Pernikahan merupakan sebuah perintah agama yang diatur oleh syariat Islam dan merupakan satu-satunya jalan penyaluran seks yang disahkan oleh agama Islam. Dari sudut pandang ini, maka pada saat orang melakukan pernikahan pada saat yang bersamaan dia bukan saja memiliki keinginan untuk melakukan perintah agama (syariat), namun juga memiliki keinginan memenuhi kebutuhan biologisnya yang secara kodrat memang harus disalurkan.
 Dalam kehidupan ini, manusia ingin memenuhi berbagai kebutuhannya, begitu juga kebutuhan biologis sebenarnya juga harus dipenuhi. Sebagai agama yang rahmatan lil 'alamin, Islam telah menetapkan bahwa satu-satunya cara untuk memenuhi kebutuhan biologis seeorang yaitu hanya dengan cara pernikahan, pernikahan merupakan satu hal yang sangat menarik jika kita lebih mencermati kandungan makna tentang masalah pernikahan ini. Al-Qur'an telah menjelaskan bahwa di antara tujuan pernikahan adalah agar pembelai laki-laki dan perempuan mendapatkan kedamaian dalam hidup seseorang (litaskunu ilaiha). Ini berarti pernikahan sesungguhnya bukan hanya sekedar sebagai sarana penyaluran kebutuhan seks namun lebih dari itu pernikahan juga menjanjikan perdamaian hidup bagi manusia dimana setiap manusia dapat membangun surga dunia di dalamnya. Inilah hikmah disyari'atkannya pernikahan dalam Islam, selain memperoleh ketenangan dan kedamain, juga dapat menjaga keturunan (hifdzu al-nasli). Islam mensyari'atkan pernikahan untuk membentuk mahligai keluarga sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan hidup.Â
 Islam juga mengajarkan pernikahan merupakan suatu peristiwa yang patut disambut dengan rasa syukur dan gembira. Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Oleh karena itu, dalam artikel ini, penulis mengeksplorasi pengertian nikah, dasar hukum, syarat dan rukun serta hikmah disyariatkannya pernikahan.Â
 B.Pengertian Nikah dan Dasar Hukumnya Lafaz nikah mengandung tiga macam pengertian:
 1. Menurut bahasa, nikah adalah al-dhammu atau altadakhul yang artinya berkumpul atau saling memasuki. (A. W. Munawwir, 1997:392,829)Â
2. Menurut Ahli Usul, nikah berarti:Â
a. Menurut aslinya berarti setubuh, dan secara majazi (metaphoric) ialah akad yang menghalalkan hubungan kelamin antara pria dengan wanita. Ini pendapat Ahli Usul Hanafiyah.
 b. Ahli Usul Syafi'iyah mengatakan, nikah menurut aslinya ialah akad yang menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita. Sedang menurut arti majazi (metaphoric) ialah bersetubuh.
 c. Abu Qasim al-Zayyad, Imam Yahya, Ibnu Hazm dan sebagian ahli usul dari sahabat Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah mengandung kedua arti sekaligus, yaitu sebagai akad dan setubuh.(Abu al- 'Ainain, 2002:18)Â
3. Menurut Ahli Fiqh
4. Ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan fuqaha, antara lain sebagai berikut: (Abdurrahman al-Jaziri, tt:2-3)
 a. Sebagian Hanafiyah berpendapat bahwa nikah adalah:
b. Sebagian lagi berpendapat bahwa nikah adalah:
 c. Sebagian Syafi'iyah berpendapat bahwa nikah adalah: Â
d. Sebagiannya lagi berpendapat bahwa nikah adalah: Â
e. Hanabilah berpendapat bahwa: Dari definisi nikah yang dikemukakan fuqaha, pada prinsipnya tidak terdapat perbedaan yang berarti kecuali pada redaksi atau phraseologic saja. Nikah pada hakikatnya adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak memiliki dan menikmati faraj dan seluruh tubuh wanita itu dan membentuk rumah tangga.(Abu al-'Ainain Badran, tt: 20- 21) Â
Yang dimaksud hak milik, yang dapat ditemukan hampir di setiap definisi yang disebutkan fuqaha, ialah milku al-intifa', yaitu hak milik penggunaan (pemakai) sesuatu benda, karena itu akad nikah tidak menimbulkan milku ar-raqabah, yaitu memiliki sesuatu benda, sehingga dapat dialihkan kepada siapapun; juga bukan milku al-manfa'ah, yaitu hak memiliki kemanfaatan sesuatu benda, yang dalam hal ini manfaatnya boleh dialihkan kepada orang lain.(A. Basit Badar Mutawally, 1999:120-137)Â
1. Hak monopoli dalam memiliki kemanfaatan atas istrinya hanya dimiliki oleh suami, karena selain suaminya haram merasakan kenikmatan itu.Â
2. Si istri tidak terikat dengan suami, karena ia mempunyai hak untuk dapat melepaskan diri dari suaminya.
 3. Faraj (kemaluan) si istri adalah hak miliknya selaku pemilik raqabah dan manfa'at, karena jika terjadi kekeliruan dalam wati syubhat, maka wajib atas suami tersebut membayar misl kepada istri, bukan kepada suami.Â
4. Suami tidak berkewajiban menyetubuhi istrinya, tetapi si istri berkewajiban menyerahkan faraj (kemaluannya) sewaktu diminta oleh suaminya. Kewajiban suami bukanlah tuntutan akad, tetapi hanya berkewajiban memelihara moral istri. Jadi kalau si suami sudah membuktikan kepada istrinya dalam persetubuhan yang pertama kali bahawa ia impoten, maka hal ini dianggap cukup untuk memenuhi tuntutan istrinya.
Sebagian ulama Syafi'iyah memandang bahwa akad nikah adalah akad ibadah, yaitu membolehkan suami menyetubuhi istrinya. Jadi bukan akad tamlik bi al-intifa'. Demikian pula di dalam al-Qur'an dan hadishadis Nabi, perkataan "nikah" pada umumnya diartikan dengan "perjanjian perikatan". Firman Allah SWTÂ
QS An-Nur 32 dan Al-Baqarah 221: Â
Dalam surat al-Nisa' ayat 21 Allah swt. Menyatakan Â
bahwa nikah itu bukanlah suatu perjanjian yang biasa saja, tetapi adalah suatu perjanjian yang kuat.
 Â
Perkataan "nikah" di dalam ayat al-Qur'an surat Al-Baqarah 230 ada yang bermakna "setubuh", ayat itu ialah: Â
Ayat di atas menerangkan masalah mekanisme ruju' bagi suami yang telah mentalak tiga istrinya. Jika istri telah ditalak tiga maka suami dapat meruju'nya kembali dengan syarat mantan istrinya tersebut telah menikah lagi dengan orang lain, dan ini bermakna telah disetubuhi oleh orang lain, lalu diceraikan oleh orang yang telah menikahinya tersebut.(M. Quraish Shihab, 2000:463-464)
Syarat dan Rukun NikahÂ
Suatu akad pernikahan menurut hukum Islam ada yang sah dan ada yang batal. Akad pernikahan dikatakan sah apabila akad tersebut dilaksanakan dengan syaratsyarat dan rukun-rukun yang lengkap sesuai dengan ketentuan agama.Â
Mengenai jumlah rukun nikah, tidak ada kesepakatan fuqaha. Karena sebagian mereka memasukkan suatu unsur menjadi hukum nikah, sedangkan yang lain menggolongkan unsur tersebut menjadi syarat sahnya nikah.Â
Imam asy-Syafi'i menyebutkan bahwa rukun nikah itu ada lima, yaitu calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi dan sigat. Menurut Imam Malik rukun nikah itu adalah wali, mahar calon suami, calon istri, sigat. (Abdurrahman al-Jaziri, tt:12) Mahar/ mas kawin adalah hak wanita. Karena dengan menerima mahar, artinya ia suka dan rela dipimpin oleh laki-laki yang baru saja mengawininya. Mempermahal mahal adalah suatu hal yang dibenci Islam, karena akan mempersulit hubungan pernikahan di antara sesama manusia.(Ibrahim M. al-Jamal, 1986:373) Dalam hal pemberian mahar ini, pada dasarnya hanya sekedar perbuatan yang terpuji (istishab) saja, walaupun menjadi syarat sahnya nikah. (Muhammad Abu Zahrah, 1957:123) Sebagaimana saksi menjadi syarat sahnya nikah menurut Imam asy-syafi'i. Â
akad nikah merupakan ijab qabul yang memenuhi syaratsyarat sebagai berikut:Â
1. Pihak yang melakukan akad itu memiliki kecakapan, yaitu berakal, balig, dan merdeka.Â
2. Masing-masing pihak memiliki wewenang yang penuh untuk melakukan akad.Â
3. Qabul tidak boleh menyalahi ijab, kecuali kalau wali itu menguntungkan pihak yang berijab.Â
4. Hendaknya kedua belah pihak yang berakad berada dalam satu majlis dan saling memahami ucapan lawan. (As-Sayyid Sabiq, 1973:34-36)Â
Di Indonesia, para ahli hukum Islam sepakat bahwa akad nikah itu baru terjadi setelah dipenuhinya rukun-rukun dan syarat-syarat nikah, yaitu:Â
1. Calon pengantin itu kedua-duanya sudah dewasa dan berakal (akil balig).Â
2. Harus ada wali bagi calon pengantin perempuan.Â
3. Harus ada mahar (mas kawin) dari calon pengantin laki-laki yang diberikan setelah resmi menjadi suami istri kepada istrinya.
 4. Harus dihadiri sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang adil dan laki-laki Islam merdeka.Â
5. Harus ada upacara ijab qabul, ijab ialah penawaran dari pihak calon istri atau walinya atau wakilnya dan qabul penerimaan oleh calon suami dengan menyebutkan besarnya mahar (mas kawin) yang diberikan.Â
6. Sebagai tanda bahwa telah resmi terjadinya akad nikah (pernikahan) maka hendaknya diadakan walimah (pesta pernikahan).Â
7. Sebagai bukti otentik terjadinya pernikahan, sesuai dengan analogi surat Ali-Imran ayat 282 harus diadakani i'lan an-nikah (pendaftaran nikah), kepada Pejabat Pencatat Nikah, sesuai pula dengan UU No. 22 Tahun 1946 jo UU No.32 Tahun 1954 jo UU No.1 Tahun 1974 (lihat juga Pasal 7 KHI Instruksi Presiden RI No.1 Tahun 1991).(M. Idris Ramulyo, 2002:48-49)
Di dalam Fiqh para ulama menjelaskan bahwa menikah mempunyai hukum sesuai dengan kondisi dan faktor pelakunya. Hukum tersebut adalah (As-Sayyid Sabiq, 1973:15):Â
1. WajibÂ
Bagi orang yang sudah mampu menikah, nafsunya telah mendesak dan takut terjerumus dalam perzinaan, maka ia wajib menikah. Karena menjauhkan diri dari perbuatan haram adalah wajib Allah berfirman dalam QS An-Nur 33: Â
2. Sunnah Bagi orang yang nafsunya telah mendesak dan mampu menikah, tetapi masih dapat menahan dirinya dari perbuatan zina, maka sunnah baginya menikah. Nikah baginya lebih utama daripada bertekun diri beribadah.Â
3. Haram Bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah batin dan lahirnya kepada istri serta nafsunyapun tidak mendesak, maka ia haram menikah.Â
4. Makruh Makruh menikah bagi seseorang yang lemah syahwat dan tidak mampu memberi belanja kepada istrinya. Walaupun tidak merugikan istri, karena ia kaya dan tidak mempunyai keinginan syahwat yang kuatÂ
5. Mubah Bagi orang yang tidak terdesak oleh alas analasan yang mengharamkan untuk menikah, maka nikah hukumnya mubah baginya.
Hikmah PernikahanÂ
Mengenai hikmah pernikahan, sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari tujuannya di atas, dan sangat berkaitan erat dengan tujuan diciptakannya manusia di muka bumi ini. Al-Jurjawi menjelaskn bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan tujuan memakmurkan bumi, di mana segala isinya diciptakan untuk kepentingan manusia. Oleh karena itu, demi kemakmuran bumi secara lestari, kehadiran manusia sangat diperlukan sepanjang bumi masih ada. Pelestarian keturunan manusia merupakan sesuatu yang mutlak, sehingga eksistensi bumi di tengah-tengah alam semesta tidak menjadi siasia. Seperti diingatkan oleh agama, pelestarian manusia secara wajar dibentuk melalui pernikahan, sehingga demi memakmurkan bumi, pernikahan mutlak diperlukan. Ia merupakan syarat mutlak bagi kemakmuran bumi. (Ali Ahmad al-Jurjawi, tt:6-7)Â
Lebih lanjut al-Jurjawi menuturkan, kehidupan manusia (baca: lelaki) tidak akan rapi, tenang dan mengasyikkan, kecuali dikelola dengan sebaik-baiknya. Itu bisa diwujudkan jika ada tangan terampil dan professional, yaitu tangan-tangan lembut perempuan, yang memang secara naluriah mampu mengelola rumah tangga secara baik, rapi dan wajar. Karena itu pernikahan disyari'atkan, kata al-Jurjawi, bukan hanya demi memakmurkan bumi, tetapi tak kalah penting adalah supaya kehidupan manusia yang teratur dan rapi dapat tercipta. Dengan demikian kehadiran perempuan di sisi suami, melalui pernikahan sangatlah penting. (Ali Ahmad al-Jurjawi, tt:6-7)Â
1. Memenuhi tuntutan fitrah Manusia diciptakan oleh Allah dengan memiliki insting untuk tertarik dengan lawan jenisnya. Laki-laki tertarik dengan wanita dan sebaliknya. Ketertarikan dengan lawan jenis merupakan sebuah fitrah yang telah Allah letakkan pada manusia.Â
Islam adalah agama fitrah, sehingga akan memenuhi tuntutan-tuntutan fitrah; ini bertujuan agar hukum Islam dapat dilaksanakan manusia dengan mudah dan tanpa paksaan. Oleh karena itulah, pernikahan disyari'atkan dalam Islam dengan tujuan untuk memenuhi fitrah manusia yang cenderung untuk tertarik dengan lawan jenisnya. Islam tidak menghalangi dan menutupi keinginan ini, bahkan Islam melarang kehidupan para pendeta yang menolak pernikahan ataupun bertahallul (membujang). (At-Turmuzi, tt:393III) Akan tetapi sebaliknya, Islam juga membatasi keinginan ini agar tidak melampaui batas yang dapat berakibat rusaknya tatanan masyarakat dan dekadensi moral sehingga kemurnian fitrah tetap terjaga. Â
2. Mewujudkan ketenangan jiwa dan kemantapan batin Salah satu hikmah pernikahan yang penting adalah adanya ketenangan jiwa dengan terciptanya perasaanperasaan cinta dan kasih. QS. Ar-Rum: 21 ini menjelaskan bahwa begitu besar hikmah yang terkandung dalam perkawinan. Dengan melakukan perkawinan, manusia akan mendapatkan kepuasan jasmaniah dan rohaniah. Yaitu kasih sayang, ketenangan, ketenteraman dan kebahagiaan hidup.Â
3. Menghindari dekadensi moral Allah telah menganugerahi manusia dengan berbagai nikmat, salah satunya insting untuk melakukan relasi seksual. Akan tetapi insting ini akan berakibat negative jika tidak diberi frame untuk membatasinya, karena nafsunya akan berusaha untuk memenuhi insting tersebut dengan cara yang terlarang. Akibat yang timbul adalah adanya dekadensi moral, karena banyaknya perilaku-perilaku menyimpang seperti perzinaan, kumpul kebo dan lain-lain. Hal ini jelas akan merusakfundamen-fundamen rumah tangga dan menimbulkan berbagai penyakit fisik dan mental. (AtTurmuzi, tt:393III)Â
4. Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan tabiat kewanitaan yang diciptakan. Dari uraian di atas hanya sekilas tentang hikmah yang dapat diambil dari pernikahan, karena masih banyak hikmah-hikmah lain dari pernikahan, seperti penyambung keturunan, memperluas kekerabatan, membangun asas-asas kerjasama, dan lain-lain yang dapat kita ambil dari ayat al-Qur'an, hadis dan growth-up variable society.Â
KesimpulanÂ
Pernikahan sangat dianjurkan Allah SWT, dalam beberapa ayat disebutkan keutamaan menikah oleh karenanya pernikahan merupakan ibadah, kecintaan kita pada istri atau suami dapat mendorong kita untuk membimbingnya pada kebaikan yang menghadirkan kecintaan Allah pada keluarga kita. Adakah cinta yang lebih patut kita harapkan dari cintanya Sang Maha Pencinta?. Nabi Muhammad saw juga menganjurkan kita dalam banyak hadits agar menikah dan melahirkan anak. Beliau menganjurkan kita mengenai hal itu dan melarang kita hidup membujang, karena perbuatan ini menyelisihi Sunnahnya.Â
Terdapat banyak hikmah dalam pernikahan di antaranya adalah dapat menenteramkan jiwa, dengan begitu akan tercipta perasaan-perasaan cinta dan kasih sayang. Keluarga yang diliputi rasa kasih sayang satu dengan lainnya akan tercipta keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, meskipun tidak mudah untuk mewujudkannya karena dibutuhkan rasa saling pengertian, saling menghargai antara suami dan istri. Pernikahan yang penuh berkah adalah benteng iman yang paling kokoh, dituntut kesabaran keikhlasan kita dalam mengarungi bahtera yang kadang bergelombang dan berbadai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H