Dibanding jamban pribadi yang dimiliki setiap penduduk, jamban umum lebih reguler dibersihkan. Itu ada petugasnya sendiri, yang sebetulnya juga merangkap sebagai owner. Â Mohon maaf, dia memang meraup nafkah hanya dari penyewaan itu.
Tidak membersihkan, berarti tidak ada pemasukan. Mereka membayar untuk tempat yang lebih bersih. Kalau masih kotor, lebih baik mereka buang air di jamban mereka masing-masing. Namun walau rutin dibersihkan, motif kerak di keramik dan cor-coran jamban tetap tidak terhindarkan, yang mungkin terlihat menjijikkan bagi beberapa pasang mata.
"Aku pake yang tengah, kamu yang kiri aja."
"Oke, siap Par."
 Itu suara mereka, para bocah ingusan, Paria dan Dalit. Langganan jamban umum milik Pak Sudra.Â
Kedua bocah tersebut, yang walaupun sebetulnya tidak berusia bocah lagi, sudah berlari dari arah yang jauh dan memang sengaja menuju jamban itu. Mengetahui semua kamar jamban kosong, keduanya lantas nyelonong masuk tanpa izin terlebih dahulu kepada si pemilik. Maklum, pelanggan setia.Â
"Oy bocah ingusan, udah berapa kali kalian berkunjung hari ini. Bosan aku melihat kalian," ucap Pak Sudra sedikit geram, namun dengan suasana guyon.
Keduanya sontak teriak bersamaan, "Tujuh kali Pak!"
Pak Sudra tidak peduli. Dia tinggalkan saja kedua bocah tersebut ketika tidak ada hal lain lagi yang perlu dibicarakan. Masa bodoh dengan apa yang mereka kerjakan di dalam sana. 'Orang gila' kali, yang penasaran dengan seseorang yang sedang buang air.Â
Pak Sudra hanya akan kembali untuk meminta upah sewa, ketika mereka berdua telah selesai dengan urusannya di dalam sana. Begitu lah terus rutinitas Pak Sudra terulang, setiap kedua bocah tersebut berkunjung.Â
Benar-benar merepotkan. Apa gerangan manusia dalam kondisi normal, bisa sampai tujuh kali sehari berkunjung ke jamban. Dan uniknya, ini jamban umum. Jamban umum loh.Â