat yang sepertinya bermuasal dari dari seseorang yang tengah jatuh hati: 

“Cirebon jadi sejuk, sejak senyummu terganung di atasnya” rasa penasaran tumbuh subur di kepalaku setelah membaca potongan kalimat itu, di sana juga terlampir secarik kertas yang terlipat rapih. 

Barangkali itu sebuah surat, pikirku. Aku tak berani membukanya lebih jauh lagi karena aku ingat salah satu cerita ibu tentang bagaimana ia bertengkar hebat dengan sahabatnya dulu karena sahabatnya diam-diam membaca catatan harian ibu yang ditulisnya di lembar akhir buku latihan matematika.  

Setelah itu, kuputuskan untuk meminta izin terlebih dahulu kepada ibu agar aku bisa menikmati isi buku yang kutemukan itu dengan tenang. Segera kurapihkan kembali buku-buku itu, kukembalikan mereka ke asalnya dan menyisakan satu buku yang kubawa ke kamarku diam-diam. 

Aku perlu menyusun banyak argumen dulu sebelum menghadapi penolakan ibu nanti. Setengah jam berlalu aku masih di kamar, jantungku masih berdebar, dan kepalaku masih kosong melompong. Ah sial! Kenapa disaat seperti ini otakku berhenti berfungsi. 

Sebelum sempat aku mengutuk diri lagi, terdengar suara motor tua berhenti di halaman depan rumah. Dari sudut jendela kamarku, bersama dengan cahaya matahari yang menyelinap masuk dan merayap-rayap ke dinding kamar, dia terlihat pulang, dia melangkah sempoyongan dengan mata setengah melek, sesampainya ia di depan pintu, diketuknya pintu dengan kakinya: BRAAK!

Terdengar suara hantaman keras. Langkah ibu terdengar terburu-buru dari arah dapur “Nok, tolong bantu ibu di dapur” ujarnya setelah mengetuk pintu kamarku. Tanpa menunggu jawaban dariku, langkahya terdengar menjauh dari balik pintu, sepertinya ibu bergegas menuju pintu depan. 

Barangkali ibu tau aku tak akan mengabaikan titahnya dan akan melaksanakannya dengan sepenuh hati karena aku ini memang gadis manis yang baik hati. Ibu benar tentang manis dan baik hati, tapi kurasa ibu kurang tepat jika bicara soal melaksanakannya dengan sepenuh hati, karena aku tau di dapur ibu tengah menggoreng ikan asin. cih, ikan asin!

Aku benci ikan asin, apalagi harus mendengar celotehan mereka. Meski begitu aku harus tetap membantu ibu, setidaknya dengan itu mungkin bisa memperbesar harapanku untuk mendapat izin membaca buku miliknya. Aku beranjak dari kamar menuju dapur, dan benar saja, di dapur sepasang ikan asin tengah berceloteh ria di atas wajan berisi minyak panas. 

Mereka langsung menyadari kedatanganku dan salah satunya langsung menyapaku dengan ramah “Heey malas.. cepat ambil spatula itu dan balikan kami, apa kau ingin kami gosong?” setelahnya mereka mengikik seperti sekelompok oligarki yang tengah berbincang sore di ruang tamu “KIKIKIKIKIKI”. Aku bergegas mengambil spatula yang berada di sebelah kompor lalu membalikan kedua ikan sialan itu 

Diam dan cepatlah matang cerewet” balasku ketus. Tawa mereka semakin merekah mendengar jawabanku “HAHAHAHAH… Apa gunanya jadi manusia jika hanya bisa mengeluh dan menyusahkan ibunya.. KIKIKIKIKIKI”. 

Aku berpura-pura tak mendengar kalimatnya. Di situasi semacam ini pribahasa “diam adalah emas” sepertinya sangat cocok untuk diterapkan. Menanggapi celotehan ikan-ikan sialan itu hanya akan membuat darahku naik saja. “Heey miskin.. apa bagusnya hidup jadi manusia? sombong! Bodoh! Malas! lebih baik kau bergabung saja dengan kami di wajan ini, kau akan meresakan kehangatan yang membahagiakan di sini.. KIKIKIKIKIKIKI”. 

Kumatikan kompor, kuangkat ikan-ikan sialan itu dari wajan, lalu kutaruh di piring, lantas bergegas menuju kamar sebelum kata sabar menghilang dari kepalaku. Mendengarkan celotehan ikan-ikan sialan itu membuatku ingin membuang mereka ke selokan samping rumah, biar mereka mengobrol saja dengan sampah-sampah yang ada di sana, mereka dengan seperangkat ocehan sampahnya lebih cocok berada di sana!

Akhirnya aku bisa kembali ke tempat ternyamanku lagi, kamarku. Ruangan dengan luas tiga kali tiga meter dengan dinding berhias mega yang kubawa dari kampung halamanku, mega mendung.  Awan-awan biru itu kugantung dengan hati-hati disana. Butuh waktu lama untuk mengeluarkan semuanya dari kepalaku. 

Kau tau, mega mendung tak akan jadi mega mendung jika hanya satu biru yang mewarnainya. Dulu ketika keluargaku masih tinggal di Cirebon, aku sering bermain dengan Kekek dan beliau sering bercerita tentang banyak hal, satu dari ratusan ceritanya adalah tentang batik mega mendung ini. Katanya,.. ada tujuh degradasi warna biru yang menghiasi batik mega mendung dan tujuh warna biru itu melambangkan tujuh lapisan langit.. dan bla..bla..bla.. 

Puluhan kali kakek menceritakannya padaku, dan selama itu pula aku tak mengerti apa maksudnya. Baru saat otakku siap menelan sejarah, aku mulai sedikit mengerti maksud penjelasan kakek dulu. 

Mega Mendung adalah salah satu produk persetubuhan antara budaya Tiongkok yang dibawa oleh Ratu Ong Tien dari China dengan budaya lokal Cirebon yang kemudian coba kusimpan di kamarku. Sengaja aku mencoba menghias kamar ini dengan tanganku sendiri agar aku benar-benar merasa memilikinya seutuhnya. 

Yaah.. meski aku tak pernah benar-benar bisa mengeluarkan semuanya dari kepalaku, karena ada beberapa bagian tembok kamarku yang sudah mengelupas, mereka terlalu lelah menanti renovasi, jadi aku tak bisa menuntaskan karyaku itu. Untuk menutupi bagian tembok yang terkelupas itu, kugantung beberapa topeng panca wanda yang juga kutemukan di loteng selang satu hari sebelum aku menemukan buku catatan milik ibu. 

Dari lima topeng yang kutemukan aku hanya membawa tiga diantaranya yang masih dalam keadaan utuh, topeng panji, rumyang, dan topeng kelana. Ketiga topeng tersebut sepertinya `terbuat dari kayu jarang. 

Aku ingat, dulu Kakek juga sering mengajakku ke kebun untuk mengambil kayu jarang yang biasa digunakan Kakek sebagai bahan dasar untuk membuat kerajinan. Di perjalanan menuju kebun, beliau tak henti-hentinya bercerita tentang betapa makna dari Topeng Panca Wanda Cirebon sangat erat dengan fase kehidupan manusia di dunia. 

Dari mulai Topeng Panji yang menggambarkan kesucian bayi yang baru lahir. Motif topengnya polos dan berwarna putih bersih, hanya terdiri dari mata, hidung, dan mulut tanpa guratan apa pun seolah menggambarkan betapa manusia dilahirkan ke dunia dalam keadaan bersih dan suci. 

Hingga Topeng Kelana sebagai penggambaran fase terakhir kehidupan manusia. Topeng Kelana didominasi warna merah dengan kumis tebal serta tatapan mata yang tajam. Kata Kakek, sebagian orang memaknai topeng ini sebagai simbol angkara murka dan kerakusan manusia. 

Namun, ada pula yang menginterpretasikannya sebagai bentuk aktualisasi diri yang sempurna. Sepertinya Ibu sengaja mencoba membawa secuil-kecil Cirebon ke rumah ini. 

Tapi walau bagaimanapun Jakarta tetaplah Jakarta, lain daripada Cirebonku. Kususun sedemikian rupa ketiga topeng yang kubawa dari loteng itu untuk menutupi bagian tembok kamarku yang terkelupas. Sebetulnya aku juga menjupai dua topeng yang lainnya, samba dan tumenggung, hanya saja kondisinya sudah tidak layak untuk dijadikan hiasan dinding, sebagian besar catnya sudah terkelupas.

Sekarang di sinilah aku berada, di kamarku dan masih dengan rasa penasaran yang sama menggebunya untuk membaca buku catatan ibu yang sebelum kutingggalkan tadi, kutaruh di atas meja di samping jendela. 

Untuk meredam rasa kesalku setelah mendengarkan ocehan ikan-ikan sialan tadi, kuputuskan untuk melihat sedikit lebih dalam isi buku catatan milik ibu, dan ketika  ku buka buku itu tepat terbuka di halaman yang tertuang semacam curhatan seseorang penikmat nasi lengko.

...

Kau Nasi Lengko?

Kecap kehilangan pekatnya saat kunikmati ia di sampingmu
Potongan timun menjelma potongan keju
Bawang goreng, toge, tahu, tempe
Hilang rasa
Hilang rupa

Di jalan perjuangan, di tempat biasa
Dengan nasi lengko yang biasa, dan segelas teh hangat biasa
Satu-satunya yang tak biasa hanya yang tengah duduk di sampingku,
Menu kesukaanku
 
Lentik matanya, lekuk bibirnya, hitam rambutnya
Manis tuturnya, renyah tawanya, baik hatinya
Aah.. Benar benar cita rasa yang sempurna
 
Kalau kau nasi lengko
akanku pesan untuk setiap pagi,
Setiap awal hari.

Cirebon, November 2021

...

Setelah membacanya, lahir banyak pertanyaan di kepalaku: orang lapar macam apa yang menuang tulisan ini? Namun sebelum aku sempat menikmati isi pikiran ku terkait tulisan itu lebih lama lagi, terdengar suara gaduh di ruang keluarga rumahku. Aku tak terlalu menghiraukan hal itu, karena memang hal semacam itu sering terjadi di rumah ini apalagi ketika orang itu pulang. 

Dia tak bisa pulang dengan tenang, selalu ada masalah yang dibawanya dari dunia luar sana. Aku tak habis pikir dengan ibu, kenapa ia bisa menikah dengan orang semacam itu. Dulu aku sering menanyakan alasan ibu mau dinikahi oleh orang itu, tapi ibu tak pernah banyak berkata, ia hanya menjawabnya dengan selekuk senyum dan kalimat “karena ibu mencintainya.

Setelah suara kegaduhan di ruang tamu berhenti, akhirnya otak kecilku kembali menemukan fungsinya. Ia berhasil menyusun beberapa skenario percakapan yang mungkin terjadi untuk menghadapi penolakan ibu dan setelah memupuk beberapa  keberanian dalam diri, kuputuskan untuk beranjak dari kamar untuk segera menemui ibu. 

Baru setengah langkah aku menginjakan kaki di ruang tamu, atmosfer ruangan itu terasa sangat berbanding terbalik dengan kamarku. Jantungku langsung merespon perubahan yang amat drastis itu. 

Ia melompat-lompat seolah ingin segera keluar dari dadaku dan menerjang orang itu. Ya! Orang itu.. orang itu pasti pelakunya! Jantungku semakin menjadi dengan detakannya, tapi bukan lagi darah yang mengalir di tubuhku, melainkan rasa marah, sedih, kecewa, putus asa, semuanya seolah membanjiri pembuluh darahku saat itu. 

Harapanku pupus, dan benar-benar mampus sore itu. Senja tak lagi jingga yang merona, ia menjelma hitam yang kosong, kelam. 

Senin, 11 November 2030 diperingati sebagai hari pahlawan Nasional oleh bangsa Indonesia, dan menjadi hari paling kelam yang pernah terjadi dalam hidupku. 

Aku selalu berharap entah bagaimana caranya dan siapapun oranganya, tolong hapus satu hari itu saja dalam kenyataan yang pernah terjadi di muka bumi. Kejadian itu memang sudah berlalu, sudah delapan tahun lamanya, tapi masih terpampang jelas di kepalaku.

.....

Di rumah yang sama, di malam yang sama, di tempat ternyamanku, kambing itu masih bergeming dengan buku yang tengah dibacanya. Sepertinya ia tak menyadari kedatanganku. Apa itu yang orang-orang sebut sebagai menghayati? Atau barangkali dia tau, tak ada gunanya juga menghiraukan keberadaan payah sepertiku. 

Tapi aneh, apa gunanya untuk seekor kambing membaca buku? Agar lulus ujian seleksi masuk perguruan tinggi favorit? Lagi pula, sejak kapan kambing jadi makhluk nokturnal? Malam sudah larut sejak tadi, sudah hampir berganti hari. 

Aku mencoba menyuarakan keberadaanku dengan satu kalimat yang mungkin kurang tepat untuk situasi semacam ini, tapi hey? Kalimat macam apa yang pantas untuk situasi semacam ini? Ini pertama kalinya bagiku dikunjungi kambing malam-malam begini.  Setelah sedikit mengorek kosa kata yang ada di kepala, kuputuskan untuk memecah kebingungan itu dengan satu kalimat tanya "sedang apa malam-malam begini dikamar orang?

Entah kenapa setelah bibirku mengucapkannya, sepertinya pertanyaanku terdengar aneh. Sebetulnya aku hendak bertanya "siapa kau?" Tapi aku kuurungkan niatku menanyakannya, karena apa pentingnya mengetahui siapa dia? Bukankah yang lebih penting adalah apa yang ia lakukan? 

Lagi pula, memangnya seekor kambing paham bahas manusia? Sepertinya tidak, hal itu dibuktikan dengan kebergemingannya atas pertanyaanku. Tapi aneh, lalu bagaimana dia mampu membaca buku  itu? Aku menunggu beberapa saat, barangkali butuh waktu lebih lama bagi otak seekor kambing untuk memproses sebuah ujaran bahasa manusia. 

Setelah beberapa saat tak ada yang terjadi, matanya masih fokus menatap buku yang ada di atas meja itu. Lantas kuputuskan untuk mengambil langkah paling rasional yang bisa kulakukan saat itu, kudekati ia lalu kutepuk pundaknya. 

Dia sepertinya tak terkejut dengan apa yang kulakukan. Tak ada gerak-gerik panik dari responnya. Kemudian dia mengalihkan wajahnya menghadapku. saat itu aku yakin dia benar-benar seekor kambing, dan anehnya kuyakin ia tengah tersenyum padaku. 

Entah apa alasannya, tapi satu hal yang membuatku merasa lebih baik setelah melihat wajahnya, ia pribadi yang baik, sungguh, terlihat dari caranya membentuk senyumnya itu. Aku bukan ahli penerjemah senyuman, tapi dari banyak senyuman yang pernah kulihat, senyumannya itu adalah salah satu yang tak terlihat sedikitpun kepalsuan menyertainya. Dia tulus melakukannya.

Setelah dia menyodorkan sepotong senyum itu padaku, dan tentang apa yang terjadi setelahnya, sulit bagiku untuk menjelaskannya dengan benar, karena akupun tak benar-benar paham apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba kambing itu menguap dari bentuknya dan membaur dengan atmosfer kamarku. 

Anehnya, ia tak meninggalkan residu sedikitpun, tak ada bau, tak ada warna yang tertinggal. Yang tersisa dari situasi membingungkan itu hanyalah kehampaan yang sunyi diiringi nyanyian jantungku yang perlahan kembali menemukan ritmenya yang tenang, dan buku Ibu yang masih terbuka tepat di halaman yang dulu belum sempat kubaca:

....

K E K E L U A R G A A N

Di suatu malam yang cukup larut,
Tuan kehilangan dirinya lagi
Tuan memaki, Puan hanya diam
Tuan memukul, Puan tetap diam
Tuan menendang, Puan tetap diam.
Puan menangis, tuan hancur

....

Setelah membaca catatan kecil itu, kesal kembali menyertai seisi kepalaku. Tapi semua sudah berlalu, dan kejadiannya akan tetap sama. Merasa marah tak akan merubah masa lalu. Dan ibu pun sering berkata padaku “marah itu cuman buang-buang waktu dan tenaga, ngga ada gunanya.” ibu benar tentang itu. 

Belum rampung kepalaku mencerna kehilangan si kambing, seseorang mengetuk jendela kamarku, aku mencoba mencari tau siapa yang bertanggung jawab atas ketukan di jendelaku malam-malam begini, ternyata itu si kambing yang tadi. 

Dari wajahnya aku yakin sekali dia adalah kambing yang sama yang beberapa saat lalu masih terduduk di depan meja belajarku. Sebentar, hey!? Bukankah aku belum sempat menutup jendelaku? Dan bukankah slotnya sudah dicongkel? Sial! Situasi membingungkan macam apa lagi ini? 

Sebelum aku sempat menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku, satu lagi keajaiban terjadi, buku milik Ibu yang semula berada di atas meja belajarku, kini berpindah tempat kepelukan sang kambing, entah bagaimana itu bisa terjadi, aneh sekali. Kuputuskan untuk segera tidur sebelum aku benar-benar gila malam itu. Walaupun ada banyak tanda tanya memenuhi isi kepalaku, malam itu aku terlelap dengan lekas, itu keahlian ku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun