Deru mesin sepeda motor terlihat mendekat. Sutri tergesa menutup pintu. Anaknya menarik kain roknya dari belakang. Terdengar ketukan.
“Siapa?” Tanya Sutri dengan suara serak. Ia ketakutan.
“Buka pintu, bu?” suara pria terdengar diluar.
“Ada apa?saya mendengar letusan.” Marmo, pria itu, bertanya ketika Sutri akhirnya membukakan pintu.
Sutri terdiam. Ia membisu menatap Marmo yang masih berdiri di depan pintu. Marmo kemudian menyenter seisi rumah. Ketika sinar senternya jatuh pada mayat yang bermandi darah itu, ia langsung mendekat.
“Lo, kenapa?” tanyanya.
Sutri masih saja terdiam. Hanya menggelengkan kepala.
Diluar, penduduk desa sekitar perladangan mulai berdatangan. Pak Muhuajir, ketua RT dari kawasan persimpangan jalan desa juga kelihatan. Orang kian ramai, massa kian sumpek. Tetapi, Marmo tiba-tiba pergi. Ia langsung menstarter sepeda motornya. Gerak sepeda motornya, pelan, kemudian agak kencang. Ketika sudah berjarak 200 meter dari kerumunan itu, Marmo tancap gas.
Tak panjang prosesi pengurusan jenazah orang kecil seperti Muri. Sebelum matahari merekah di dedaunan kebun jagungnya, fardhu khifayah telah selesai. Atas izin Pak Yakub, Muri berkubur di pinggir ladang garapannya. Beberapa saat usai pemakaman, ada lima orang polisi datang dan mondar-mandir di depan rumah Sutri. Beberapa orang peladang, tetangga Sutri, masih berada di rumahnya. Bersama Pak RT, kelima polisi itu kemudian pergi. Kini tinggal Sutri bersama bocahnya.
***************************
Malam hari, jika suara langkah-langkah orang terdengar di jalan setapak depan gubuknya, ingatannya kembali ke peristiwa memilukan itu. Satu pertanyaan tersisa. Tiga hari sebelum kejadian itu, suaminya pernah bercerita, bahwa suaminya, telah sebulan menjalin hubungan kerja dengan Marmo, preman desa yang sehari-hari mangkal di warung depan pos polisi.