Kedai kafe favoritnya menjadi tempat pengasingan yang paling cocok untuk diriku yang sedang tak karuan. Aku sudah berulang kali menulis lagi, namun tak bisa. Secangkir kopi rela menemani kesendirian, serta langit berbintang yang menghiasi malam hari ini. Di dekat tempatku duduk, terdapat gerombolan anak muda yang sedang membicarakan pesepakbolaan Tanah Air yang sedang hangat diperbincangkan, salah satunya kinerja wasit yang tak kunjung beres. Aku pasangkan earphone, lalu nyalakan musik kesukaanku. Meski, kegelisahan tak kunjung reda.
"Guntur!" sapa Reva yang tiba-tiba datang entah dari mana.
"Hey!" balasku.
Reva permisi duduk di depanku, tampaknya ia begitu serius. Aku sempat bingung beberapa saat, sebelum mengerti apa yang ingin ia sampaikan. Kulepas earphone yang masih menggantung di telingaku agar aku bisa 'fokus' mendengarkannya.
"Tumben kamu nggak sama Maudy?" tanyanya.
"Dia sedang berkencan dengan teman lamanya," jawabku.
"Jangan bilang yang kaumaksud itu Julian?" tanya Reva.
"Iya. Emang mengapa?" tanyaku balik.
Reva menggebuk meja. "Itu gawat, Gun!"
"Saya nggak ngerti apa maksud kamu," pekikku kikuk.
"Lebih baik kamu pergi ke tempat Maudy sekarang. Aku rasa dia butuh kamu saat ini. Karena, yang aku lihat dia selalu nyaman setiap berada di dekatmu, dan kamu menyukainya, 'kan?"
"T-tapi," kataku gugup.
"Cepat temui dia, Gun!"
Aku langsung beranjak pergi, meskipun masih belum mengerti maksud dari Reva tadi. Perkataannya benar-benar sulit dicerna. Mengapa aku harus menemui Maudy, di saat ia sedang bahagia bertemu pria dambaannya. Untung saja aku tahu di mana tempat pertemuan Maudy dan Julian, kupacu dengan cepat menggunakan sepeda motor.
Hujan akhirnya turun ketika aku baru saja sampai di sebuah kafe, tempat Maudy dan Julian bertemu. Aku berlari masuk ke dalam mencari Maudy. Kutelusuri segala penjuru, namun belum kutemui dirinya. Hingga aku temukan dia sendirian di meja yang terletak di balkon atas, sedang menangis.
"Maudy!" panggilku.
Ia terkejut dengan kehadiranku. "Loh, Guntur?" ucapnya sembari menghapus air mata.
"Kamu menangis? Mana Julian? Bukankah kamu bertemu dengannya hari ini?" tanyaku mencoba mendapat penjelasan darinya.
Belum sempat kudapat jawaban darinya, kulihat ada sebuah undangan pernikahan di dekat Maudy. Di sana tertulis nama Julian dan seorang wanita. Aku paham. Maudy menangis karena hal ini, dan mengerti sebab ia menangis dan sendirian di sini.
"Julian mau...." katanya tak kuat melanjutkan.
Kupeluk dirinya. Seketika itu pula air matanya kembali tumpah. Tangisnya semakin mengalahkan hujan di luar.
"Setelah hujan reda, saya antar kamu pulang, ya," bisikku.
"Makasih, ya, Gun."
***
Seminggu kemudian, Maudy meneleponku untuk menemaninya datang ke acara pernikahan Julian. Awalnya aku tidak ingin membuatnya kembali bersedih karena harus datang ke sana, namun katanya ia sudah tidak apa-apa dan berjanji tidak akan menangis lagi.
"Kamu yakin akan datang?" tanyaku sekali lagi.
"Sudah berapa kali pertanyaan itu kaulontarkan kepadaku?" Maudy berbalik tanya.
"Entahlah. Aku hanya ingin kamu tidak bersedih lagi."
"Tenang saja, Gun."
Jujur saja aku ingin sekali mengungkapkan perasaanku saat ini juga. Hasrat ini tak dapat ditahan lagi, jiwaku begitu menggebu-gebu dibuatnya. Bahkan, aku sudah meminta pendapat dengan Haikal tadi malam mengenai apakah hari ini saat yang tepat atau tidak jika aku mengungkapkan perasaanku kepada Maudy.
***
Mataku masih melekat pada laptop karena baru saja menyelesaikan pekerjaan menulis 10 artikel pada hari ini. Seberes itu, aku beranjak ke kedai kopi untuk bersantai dan bercengkrama dengan Haikal sembari menyesap kopi kesukaan kami. Sesampainya di sana, kulihat Haikal sudah datang dan juga memesankan menu untukku.Â
"Lama banget lu datengnya," keluh Haikal yang katanya sudah datang setengah jam lalu.Â
"Sorry, gua baru beres. Sebagai permintaan maaf hari ini gua yang traktir, deh," kataku meminta maaf.Â
"Nah gitu dong!" seru Haikal. "By the way, gimana lu udah ungkapin perasaan lu ke Maudy, jurnalis dari Jurnalis Muda?"Â
"Belum. Emang kenapa?"Â
"Sebenernya nggak apa-apa, tapi mau sampe kapan memendam perasaan lu?"Â
Aku menghela napas, lalu menyeruput kopi. Kemudian kembali berseru. "Lu udah tau betapa takutnya gua dengan penolakan. Lu juga paham gimana perihal percintaan gua di masa lalu. Gua belum siap untuk itu semua, Kal."Â
"Ini, nih, yang bikin gua kesel sama lu. Ayolah, Gun. Gua tau semua ini agak berat buat dilakukan, tapi gua yakin lu pasti bisa ngelewatinnya. Jadi, jangan tunda-tunda lagi!"Â
***
Aku berjalan di belakang Maudy sesampainya di acara pernikahan Julian. Akhirnya kudapat melihat Julian secara langsung. Dengan balutan jas hitam dipadu kemeja putih dan dasi merah, ia terlihat sangat elegan. Maudy mencoba menutupi kesedihannya ketika berjabat tangan dengan Julian, meskipun aku dapat mengetahui kesedihannya.
"Gun, kita langsung pulang aja, ya?"
Tanpa menjawab, aku langsung menggandeng Maudy yang sedang menutupi kekecewaan. Kulemparkan senyum agar dapat meredakannya, namun tak mempang. Di atas sepeda motorku, ia masih membeku, tatapannya kosong. Aku memberhentikan sepeda motor sejenak, yang membuatnya sedikit terkejut.
"Loh, kok, berhenti, Gun!?" tanya Maudy terheran-heran.
"Sebenarnya ada yang ingin kubicarakan denganmu."
Maudy turun dari sepeda motorku. "Katakan saja."
"Kita ke taman itu saja biar lebih leluasa bicaranya," kataku menunjuk sebuah taman kota yang ada di hadapan kami.
Aku menggandeng Maudy menuju taman tersebut. Perasaanku langsung berdebar-debar, sementara Maudy terlihat kebingungan. Sesampainya di taman, aku tak melepas genggaman pada tangannya. Kutatap matanya dengan penuh rasa, semakin membuatnya kebingungan.
"Sebenarnya ada apa ini, Gun?"
"Aku suka denganmu, Maudy!"
"Apa kamu sedang mencoba menghiburku?"
"Tidak. Aku serius dengan ucapan tadi. Sejak pertemuan pertama kita di sebuah halte bus, aku langsung jatuh hati denganmu."
"Sumpah aku terkejut dengan ucapanmu. Kamu mengerti perasaanku saat ini, mengapa kamu baru mengatakannya?"
"Aku tahu kalau ini bukan waktu yang tepat, tapi sejujurnya aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Berbulan-bulan aku memendamnya, terutama ketika dirimu selalu menceritakan Julian. Hingga akhirnya aku berani mengatakannya hari ini."
Maudy melepas genggamanku. "Maaf, Gun. Selama ini aku hanya menganggapmu teman yang selalu ada untukku. Aku belum bisa membalas perasaanmu, terlebih dengan peristiwa hari ini yang sangat membuatku sedih. Jika kamu ingin menunggu, beri aku waktu untuk menjawabnya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H