Mohon tunggu...
Lilis Juwita
Lilis Juwita Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku

Painting, Art, Poem, Short Story n Graphic Design That's Really Me. Aku bukan Wonder Woman, aku juga bukan Kartini, aku bukan Bidadari tanpa Sayap, aku bukan satu dari 7 Selendang Pelangi yang hilang, aku cuma perempuan yang takut panas, debu dan kucing. Aku cuma perempuan yang “Tak Biasa” ♪♫•*¨*•.¨*•♫♪♪♫•*¨*•.¨*•♫♪

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Reflection

3 Maret 2021   19:41 Diperbarui: 3 Maret 2021   19:55 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjalanan kali ini berbeda dengan sebelumnya, cuaca kurang bersahabat memaksaku mengubah semua jadwal yang sudah direncanakan. Bisa dikatakan jauh dari segala hal yang biasa kulakukan bila hendak melakukan perjalanan, semua nyaris tanpa persiapan. 

Namun hobi traveling atau lebih tepatnya backpacker membuat aku terbiasa mempersiapkan semua dalam waktu singkat, karena itu meskipun tanpa rencana dalam sekejap perlengkapan perjalanan sudah tertata rapih memenuhi backpack berwarna terakota yang berkapasitas 22 liter. Cukup untuk kebutuhan perjalananku selama beberapa hari. Untuk mempermudah dan lebih leluasa selama perjalanan sebagian peralatan penting sudah dikirim melalui jasa pengiriman.

***

Dua hari sebelumnya...

Aku ditugaskan mengirim data peserta dan laporan kegiatan ke Balai Pusat yang jaraknya sekitar 1 km ke arah bukit dari tempat kegiatan pelatihan menggunakan sepeda motor menjelang senja. Di tengah perjalanan kembali ke asrama aku hampir menabrak sesuatu yang tiba-tiba melintas tepat di depanku namun tidak yakin entah binatang apa karena hari mulai gelap.

Malam itu tubuhku terasa demam, setelah kuperiksa ternyata punggungku tergores, mungkin terkena ranting di pinggir jalan ketika menghindari menabrak binatang itu. Aku berusaha menahan perih dan demam karena harus segera berkemas.

Pelatihan dihentikan kemudian seluruh peserta dipulangkan setelah kami mendapat kabar bahwa kedua rekanku, dinyatakan positif terinfeksi Covid 19 dan sebelumnya empat puluh enam peserta lain lebih dulu terinfeksi saat mengikuti pelatihan yang rutin dilaksanakan untuk meningkatkan kompetensi setiap tiga bulan sekali di Balai Pendidikan dan Pelatihan. 

Tiga puluh orang langsung dirujuk untuk karantina di rumah sakit penanganan Covid 19 sisanya diwajibkan isolasi mandiri di rumah masing-masing dengan pengawasan ketat dari dinas terkait. Hanya dua peserta yang dinyatakan negatif reaktif, salah satu di antaranya adalah aku.

Di perjalanan pulang aku baru membaca pesan yang dikirim Maya rekan kerjaku satu divisi, aku telepon Maya untuk memastikan semua baik-baik saja namun ternyata dia dan anak bungsunya positif terinfeksi. Pantas saja hari ini kantor tampak sepi, mungkinkah terbentuk klaster baru penularan virus mematikan itu? Lalu bagaimana dengan aku yang kontak langsung dengan mereka yang terinfeksi? Yang terpikir pertama kali adalah Ibu, bagaimana caranya supaya ia tidak terinfeksi? Pertanyaan bertubi-tubi memenuhi kepalaku. Membuat aku harus secepatnya memutar otak.

Pekerjaanku yang selalu menuntut kemampuan mengambil keputusan tepat dalam waktu cepat kali ini membuat aku tercenung beberapa saat. Aku memutuskan untuk meninggalkan Ibu dan menerima tawaran penelitian kebetulan waktu yang sudah dijadwalkan tinggal beberapa pekan lagi, biarlah aku meminta jadwal keberangkatan dimajukan.

Tanpa membuang waktu malam itu aku memesan tiket kereta api melalui situs resmi reservasi sambil mengemas semua keperluanku, supaya esok pagi dapat segera melakukan test antigen yang kedua kalinya lebih awal. Selain untuk syarat perjalanan setidaknya aku bisa lebih yakin apakah terinfeksi atau tidak.

Tidak sampai satu jam petugas menyerahkan hasil test di selembar kertas di bagian bawah tertulis Negatif, namun yang terpenting adalah aku bisa pergi beberapa saat untuk menghindari kontak langsung dengan ibu setidaknya selama dua pekan ke depan.

Seperti makan buah simalakama bukan lagi sekadar peribahasa, benar-benar dilema yang sulit untuk dipilih.

***

Tepat pukul 11.30 kereta melaju, gerbong yang kutumpangi hanya memuat beberapa penumpang. Dua orang penumpang yang kebetulan berpapasan ketika aku hendak menaruh backpack di bagasi yang berada tepat di bagian atas tempat dudukku saling berpandangan dengan tatapan penuh curiga.

"Hati-hati mba, itu yang dibawa samurai ya?"

Aku hanya tersenyum menjawab pertanyaannya, ternyata mereka berpikir tracking pole yang tersembul dari tas punggung yang kubawa adalah sebilah samurai. Mungkin lebih tepatnya menahan tawa ketika menyadari apa yang menjadi penyebab mereka begitu ketakutan ketika berpapasan tadi.

"Nggak apa-apa pak jangan takut, ini hanya tracking pole." Aku mencoba menjelaskan, namun tetap saja belum berkurang kecurigaan mereka terlihat ketika tak seorang pun dari keduanya berniat membantuku yang bersusah payah menaikkan backpack.

Kereta api membelah malam membawaku menuju stasiun terakhir Pasar Turi, hampir pukul 19.00 waktu setempat meskipun belum terlalu larut aku memutuskan bergegas memesan transportasi online untuk segera mengantarku ke stasiun Gubeng, biar ada waktu untuk rehat sejenak melepas penat sebelum melanjutkan perjalanan dengan kereta api menuju Banyuwangi.

Hujan turun sejak siang, hampir sepanjang perjalanan butir-butir air seperti ditumpahkan dari langit membuat aku beberapa kali mengusap kaca jendela dan berusaha membuka mata menyeruak kegelapan dari balik jendela kereta yang membawaku meninggalkan kota dan semua rutinitasku. Derit rel kereta api terdengar begitu jelas hampir memecahkan gendang telingaku hingga sesekali masih terbangun di sela kantukku.

Menjelang subuh kereta tiba di stasiun Banyuwangi Kota, hawa dingin menyergap menyambut kedatanganku di kota paling ujung timur pulau Jawa. Aku harus menunggu beberapa saat setelah Tristan yang akan menjemputku mengabarkan terlambat karena hujan belum juga berhenti.

Tristan adalah salah seorang tim kami dari Balai Konservasi yang akan menjadi tim leader selama dua pekan berada di lokasi penelitian dan beberapa rekan lain dari kota berbeda yang akan menjadi tim riset.

***

Tak ingin membuang waktu kami pun menerobos rinai hujan pagi itu menggunakan kendaraan roda dua berplat merah menuju perbatasan kota, tujuan pertama adalah kantor Badan Konservasi Sumber Daya Alam setempat untuk mengurus ijin dan melaporkan keberadaan kami selama di sana. Tidak perlu menunggu lama perjalanan kami lanjutkan ke ujung timur. 

Barisan pohon pinus yang awalnya beraturan dan berukuran hampir sama berganti dengan pohon-pohon dengan kerapatan dan ukuran yang beragam, itu menandakan kami sudah memasuki kawasan hutan alami atau hutan primer di kawasan balai konservasi. Daerah tersebut dikenal dengan evergreen forrest karena pohon-pohonnya tumbuh hijau abadi sepanjang musim, hutan hujan alami tertua di pulau Jawa yang sangat kaya dengan flora dan fauna.

Kawanan rusa yang kami lewati nampak berlari menjauh, begitu pula burung merak dan koloni kera ekor panjang pun berhamburan terusik oleh kedatangan kami. Ketika aku meminta beberapa saat berhenti untuk mengambil foto satwa liar tersebut.

"Sepertinya mereka takut sesuatu," gumamku kecewa karena hanya mendapat sedikit hasil bidikan kamera dengan angel yang bagus.

"Mungkin ada binatang buas di sekitar sini," Tristan menjawab sekenanya.

"Tristan, Jangan bercanda kamu," lanjutku sambil segera kembali ke atas sepeda motor kuatir juga jika yang dikatakan Tristan benar.

Sampai di meeting point yang dijanjikan kami menunggu hampir dua jam namun belum juga ada kabar dari rekan kami. Perjalanan di musim hujan memang cukup beresiko dan tidak bisa diperkirakan jika berurusan dengan ketepatan waktu. 

Notifikasi pada aplikasi WhatsApp berbunyi, ada pesan dari grup tim riset mengabarkan mereka tertahan di stasiun pemberangkatan karena salah satu rekan kami tidak berhasil lolos rapid test dan harus menjalani pemeriksaan kelanjutan setelah hasil test-nya dinyatakan positif reaktif Covid 19 meskipun tanpa gejala sehingga harus test PCR dan hasilnya baru diketahui 2-3 hari kemudian. Karena tidak mau membuang banyak waktu dan pertimbangan lain akhirnya kami memutuskan menuju lokasi penelitian lebih dulu tanpa mereka.

***

Lelah selama perjalanan terbayar dengan pemandangan yang luar biasa indah, angin kencang selat Bali membawa aku keluar sejenak dari antrian pekerjaan yang harus segera dimulai esok. Keindahan biota lautnya sungguh menggoda, tanpa menunggu ijin Tristan dalam hitungan menit aku sudah siap dengan perlengkapan diving. Tristan  paham betul keinginanku, langsung meminta Seno mengarahkan kemudi boat yang membawa kami untuk singgah di area perairan dengan terumbu karang berwarna-warni.

"Aruna coba lepas diving mask-nya kita freedive, coral di sini bagus!" usul Tristan.

"Ok," jawabku singkat sambil melepas diving mask dan melemparnya ke atas boat.

Semakin dalam semakin indah, beragam coral dan biota laut yang kami temui.

Sayang sekali aku harus menghemat tenaga, tiga puluh menit tanpa jeda menikmati pemandangan underwater kurasa cukup sebagai perkenalan. Baru sadar saat punggungku yang tergores mulai terasa perih kena air laut.

Pulau dengan luas tidak lebih dari 6 ha berada di tengah perairan berwarna hijau kebiruan akan menjadi tempat tinggalku selama dua pekan. Pantai alami berpasir putih dan biota lautnya membuat kami tertarik dan memilihnya menjadi lokasi penelitian sebagai persiapan rencana pembangunan Artificial Temple Reef  untuk menyelamatkan terumbu karang dan mencegah abrasi di sepanjang pantai pulau ini.

Hampir satu jam kami tracking memutari pulau yang menurut data tak berpenghuni meskipun mulai dikenal oleh wisatawan domestik dan luar negeri sebagai destinasi wisata laut. Nampak menara suar tegak berdiri berada di tengah pulau. Layaknya private island mungkin karena tak berpenghuni juga tidak ada pengunjung selain kami, pandemik membuat semua berjalan melambat bahkan berhenti begitu pula dengan aktivitas pariwisata turut terkena dampaknya. Di sisi lain keuntungannya bagi kami adalah bisa lebih berkonsentrasi dengan aktivitas riset tanpa harus kuatir dengan kehadiran orang lain di pulau ini.

Karena tidak tersedia pondok, kami bersiap mendirikan tenda sebagai base camp dengan jarak beberapa meter dari bibir pantai untuk menyimpan logistik, perlengkapan riset dan tentunya tempat istirahat.

"It's really back to nature," gumamku ketika semua perlengkapan selesai dirapihkan lalu melemparkan tubuh ke hamparan pasir putih.

"Welcome home sis,"  Tristan menimpali setengah mengejek dengan tawanya.

***

Tendaku cukup leluasa karena hanya aku sendiri yang menempati, perjalanan panjang membuat tubuhku begitu lelah, badanku terasa demam. Dengan bantuan cermin aku melihat luka gores di punggung cukup dalam seperti bekas cakar, pantas saja terasa perih ketika diving siang tadi.

Malam semakin larut sampai nyamuk pun sudah bosan mengganggu, menghilang entah ke mana. Cahaya bulan di luar semakin penuh rupanya purnama sudah di puncaknya. Perasaanku mulai cemas, aku merasa ada seseorang atau entah apa memperhatikanku sejak tadi. Demamku tidak kunjung reda, aku merasakan panas yang luar biasa dan setiap ruas tulang punggungku seperti ditarik, darahku mendidih terasa cepat sekali mengaliri seluruh pembuluh di tubuhku. Mungkinkah luka gores itu penyebabnya?

Sebelum kantuk menguasai alam bawah sadarku menjadi ritual wajib menuliskan jurnal harian, seperti saat ini meski di tengah pulau tak berpenghuni. Hampir enam halaman kupenuhi dengan kisah perjalananku hingga hari ini. Tulisan berjudul Reflection segera kukirim melalui email, semoga belum terlewat deadline-nya.

***

Too quit, mungkin mereka kelelahan setelah seharian tadi menggangguku yang terheran-heran dengan keindahan pulau ini.

"Tristan, Seno kalian di mana?" suaraku hampir hilang tersekat di tenggorokan. Namun tidak ada jawaban, kulihat tenda mereka masih rapih seperti belum digunakan. Mana mungkin mereka meninggalkan aku sendiri di pulau tak berpenghuni ini. Lampu di mercusuar yang berada di tengah pulau menyala, mungkin mereka pergi tanpa sepengetahuanku memperbaiki solar system dan berhasil menyalakannya.

"Tristan, Seno," berulang kali aku memanggil nama mereka namun tetap tak ada jawaban, senyap. Jadi berpikir dua kali apakah aku kembali ke base camp atau menunggu di menara ini hingga matahari terbit, butuh waktu 30 menit untuk kembali ke sana. Flaslight gadget-ku meredup, dengan mengaktifkan Power Saving kekuatan baterai tersisa dua bar tidak mungkin cukup menerangi jalan setapak menuju pantai.

Sementara sakit di punggungku sudah tak bisa kutahan lagi, suara-suara di luar begitu memekakan telinga, kaca mataku tertinggal di tenda namun bisa dengan jelas melihat layar gadget, aku melihat sosok lain yang mirip denganku namun itu bukan aku.

Aku terbangun, di sebuah ruang dengan sekat tirai berwarna toska. Suara yang cukup akrab di telingaku tengah membicarakan sesuatu yang aku tidak paham. Seno, dia ada di sini.

"Nona Aruna, anda sudah bangun?" tanya seseorang sambil memegang papan status pasien.

"Seno, kamu Seno kan?" Tanyaku penuh heran.

"Betul saya Seno, dokter yang merawat anda selama dua minggu terakhir." Jelasnya.

"Dua minggu, bagaimana dengan yang lain?" tanyaku setelah sebagian ingatanku terkumpul dan menyadari aku berada di ruang darurat perawatan Covid 19 terletak tidak jauh dari Balai Diklat.

"Saya minta maaf, hanya kalian berdua yang selamat." Dokter Seno menunjuk seseorang terbaring di bed yang bersebelahan dengan sekat kain yang terbuka, pada papan status pasien tertulis nama Tristan.

"Bagaimana mungkin, kemarin kami berada di ..."

"Aruna, kalian tidak pernah meninggalkan ruang isolasi, maaf saya menyimpan sesuatu mungkin anda membutuhkannya," dokter Seno menyerahkan gadget-ku dan meninggalkan aku yang masih terheran-heran.

Semuanya tampak begitu nyata, dan kupastikan aku tidak mengalami amnesia. Segera kuaktifkan gadget karena masih lekat dalam ingatan aku tertidur dengan kamera yang menyala. Tidak ada file video, foto atau aktivitas chating yang merekam semua kegiatanku selama perjalanan dan berada di pulau itu, termasuk rekaman malam terakhir ketika berada di atas menara suar. Semua notifikasi aktivitas gadget hanya sampai pada hari sebelum meninggalkan Balai Diklat.

Aku melihat folder SENT pada email-ku, terakhir pengiriman adalah Jurnal Harianku berjudul Reflection. Rasa penasaranku semakin menjadi, dengan sangat hati-hati kulihat punggungku dan luka gores itu masih ada namun sudah hampir mengering.

Who is that girl I see

Staring straight back at me?

Why is my reflection someone I don't know?

Must I pretend that I'm someone else for all time?

When I will my reflection show Who I am inside?

***END***

Majalengka, 28 Pebruari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun