Cerpen: Wahyudi El Panggabean
["illustrasi: tempo.co"][
ANGIN malam berhembus agak kencang. Terasa dingin, kemilau bintang merona di langit kelam. Perladangan jagung menghampar. Suara burung terdengar menyelingi derap langkah sepatu menembus celah dinding gubuk reyot berpenghuni tiga orang.
Seorang pria berusia 47 tahun, seorang perempuan berusia 34 tahun, seorang anak berusia 5 tahun, menghuni pondok itu sejak tiga bulan silam. Tak jelas bagi penggarap ladang di situ, asal-usul suami-istri beranak satu, penunggu ladang Pak Yakub, tuan tanah di desa itu.
“Coba intip dari celah jendela,” kata Muri, menatap wajah istrinya yang pasi.
“Buka pintu dan tangan di atas kepala, Muri! Rumahmu sudah dikepung!” terdengar suara keras di halaman rumahnya. Derap langkah itu kemudian mendekat ke pintu depan.
“Kami beri hitungan sampai tiga. Menyerahlah, Muri!” suara itu kian menggetarkan.
Sutri masuk kamar dan memeluk anaknya. Muri yang berdiri kebingungan dua meter di belakang pintu tetap diam. Saat itulah suara letusan terdengar. Sebutir peluru menembus pintu rumahnya yang rapuh, kemudian bersarang di dada kirinya. Pria bertubuh kurus itu terkapar di lantai tanah. Sutri menjerit. Terdengar tangisan anak, dari kamar yang lembab. Pintu rumah diterjang. Empat orang polisi berdiri memandang ke dalam rumah. Kemudian, mereka pergi dengan dua sepeda motor menembus kegelapan malam.
Sutri menghambur keluar, histeris memeluk tubuh ringkih suaminya. Diciuminya tubuh yang kini tak bernyawa. Bau amis menggenang, darah menyatu di wajahnya. Sita, sang anak, masih menangis saat keluar dari kamar, menyusul ibunya. Sinar remang lampu teplok menebar di matanya yang kuyu. Ia menyandarkan badannya di punggung sang ibu.
“Kenapa bapak, bu?”
Sutri menarik lengan kiri anaknya. Mendekapnya erat.
Deru mesin sepeda motor terlihat mendekat. Sutri tergesa menutup pintu. Anaknya menarik kain roknya dari belakang. Terdengar ketukan.
“Siapa?” Tanya Sutri dengan suara serak. Ia ketakutan.
“Buka pintu, bu?” suara pria terdengar diluar.
“Ada apa?saya mendengar letusan.” Marmo, pria itu, bertanya ketika Sutri akhirnya membukakan pintu.
Sutri terdiam. Ia membisu menatap Marmo yang masih berdiri di depan pintu. Marmo kemudian menyenter seisi rumah. Ketika sinar senternya jatuh pada mayat yang bermandi darah itu, ia langsung mendekat.
“Lo, kenapa?” tanyanya.
Sutri masih saja terdiam. Hanya menggelengkan kepala.
Diluar, penduduk desa sekitar perladangan mulai berdatangan. Pak Muhuajir, ketua RT dari kawasan persimpangan jalan desa juga kelihatan. Orang kian ramai, massa kian sumpek. Tetapi, Marmo tiba-tiba pergi. Ia langsung menstarter sepeda motornya. Gerak sepeda motornya, pelan, kemudian agak kencang. Ketika sudah berjarak 200 meter dari kerumunan itu, Marmo tancap gas.
Tak panjang prosesi pengurusan jenazah orang kecil seperti Muri. Sebelum matahari merekah di dedaunan kebun jagungnya, fardhu khifayah telah selesai. Atas izin Pak Yakub, Muri berkubur di pinggir ladang garapannya. Beberapa saat usai pemakaman, ada lima orang polisi datang dan mondar-mandir di depan rumah Sutri. Beberapa orang peladang, tetangga Sutri, masih berada di rumahnya. Bersama Pak RT, kelima polisi itu kemudian pergi. Kini tinggal Sutri bersama bocahnya.
***************************
Malam hari, jika suara langkah-langkah orang terdengar di jalan setapak depan gubuknya, ingatannya kembali ke peristiwa memilukan itu. Satu pertanyaan tersisa. Tiga hari sebelum kejadian itu, suaminya pernah bercerita, bahwa suaminya, telah sebulan menjalin hubungan kerja dengan Marmo, preman desa yang sehari-hari mangkal di warung depan pos polisi.
“Saya ada sedikit masalah dengan Marmo. Masalah komisi. Kami sempat bertengkar,” kata Muri.
Dasar istri nrimo, Sutri tak mau usil soal cerita suaminya.
Tetapi, dalam situasi berduka, pikiran Sutri terus melayang. Ia teringat ketika suatu malam. Saat suaminya tengah ke kota menagih uang panen. jarum jam weker di meja kecil buruk kamarnya hampir menunjuk angka 12. Tiba-tiba, pintu diketuk. Ia terjaga. Ia merasa, yang berdiri di depan pintu, bukan suaminya. Ia segera duduk. Ditatapnya wajah anaknya yang tertidur pulas. Pintu diketuk lagi.
Ia beranjak sembari membereskan daster pendek lusuh tanpa lengan. Celah buah dadanya terlihat di keremangan lampu teplok . Begitu pintu dibuka, ternyata seorang pria berambut cepak langsung membekap mulut Sutri dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya, langsung menyentuh daun pintu, menutup dan memasang gerendelnya. Pintu kembali tertutup.
Sutri diancam. Angin malam menembus celah dinding gubuk, membawa hawa dingin. Perlawanan seorang Sutri terlalu lemah buat dekap paksa tangan kekar seorang pria perkasa berusia 23 tahun. Tak perlu ke kamar. Cukup di lantai tanah berbantalkan gulungan kain sarung yang lusuh.
Dari jarak sekitar 15 meter, terdengar suara derap langkah orang. Sepertinya hendak menuju rumah Sutri. Desah napas kencang pria yang merenggut paksa kehormatan Sutri, mendadak pelan. Pria itu, menghentikan aksinya. Sutri kemudian menolak dadanya yang gempal. Pria itu, bergegas cepat. Buru-buru keluar dari pintu belakang. Meninggalkan Sutri terbaring lesu. Menangis tanpa suara.
“Tri, Sutri, buka pintu!” Muri berdiri di depan pintu dengan kantung bekas karung tepung berisi beras.
Sutri segera membereskan rambutnya yang kusut masai. Mencoba menghapus air mata di pipinya, seolah tak terjadi peristiwa dahsyat itu. Ia bangkit menuju pintu.
“Apa kabar? Sepertinya ketakutan?” tanya Muri. Sutri mencoba tersenyum. Dipaksakannya.
“Ah, tak apa-apa, Mas. Kukira tadi, entah siapa. Kiranya Mas yang datang,” jawabnya pelan.
Tiba-tiba, terdengar suara derap langkah di semak sekitar gubuk mereka. Seorang pria mencoba mendorong pelan sepeda motor yang diparkir agak tersembunyi.
“Siapa?” Tanya Muri. Sutri menatapnya.
“Ah, tak apa-apa, Mas. Paling orang yang punya ladang sebelah kita,” katanya. Berusaha mencegah suaminya yang gelagatnya akan beranjak melihat ke luar. Dari jarak 10 meter terdengar orang menstarter sepeda motor.
Muri segera ke luar rumah. Ia tak sempat melihat jelas ciri orang dan ciri sepeda motornya. Yang terlihat olehnya, sepertinya sepucuk pistol terselip di pinggang kanan pengendara sepeda motor itu.
“Hei! Pak Polisi, ya?” tanya Muri dengan suara keras. Muri memang selama ini sering berseloroh dengan polisi desa itu.
“Pak Polisi, rupanya. Saya kira, dia itu. Mungkin lagi patroli,” Muri terus bicara.
Sutri terdiam.
“Ku buatkan kopi, Mas?” ia mencoba mengalihkan perhatian suaminya.
“Tak usahlah. Aku sudah ngantuk,” kata Muri, yang kemudian telah pulas dengan cepat di atas tikar, di sisi anaknya yang terbuai mimpi.
Pagi harinya, Muri menemukan sebuah jam tangan merek Alba di ruang depan rumahnya. Sebuah tali jam yang terlepas juga masih tergeletak di sana. Ia langsung mengembalikan ingatannya pada saat ia pulang dari kota, malam itu.
Bukankah jam yang sama sering dilihatnya melingkar erat di pergelangan tangan Pak Polisi, temannya itu? Muri mulai curiga. Tetapi, ia takut. Jam itu disimpannya di dalam sebuah kotak kecil. Kemudian, diletakkannya di atas lemari.
Semenjak itu, Muri sering merenung. Sudah jarang pula ia ke warung. Suatu hari, saat kepergok polisi itu di sana, ia hanya tersenyum. Si Polisi itu juga. Ia mencoba menatap lengan kiri si Polisi. Jam yang persis ditemukannya, masih ada.
Empat bulan setelah kejadian itu, Muri mulai melupakannya. Ia tak pernah menanyakan jam itu kepada istrinya, Sutri. Ia ingin bukti pendukung yang lebih kuat, modal bertanya. Suatu saat. Suatu malam, sebenarnya telah kuat juga hasratnya untuk menanyakan itu, saat tengah bermesraan dengan istrinya. Tetapi, ia tak berani.
Ia belum tega mengumpan pertengkaran di gubuk mereka. Apalagi, Muri tak mau kehilangan istri kedua kalinya. Prapti, istrinya yang pertama, pergi meninggalkannya, hanya karena sering bertengkar. Sepuluh tahun menduda, kehadiran Sutri baginya suatu pertolongan yang teramat sangat.
Masalah kemudian menjadi lain. Pak Yakub, konon, segera menjual lahan untuk kepentingan pendirian sekolah di sana. Muri diminta untuk memanen lahannya untuk sekali panen saja. Tanah sudah diukur. Polisi desa juga ikut kecipratan dari uang calo.
Saat pengukuran itulah, Indar, polisi desa itu melihat wajah Sutri yang masih manis. Polisi itu menatapnya dengan mata tak berkedip. Begitu Sutri memandangnya, perempuan itu langsung membuang muka. Saat ia memalingkan pandangan ke mata suaminya, ternyata suaminya juga telah lama menatap polisi yang memerhatikan istrinya itu. Indar, yah, anak muda lajang, sudah setahun bertugas di pos desa. Berwajah tampan, suka bergaul, walau jarang ikut kegiatan mesjid.
Setelah transaksi tanah, Muri lebih banyak menganggur. Suatu sore, sekitar pukul tiga, Muri tengah merenung di warung. Tiba-tiba, Marmo datang menawarkan sesuatu.
“Pokoknya, Mas hanya tempat menitip saja. Satu amplop, jika sudah dijemput pembeli, sama Mas lima puluh ribu.Tunggu saja di sini setiap sore. Terutama hari Sabtu,” Marmo merayu.
“Gimana kalau Pak Polisi tahu?” Muri bertanya heran, tapi ngiler. Marmo langsung membisiki Muri.
Saat itulah, Indar, Polisi itu, tiba. Dan duduk di sudut kiri pintu.
“Tenang aja, Mas,” Indar tiba-tiba menimbrung.
Pekerjaan ini menggiurkan juga. Sutri sendiri mulai aman dengan kebutuhan sehari-hari saat suaminya pergi pagi pulang malam, dengan uang rata-rata Rp 100 ribu sehari.
“Katanya, kerja jadi calo tanah di kota kecamatan, Pak,” jawab Sutri dalam pemeriksaan kedua kalinya. Ia ditanyai, seorang polisi baru di pos itu.
“Suami Ibu, benar ‘kan? berkawan dengan Marmo, preman desa ini?”
Sutri mengangguk, takut.
“Marmo itu pengedar narkoba. Suami Ibu juga ikut.”
Sutri terdiam. Ia heran, kenapa bukan Marmo yang ditangkap. Kenapa mesti suaminya? Bukankah polisi mengatakan Marmo bekerjasama dengan suaminya? Bukankah malam setelah kejadian itu, Marmo yang pertama datang ke rumahnya setelah polisi yang menembak mati suaminya pergi? Tapi, tentu saja Sutri tak menanyakan itu kepada polisi.
“Sudah hampir sebulan kami dari Polres memburu suami Ibu dan Marmo. Berdasarkan laporan dari Pak Indar, petugas kami di desa ini, Marmo dan suami Ibu sudah lama bekerjasama. Malam itu, kami mencoba menangkapnya saat mereka baru selesai transaksi di warung depan ini,” kata polisi itu.
“Kami memberi tembakan peringatan dua kali. Tetapi, dia terus kabur. Arah ke pasar desa. Kami terus mencarinya. Sampai akhirnya kami dipandu Pak Indar mengintainya ke rumah Ibu di tengah perladangan sana. Pak Indar itu seorang polisi yang hebat, Bu! Dia begitu cepat tahu rumah Ibu dan langsung mengintai dan menembaknya. Untung saja, suami Ibu yang kena. Jika Ibu atau anak Ibu, kami bisa dituntut. Sekarang, tak ada kata ampun bagi pengedar narkoba. Jika mencoba lari, polisi akan bertindak!”
Sutri lemas dan pingsan di kursi depan meja polisi itu. Ia diangkat dan dibawa ke Puskesmas kecamatan.
Keesokan harinya, dia berkemas. Selamat tinggal, hamparan jagung. Untuk apa bertahan di sini. Pak Yakub saja sudah berubah semenjak peristiwa penembakan itu. Sebuah tas dijinjingnya. Ia berangkat bersama bocahnya menuju kota. Di dalam kantung tas, masih terselip alamat kerabat suaminya di kota, yang mereka bawa sewaktu meninggalkan desa di Jawa, setahun silam. Tujuan Sutri dan anaknya, ke alamat itu.
Hari telah pukul sepuluh malam ketika mereka diterima Yanto, kerabat suaminya itu, di rumahnya yang agak besar. Sutri merasa mendapat pertolongan luar biasa, ketika bertemu orang tua yang ramah, baik dan perhatian. Istrinya pun begitu baik. Paling tidak, ia akan menceritakan kisah suaminya dan semua kejadian yang menimpa dirinya, jika saatnya telah tepat. Ia disuruh beristirahat di kamar depan. Pekarangan rumah itu begitu luas. Ada garasi dan taman.
Suitri dan anaknya langsung menghempaskan keletihan di atas kasur yang empuk. Baru sekitar lima menit ia tertidur, saat deru mesin sepeda motor membangunkannya. Pintu dibuka Pak Yanto, saat tamu malam hari itu masuk. Masih ada rasa waswas di hati Sutri, saat mendengar kedatangan tamu bersepeda motor tengah malam. Walau ia telah menginap di rumah orang lain. Ia ke luar dari kamar. Mencari tahu siapa yang datang.
Begitu ia ke luar kamar, Pak Yanto menyambutnya dengan senyuman. “Ini dia, anak kita yang jadi polisi, Dik Sutri. Nanti, kalau ada masalah, dia yang akan mengurus.”
Sutri memandang tamu itu. Seorang pria gagah berambut cepak berdiri menunduk di hadapannya. Pandangan Sutri berkunang-kunang. Ia merasa tubuhnya tiba-tiba tak bertenaga. Ia jatuh terlentang di atas lantai keramik. Pingsan. Sesaat hening. Kemudian, seisi rumah heboh. Semua terbangun. Tetapi, si Tamu masih terdiam terpaku memandanginya.
“Indar? Kenapa, nak?” Tanya Pak Yanto. Kebingungan.
Sita, anak Sutri, keluar dari kamar.
“Bu…,” bocah itu menangis, memanggil-manggil ibunya....***
Pekanbaru, September 2006
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H