"Makasih, ya, Gun."
***
Seminggu kemudian, Maudy meneleponku untuk menemaninya datang ke acara pernikahan Julian. Awalnya aku tidak ingin membuatnya kembali bersedih karena harus datang ke sana, namun katanya ia sudah tidak apa-apa dan berjanji tidak akan menangis lagi.
"Kamu yakin akan datang?" tanyaku sekali lagi.
"Sudah berapa kali pertanyaan itu kaulontarkan kepadaku?" Maudy berbalik tanya.
"Entahlah. Aku hanya ingin kamu tidak bersedih lagi."
"Tenang saja, Gun."
Jujur saja aku ingin sekali mengungkapkan perasaanku saat ini juga. Hasrat ini tak dapat ditahan lagi, jiwaku begitu menggebu-gebu dibuatnya. Bahkan, aku sudah meminta pendapat dengan Haikal tadi malam mengenai apakah hari ini saat yang tepat atau tidak jika aku mengungkapkan perasaanku kepada Maudy.
***
Mataku masih melekat pada laptop karena baru saja menyelesaikan pekerjaan menulis 10 artikel pada hari ini. Seberes itu, aku beranjak ke kedai kopi untuk bersantai dan bercengkrama dengan Haikal sembari menyesap kopi kesukaan kami. Sesampainya di sana, kulihat Haikal sudah datang dan juga memesankan menu untukku.Â
"Lama banget lu datengnya," keluh Haikal yang katanya sudah datang setengah jam lalu.Â