Mohon tunggu...
Aditya Salim
Aditya Salim Mohon Tunggu... Konsultan - Law enthusiast

Write to educate

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Morat-Marit Teluk Benoa

15 Oktober 2019   04:36 Diperbarui: 15 Oktober 2019   04:43 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari analisis 1 sampai dengan analisis 4, kita telah mengetahui bahwa dalam kondisi ini "semuanya salah". "Salah" dalam artian bahwa peraturan atau keputusan yang diterbitkan ternyata patut diduga tidak didasarkan pada sebuah perencanaan yang matang, baik itu RZWP3K, RPPLH, KLHS dan Rencana Induk Reklamasi. Padahal dokumen-dokumen tersebut adalah amanat dari Undang-Undang.

Pada bagian rekomendasi di bawah, penulis akan menyampaikan hal-hal yang dapat dilakukan untuk meluruskan kembali "benang yang telah kusut" ini. Namun pertanyaannya adalah bagaimana kondisi saat ini sampai dengan peraturan-peraturan yang ada tersebut diperbaiki?

Bagi penulis, KepmenKP 46/2019 adalah sebuah diskresi berdasarkan UU 30/2014 dan solutif. Mengapa demikian? Pasal 1 angka 9 UU 30/2014 menyebutkan bahwa "Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas dan/atau adanya stagnasi pemerintahan."

Berkaitan dengan kondisi Teluk Benoa, dapat kita gunakan penjelasan Pasal 23 huruf c UU 30/2014 untuk menganalisa kondisi peraturan perundang-undangan yang ada. Penjelasan Pasal 23 huruf c UU 30/2014 berbunyi, "Yang dimaksud dengan peraturan perundangundangan tidak lengkap atau tidak jelas" adalah apabila dalam peraturan perundang-undangan masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut, peraturan yang tumpang tindih (tidak harmonis dan tidak sinkron), dan peraturan yang membutuhkan peraturan pelaksanaan, tapi belum dibuat."

UU 27/2007 jo. UU 1/2014 serta UU 32/2009 mengamanatkan sinkronisasi RZWP3K, RPPLH dan KLHS ke dalam Rencana Tata Ruang Provinsi dan Kabupaten/Kota. Perpres 122/2012 juga menyebutkan bahwa Rencana Induk Reklamasi perlu disinkronkan dengan RTRW. Namun faktanya RZWP3K sebagai peraturan pelaksanaan UU 27/2007 jo. UU 1/2014, Peraturan Pemerintah tentang RPPLH sebagai turunan UU 32/2009 dan Rencana Induk Reklamasi sebagai pelaksanaan Perpres 122/2012 belum ada bahkan sampai saat ini.

Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri tentang KLHS juga terbit pasca lahirnya Perpres 51/2014 (Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 baru terbit tanggal 31 Oktober 2016. 

Dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis juga baru terbit pada 29 Desember 2017), yang artinya dokumen KLHS pun belum ada.

Pun demikian, nyatanya Perpres 45/2011 jo. Perpres 51/2014 tetap diterbitkan. Artinya Perpres 45/2011 jo. Perpres 51/2014 didasarkan pada sebuah ketidakjelasan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut, jika Perpres 45/2011 jo. 

Perpres 51/2014 ini dieksekusi, maka secara jelas akan melanggar ketentuan Undang-Undang yang mengamanatkan adanya keterpaduan antara berbagai dokumen perencanaan, sebagai contoh Pasal 15 ayat (2) UU 32/2009 yang menyebutkan, "Pemerintah dan Pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS ... ke dalam penyusunan atau evaluasi: a. Rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya, ..." (Perpres 45/2011 jo. Perpres 51/2014 merupakan rencana rinci tata ruang berdasarkan Pasal 14 ayat (3) UU 26/2007).

Berdasarkan uraian tersebut, cukup alasan untuk dapat mengeluarkan sebuah diskresi. Yang perlu dipastikan adalah KepmenKP 46/2019 tersebut memenuhi persyaratan diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 UU 30/2014 dan penerbitannya mengkuti prosedur khusus (Pasal 26) jika memenuhi kriteria yang disebutkan dalam Pasal 25 ayat (1) yaitu berpotensi mengubah alokasi anggaran atau membebani keuangan negara (Pasal 25 ayat (2)).

Kesimpulan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun